Madonna
Setiap kira-kira jam 3 sore, kami sering duduk di pinggir jalan yang menghubungkan Simpang Galon Meunasah Blang Brieuen dengan desa Blang Rheum. Blang Rheum adalah desa seberang bukit Cet Gon Bhan sebagai desa yang paling rawan dilintasi anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) karena berada di sisi peguningan. Selaku muda-muda lajang, apa lagi yang kami lakukan selain menumpang nongkrong di sebuah warung dengan rokok sebatang di tangan. Hampir setiap hari setiap waktu yang telah saya sebutkan melintas dengan cepat sepeda motor Honda GL-Pro yang dikendarai pemuda tinggi 180cm dengan perawakan tampan, badan tegap, bahu kekar dibungkus kulit kuning langsat. Jambang lebat namun pendek sangat kontas dengan warna kulit wajah menambah sangar ketampanannya.
Setiap setelah pemuda itu melesat ke arah kota Bireuen, kami sudah boleh kembali ke rumah. Ibu-ibu sudah bisa mencari-cari bocah mereka yang sedang bermain di rumah-rumah tetangga untuk diboyong masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu dengan rapat. Kaum ayah yang kebetulan hendak berangkat ke pasar bila ditengah perjalanan menemukan GL-Pro melesat kencang, sudah boleh mengurungkan niat dan balik kanan kembali ke rumah. Para pemuda yang sedang menikmati secangkir kopi hitam kental yang baru diteguk setengah cangkir meski telah berlalu dua jam dihidangkan, sudah boleh bergegas mengeluarkan seribu rupiah dari saku dan menghirup habis sisa setengah cangkir lagi dalam satu tegukan lalu bergegas kembali ke rumah. Pemilik warung sudah harus segera mengemaskan barang dan menutup usaha untuk sementra. Sebab, selalu begitu, paling lama dua Puluh Menit setelah Madona melesat ke arah kota, pastilah mengudara dengan keras beberapa suara tembakan senjata berjenis Colt Revolver R1. Selanjutnya satu menit setelah dua atau tiga bunyi senjata yang dipatenkan Samuel Colt pada 1863 itu, berkejar-kejaran, seolah saling mendahului bunyi bunyi senjata mesih lasar panjang seperti M-16, dll. Saat riuh-riuh itu, semua kendaraan mengarah pada satu tujuan, menjauhi kota Bireuen; tidak peduli jalan masuk-jalan keluar, tak urus, lampu merah maupuh hijau. Kondisi ini persis seperti setiap ada isu air naik (tsunami) yang tersiar hampir setiap hari setelah 2004.
Menurut berita yang disampaikan radio bergigi, Madonna pernah menabrak seorang balita. Pastilah balita itu tewas seketika. Bukankah kecepatan minimum dia melajukan kendaraannya adalah 100km/jam.
Madonna adalah warga desa kami. Desa kami memang sudah "digaris merah" oleh aparat. Artinya salah-satu desa yang paling banyak dialamati anggotaGAM. Biasanya pemuda-pemuda dan kaum ayah yang mengantongi KTP desa "garis merah" akan lebih kesulitan bila setia ada razia KTP yang biasanya sering dilakukan di pasar, kendaraan, atupun setiap aparat melakukan operasi militer ke desa-desa.
Madonna sudah beberapa kali meminta dana perjuangan kepada seorang janda kaya di salah-satu desa di Bireuen. Berulang-kali pula janda itu menolak memberikan. Hingga suatu waktu wanita itu meminta Madonna datang sendiri ke rumahnya untuk menjemput dana yang dimintakan. Wanita umur 35-an itu memintanya untuk tidak membawa senjata laras panjang dengan alasan takut ketahuan aparat.
Madonna-pun datang pada jam 3 siang. Setelah GL-Pro-nya melintas dari arah Blang Rhem-Simpang Galon, dia berbelok ke kiri. Motornya tetap melaju kencang. Tiba-tiba dari sebuah lorong kecil keluar mobil Kijang Minibus bewarna hitam pekat. Awalnya Madonna tidak menyadari ada mobil yang mengejarnya dari belakang. Setelah bunyi tembakan M-16 dari belakangnya, melesatlah peluru melintasi sebelah kanan bahunya, barulah dia menoleh ke belakang. Sadar mobil yang dilihatnya adalah milik Brimob, maka dia semakin mengencangkan laji kendaraannya. Sambil mengendarai motor dengan tegang, dia memutar otak mencari jalanan yang bisa membuatnya lolos. Dia terus mejalu hingga menemukan sebuah persimpangan sebelah kanan. Dengan gesit diapun masuk ke jalan kecil itu. Kijang di belakangnya terus mengajar.
Sial bagi Madonna, dia hanya mengantongi Colt. Padahal kadang-kadang dia turut membawa AK-47 bersamanya yang diselipkan dipunggungnya dan ditutupi jaket tebal bewarna hitam.
Madonna terus berpikir cara untuk lolos.
Aku harus memperkirakan jumlah mereka di dalam mobil itu. Aku harus mencari cara agar mereka dapat keluar. Pikirnya sambil terus melesat kencang.
Melintasi jalanan di perkampungan, Madonna menemukan rel kereta api yang masih baru dibangun. Kata Ayahku, rel kereta api adalah proyek yang didanai asing dengan perhitungan anggaran Rp. 1 Milyar per km. Tentu saja perkiraan ini tanpa menempuh obserfasi yang realistis. Mungkin perhitungan anggaran sebesar ini dengan dugaan menimbun rawa atau sawah. Padahal para pemangku kebijakan hanya perlu menambah kerikil setelah mencabuti rel lama, memasang rel baru dan siap pakai. Anggaran Rp. 1 Milyar untuk tiap km-nya tentu saja sangat berlebihan.
Ayahku mengatakan proyek pembangunan rel kereta api itu adalah kesepakatan Gubernur waktu itu dengan asing. Dan memang nyatanya setelah Gubernur itu diturunkan dari jabatannya. Dia diturunkan akibat tersandung kasus, yang menurut ayahku dia terlalu ceroboh dalam "bermain". Ayah bilang dia bodoh dengan "bermain-main" dengan aparat. "Masak uangnya aparat dihajar juga." kata beliau. Rel dipasang mulai dari stasiun lama di depan markas TNI Bireuen terus ke arah timur. Rel yang terpasang waktu itu baru sampai kota Lhokseumawe. Saat itu pasir belum terlalu cukup. Dengan kondisi begitulah Madonna memutar kendaraannya memasuku rel setelah terjebak di desa Cureh. Di antara kedua sisi rel itu dia masih mampu memacu kendaraannya dengan kencang. Tentu saja Brimob itu tak bisa mengejar. Merekapun semuanya berhamburan keluar.
Meleset dari yang dia duga sebelumnya. Jumlah mereka ternyata tujuh. Dia kira enam. Tapi Madonna sudah keburu mencampakkan motornya di bantalan rel. Dia lari ke semak-semak. Aparat itu terus mengejarnya dengan sangat waspada. Tersembunyi di balik dedaunan pohon, Madonna dadat menembak mati satu-persatu aparat tanpa kewalahan. Namun sayang, Colt-nya hanya punya enam peluru. Naas bagi Madonna...
Seorang aparat yang tersisa menyadari Madonna kehabisan peluru langsung meloloskan diri ke semak-semak seberang rel. Dia sadar senjata digunakan Madonna adalah Colt yang isinya enam peluru. Lama dia bersembuni di semak menunggu apakah Madonna sedang mengisi ulang peluru atau dia membawa senjata lainnya.
Lama menunggu tak ada tanda apapun, aparat yang tinggal seorang itu memberanikan diri menyeberang rel menyusuri semak ke arah Madonna dia perkirakan berada. Tiba-tiba dia menemukan pria berkaos putih itu nyaris terbaring menyamping dengan siku kanan dijadikan tempat bertumpu. Dia terlihat sedang menyeret-nyeret bubuhnya. Ternyata paha kiri anggota GAM itu telah tertembak. Dari balik jeansnya keluar darah terus-menerus. Tanpa menghiraukan wajah Madonna yang sedang merintih kesakitan, aparat Brimob langsung menghujamkan peluru M-16 nya. Satu ke perut dan satunya lagi ke kepala.
Berita tentang tewasnya Madonna disebarkan harian "Serambi Indonesia" keesokan harinya. Aku terkagum mendenngar cerita tentang caranya tewas. Dia sangat heroik. Kalau saja ini bukan kisah nyata tapi berada dalam adegan film Hollywood, maka dapat kupastikan Madonna akan dapat melumpuhkan Brimob yang seorang lagi itu.
Duh, salah seorang anggota GAM yang paling ditakuti dan paling dicari aparat ternyata tewas karena dijebak seorang janda? Aduh!
Siang Jadi Malam, Malam Jadi Siang
Hari pertama, hari senin. Tanggal pertama kalender Isa, tanggal satu. Tanggal pertama kalender Hijrah, tanggal satu.
Matahari sedang berjuang menanjak laut untuk menyapa permukaan bumi. warnanya merah. Tanah merah bercampur air, menyatu bersama. Menjadi lumpur, warnanya merah. Itulah waktu waktu yang kujamin hanya sedikit manusia yang sedang tersadar saat fenomena itu tiba. Kenapa? Karena ini Bulan Ramadhan.
Pagi-pagi di awal bulan Ramadhan begitu sepi. Orang-orang yang pengangguran memilih tidur di siang hari dan bergadang sepanjang malam. Cara ini adalah cara paling efektif mensiasati aneka godaan di bulan Ramadhan.
Kalau menganai shalat di masa depan orang-orang tak peduli dari mana asal, apa ras dan agamanya akan shalat semua kerena mengetahui shalatlah satu-satunya olahraga, terapi dan rileksasi terbaik, maka mengenai puasa juga demikian halnya. Kelak dokter-dokter akan merekomendasikan puasa bagi semua manusia miniman tiga pulih hari berturut-turut setiap tahun untuk sejuta manfaat bagi badan dan pikiran.
Tapi sayangnya, kaum muslim sendiri, terutama yang di Timur, karena orang Timur banyak yang bodoh, maka akan mensiasati kewajiban yang dianggap berat berupa puasa dengan membuka pabrik-pabrik, kantor-kantor, pasar-pasar, lembaga-lembaga pendidikan, pelayanan publik dan segala aktivitas pada malam hari. Sementara siang hari mereka akan tidur mulai dari shalat subuh hingga...
Nah, di sini orang-orang akan menghadapi kendala besar yakni terlalu seringnya kelewatan waktu shalat zuhur. Sama seperti tahajjud, waktu zuhur kala itu dilaksanakan di sela-sela tidur. Sungguh berat untuk bangun bila kantuk masih menyelimuti, bila tidur masih diingin.
Dalam situasi seperti ini, para misionaris Syi'i dapat bersiap-siaga. Mereka perlu bekerja keras mengkampanyekan bahwa shalat zuhur itu waktunya dapat di tempel dengan ashar. Jadi pada masa siang jadi malam dan malam jadi siang setiap Ramadhan, orang-orang menemukan mazhab syiah sebagai solusi. Meskipun saya curiga orang syiah agak menggerutu hatinya karena maksud mereka boleh shalat tiga waktu agar terkesan agama nenek moyang mereka (Iran), Zoroaster diwarisi oleh Islam. Agama Zoroaster sembahyangnya terbit mentari, setentang di atas kepala dan terbenamnya. Jadi ini mereka temukan kesamaannya dengan aturan waktu shalat dalam Al-Qur'an. Mereka pura-pura lupa atau pura-pura tidak tahu bahwa pelaksanaan teknis peraturan Al-Qur'an harus merujuk pada pelaksanaan Nabi Muhammad Saw.
Mungkin mereka tidak mau merujuk Nabi karena mereka marah Muhammad yang jadi Nabi, bukan Ali.
Dengan berpedoman pada syi'ah, maka ini menguntungkan para pengangguran masa kini dan para pekerja di masa depan sebab mereka dapat bangun jam 5 sore lalu shalat zuhur dan asar. Ada cara yang lebih mudah lagi daripada yang ditawarkan orang syiah:masuk Kristen sebaga solusi yang lebih cerdas lagi karena sembahyangnya seminggu sekali, hihihi.
Dua Perempuan Muda
Kutatap ke arahnya sepintas. Otakku penasaran, ingin kukembalikan penglihatan itu. Setelah memuaskan otak menatap gadis berkulit warna krim dengan bibir merah menyala tak lupa celak hitam mengelilingi bulu matanya, bola matanya yang seolah ingin melimpat keluar itu seperti miliknya ikan mas koki, tetapi terlihat serasi dengan alis mata yang dicat tebal, kuperhatikan bentuk bibir, pipi dan batang hidungnya: dia bukuan wanita pilihanku, kuperiksa kembali otakku kenapa dia meninta untuk menoleh kembali tadi. Padahal dia tidak lebih cantik dari yang kuperkirakan. O, ternyata otakku penasaran karena warna kulitnya yang sangat menarik. Meski warna kulit perempuan berjilbab cokelat itu tidak seputih perempuan yang terkesan selalu mencari perhatian yang posisi duduknya lebih dekat denganku, namun perempuan bercelana jins dengan tas samping bertali panjang bewarna coklat itu jauh lebih menarik. Selain karena dia lebih berisi, tidak seperti perempuan ini yang terlalu kurus, juga perempuan yang lebih dekat dengan ku ini rambutnya seperti lidi sapu terbang Harry Potter.
Walau bagaimanapun, kupastikan keduanya tidak akan mau dekat denganku lebih jauh bila aku menyapa mereka dan mengajak berbicara.
Perempuan, ingin dilihat, tidak ingin ditatap; ingin diperhatikan, tidak ingin dipelototi. Pikiran perempuan memang misteri. Dan mereka sendiri tidak mengerti mengapa mereka begitu.
Bukan Awannya. Bukan Airnya
Bukan karena indahnya gunung di waktu petang yang puncaknya mengagumkan karena diselimuti manja awan-awan tipis. Awan-awan seolah-olah enggan, seakan-akan ingin: merangkul puncak gunung yang terlihat olehku melalui kaca jendela mobil yang sedang melaju kencang, namun terasa terbang manja bagaikan layangan yang enggan menerima hembusan agin padahal dia membutuhkannya sebagai penyangga agar tetap melayang, agar tetap terlihat elok. Mobil kurasa terbang manja meski beberapa penumpangnya memegang dada karena supirnya menginjak pedal gas seakan tak waras, sedang bersiul-siul pula mengikuti alunan irama yang diputarnya melalui mp tiga.
Ya Allah, kau kirimkan sakit gigi yang begitu nyeri selama tiga puluh hari tanpa henti hamba dapat amini. Tapi meninggalkan kenangan pulang dari Pidie menumpang angkutan bus mini bewarna merah, hamba tak mampu. Allah, hamba tak kuasa. Hati hamba lemah, lemah karena kau kuatkan selalu ingatan hamba saat ketika jantung hamba seakan melompat ke lantai tempat taruh kaki, badan hamba seketika menggigil semua. Rasanya semua molekol yang menyusun tubuh hamba meleleh bagaikan gunung garam yang disapu gelombang.
Saat mobil hendak berangkat, aku menawarkannya buku Kahlil Gibran. Bagiku buku itu indah sekali, benar-benar menyentuh rasa. Bahkan telah lusuh karena telah berulangkali kukhatami. Dia mengambil buku itu, mencoba membaca beberapa paragraphnya. Lalu dikembalikannya padaku. "Tidak memahami, saya" katanya.
Aku tidak pernah tertarik untuk menafsirkan ucapannya. Akalku lumpuh dan hanya kalimat ucapannya kuangkat di atas kepala, kuisi di atas nampan, kubungkus kain sutera, kutaruh di atas kepala, kubawa ke mana-mana hingga nanti aku mati.
Baru hampir sepuluh tahun kemudian aku dapat mencerna makna kalimat ucapannya. Memang puisi sulit dipahami banyak orang kecuali yang sedang mabuk kepayang dilanda asmara dipanah cinta. Memahami maknanya malah hanya menambah luka, memperparah keadaanku.
Terus-terang sangat ingin aku mengetahui kabar tentang dirimu, bagaimana keadaanmu? Apakah kamu sudah menjadi guru Bahasa Inggris? Mengajar di mana? Apa kabar suamimu? Apakah dia sudah naik pangkat? Bagaimana-anak-anakmu? Ah, menyebut yang terakhir aku jadi malu pada masyarakat. Untuk apa mengurus anak orang.
Tahukah kamu hingga hari ini dan bahkan besok cintaku padamu takkan mungkin sedikitpun berkurang. Tahukah kamu hari-hariku melihatmu adalah kenyataan terindah dalam hidupku. Tahukah kamu memandang atap rumahmu dari atas bukit yang kulintasi untuk pergi memancing ikan di sungai Peusangan kenikmatannya takkan dapat digantikan dengan seribu milyar bintang-bintang.
Mencintaimu sampai besar anak-cucumu nanti memang terlihat tidak relistis. Namun bukankah sejak big-bang semuanya tak ada yang real.
Aku berhayal ketika kamu tua nanti, suamimu telah mati, anak-anakmu telah pada pulang ke rumah mertuanya, aku, di kamar depan rumahmu yang setiap lebaran selalu kukunjungi saat kita lajang dulu, memelukmu setiap saat. Duhai Tuhan. Inilah jalan paling indah nagi hamba menanti detik-derik kematuan. Menyandarkan kepala pada bahu yang kepalanya jatuh ke bahuku saat aku menatap puncak gunung yang diselimuti awan tipis bewarna putih.
Saat kepalanya jatuh kebahuku aku bergetar dan menggigil, kukira karena awan yang menyapa ujung bukit, kukira karena jernih air sungai Batee Iliek yang berkelok-kelok alirannya karena menabrak kencang batu-batu yang sangat banyak jumlahnya.
Bukan awannya, bukan airnya. Tapi aliran darahmu yang membuat darahku mengalir tak pasti. Dan betapa menyenangkan suatu hari nanti bisa kembali merasakan aliran darahmu dengan aliran darahku.
Utuh, Telah Di Hati
Malam ini gerimis. Aku keluar membeli susu kental manis, sesaset.Rencana kuseduh panas. Setidaknya menghilangkan dingin. Setiba di warung kubeli sesaset. Seribu dua ratus rupiah harganya. Setelah membelakangi warung, terfikir olehku: bagaimana kalau malam ini akan seperti malam-malam lain, susah tidur. Terlintas di pikiran membeli sesaset lagi. Hati berbisik: nafsu bila diturutkan takkan ada kata "cukup". Akan bisikan pikiran, aku mengurungkan. Melintasi jalan, tiba-tiba sebuah motor matic bewarna putih menerkam ke arahku. Aku terkena, tapi tak sampai jatuh. Motor terjungkal tak beraturan. Ternyata satu laki-laki, satu perempuan ikut terpelanting.Ini gara-gara kamu. Kau memang menyebalkan." kata pemuda setelah bangkit dari badan jalan. Gadis yang dimarahi terlihat tak berdaya. Setelah ikut bangun, wajahnya pasrah. Dari lampu jalan terlihat raut muka sedih dan tertekan."Maafkan, Kang." kata gadis itu sangat lembut padaku, menyadari teman laki-lakinya yang bersalah.Aku tak sempat membalas dengan: "Tidak apa-apa, lupakan saja" atau; "Sudah, lupakan saja, kamu sendiri, tidak apa-apa?""Ya sudah! Kita putus. Kau pulang sama dia aja." pria itu meraih stang motornya dan tancap gas. Anehnya, gadis itu tidak peduli mantan pacarnya pergi meninggalkannya. Dia kembali menanyakan keadaanku."Bener, Akang tidak apa-apa?"Ini aneh. Kenapa pula dia yang menanyakan keadaanku. Bukankah bahkan aku hanya sedikit tersenggol ban depan motor itu tadi dan bahkan tidak sampai terjatuh. Sementara dia sendiri yang terpelanting ke atas aspal sama-sekali tidak mengeluh dan malah memenanyakan keadaanku.Mungkin dia mengharapkan aku balik menanyakan keaadaannya. Tidak, mungkin bukan itu yang dia harapkan, pikirku."Tolong hantarkan aku sampai rumahku. Ke perumahan itu" dia menunjukke arah utara.Aku ingat, kurang-lebih tiga ratus meter ke arah utara ada sebuah perumahan mewah.Mengingat aku harus segera kembali ke lokasi training, sebenarnya aku agak kesulitan mengantarkannya.
Namun, melihat dia terlalu peduli padaku, mengingat gadis baru saja putus cinta dan menimbang tidak aman perempuan berjalan sendirian, apa lagi waktu malam (walaupun berjalan berdua dengan laki-laki bukan muhrim jauh lebih 'tidak aman' lagi), kuputuskan mengantarnya.Sampai di tengah perjalanan kami masih saling bungkam. Sampai dia bertanya:
"Kenapa diam saja?"
"Kalau tidak diam, tidak ada puisi" jawaban itu spontan keluar dari mulutku.
Bahkan aku sendiri tidak menyadarinya.
"Kamu seorang penyair?" tanyanya kagum
"Ah, tidak. Bukan. Tadi salah jawab" aku menghindar.
"Aku suka kamu. Maksudnya, aku suka penyair" katanya
"Tidak, aku bukan penyair.
"Tak terasa kami telah berada di depan rumahnya. Rumah itu lumayan indah. Ada taman kecil di halaman. Garasi terbuka, mataku menangkap mobil C-RV keluaran terbaru di dalamnya.
"Mari masuk dulu" dia menawarkan.
“Ah, tidak. Terimakasih" aku teringat training "mungkin lain kali saja"
"Secangkir teh panas sangat indah di malam yang dingin begini" bujuknya.
"Mungkin segelas susu hangat sangat segar besok sore" aku menawarkan."
“Baiklah. segelas susu menunggumu besok sore di sini" sambil dia menghadapkan wajahnya ke arah teras rumahnya.
Di sana kutemukan sepasang kursi mungil bewarna ungu bermotif putih dan di antaranya sebuah meja imut bewarna yang sama.
Aku mengharapkan sore besok adalah sore paling indah seumur hidup. Aku membayangkan kamu duduk di sama, mengobrol, berbagi cerita, bercanda dan tertawa bersama.Aku sempat mengucapkan selamat istirahat dan berpesan padanya untuk jangan terlalu khawatir akan keseriusan kata-kata pacarnya itu, sebelum pamit kembali ke lokasi training.
"Mungkin dia sedang emosi. Jangan khawatir. Besok dia akan menelfon dan minta maaf."
Terlihat dia tidak nyaman dengan kata-kataku itu.
"Aku sudah melupakannya sebelum itu terjadi" jawabnya teduh.
Aku memelihat dia bersedih. Aku ingin menghibur. Tapi bagaimana caranya?
"Cintamu utuh milikmu. Dia utuh di hatimu. Sampai kapanpun begitu. Engkau berhak menitipkannya ke hati siapa saja dan mengambilnya kembali kapan kau mau. Bukan begitu?" aku mengharapkan senyumannya.
"Sebelumnya memang begitu. Tapi setelah melihat wajahmu tadi saat engkau menyeberang jalan, cintaku telah kesitu. Dia menunjuki dadaku." kulihat dia berubah ceria sedikit.
Tapi ini mustahil. Mungkin dia merayu saja. Mana mungkin cinta semudah itu muncul, diberikan secara utuh dan tak dapat diambil kembali. Melihat aku kebingungan, dia berkata:
"Kau tau cinta itu datang pada pandangan pertama? Tahukah engkau bila dia tidak hadir pada kali itu, takkan pernah ada selamanya? Tegakah engkau pergi begitu saja setelah cinta di dalam hatiku yang utuh kini utuh di dalam hatimu. Bila kau jauh dariku sadarkah engkau seseorang yang cintanya utuh telah berada di dalam hatimu, kau biarkan begitu saja? Tegakah hatimu?" kata-kat ini membuat semakin bingung.
"Sekarang pulanglah. Aku dan secangkir susu menunggumu di sini besok jam empat sore." dia menangis lirih.
Kian detik-kian lirih. Ini mengusik dadaku, bahkan nyaris menyayat hati.
"Hati yang di dalamnya ada cinta dia yang utuh." bunyi batinku.
Bercucur air mata, sambil terbata-bata dia berkata:
"Kembalilah besok sore."
Aku mengangguk, mencoba menenangkannya. Aku memberanikan diri mengusap rambunya yang panjang terurai lurus. Gerimis berubah hujan. Dia mencoba menyeka airmatnya dari pipinya. Aku memperhatikan wajahnya. Ternyata baru kusadari dia begitu cantik. Lampu taman dan beranda rumahnya memperlihatkan bahwa kulitnya kuning langsat.
Perlahan aku menjauh. Jari-jari tangannya mencoba meraih jari-jari tanganku. Akupun berlalu. Setelah beberapa langkang membelangkanginya, dia memanggilku.
"Hei, boleh kutahu namamu..." aku berbalik dan tersenyum.
"Baiklah, besok sore saja" sambungnya sambil mencoba tersenyum dan melambaikan tangan.
Keesokan harinya agenda berubah. Kami harus kembali ke Mentra siang ini juga!
Dia menungguku sejak sore hingga keesokan paginya. Selama itu dia nyaris tidak bergerak, hanya sesekali mengusap pipinya yang terus mencucurkan air mata dan sesekali pula dengan belakang telapak tanngannya mengusap ujung batang hidungnya yang mancung. Matanya selalu menatap kosong dan jarang sekali berkedip.Menjelang pagi dia terkulai di atas salah satu kursi mungil bewarna ungu bermotif putih dan susu di dalam gelas sudah menunjukkan aroma tak sedap masih tergeletak di atas meja imut bewarna yang sama.
Tak Ada Istiqlal, Kathedral-pun Jadi
Sep sigee ka jeut keu ubat. Tajak seumayang u meuseujid Istiqlal leubeh jraa teuh daripada takeureuja bak Jeupang.
Si Yanis baroo dua uroe trok u Jakarta. Jih dijak keunoe kareuna ban woo Edvan Trening PII di Palembang. Alasan jih meunyo mita peng eungkoh woe u Aceh di Palembang cukop that sulet. KB PII Aceh tan di sinan. Ohlheuh nyan, meunyoe di Jakarta seulaen KB PII nyang dari Aceh ramee, di sinoe pih na kantoe Perwakilan Aceh. Biasa jih di kantoe nyan kayeem jibi tiket moto PMTOH untuk woe u Aceh.Nyang that meugura nyan keuh watee meuneuk jak u meuseujid Istiqlal. Nyoe dari jioh leumah sang-sang meuseujidnyan toe that. Ban kamoe beurangkat dari Monas rupajih leupah that jioh.
Seopot nyan ujeun. Si Yanis ngen awak nyoe jibeulanja bajee-bajee kaoh nyang na gamba Monas ngen tulisan "Jakarta". Lheuh beulanja kamoe piyoh bak teumpat meukat bakso. Si Yanis peusan bakso, long peusan es campur. Watee si Yanis pajoh eh campur, jiteumee ulat saboh manteng udeep. Si Yanis langsong ji piyoh pajoh, karap meutah. Si Nawar naha jipikee sapuu, ji takat lajuu.Watee tameng u lapangan Monas, peumandangan jih cukop ceudah. Awak nyoe ka lale poto-poto. Han ji thee langet maken seupot. Awan itam meugulong-gulong. Langet bih bacut-bacut jipeuten ie. Kamoe ka bulut.
Plung mita teumpat, boh panee na teupat meusom dari ujeun hinan. Bak kayee lah pelarian terakhir.
Monas adalah tujian kami. "Senja terakhir di Monas" kupeugah lee long. Awak nyan sengeh cet uroe ka jiwoe u Aceh. Jadi, ken, supot nyoe seupot seuneulheuh awaknyan i Jakarta.
"Apdet status" ipeuduk lee si Yanis.
Oh lheuh nyan i lhuk nyang keh. Icok hape. Paih ikeu Istiqlal dari jioh deuh kamoe eu geureja raya that-that, Kathedral. Geureja nyan meurithat awak Kriseuten han item theu taloe. Kukheun i loong
"Nyoe meunyoe han iteumee troh u Iqtiqlal, keunan u Kathedral ji tapeu keu" kukheun i loong.
"Hahaha" kamoe khem mandum: teungeh bulut, teungeh heek.
"Tak ada Istiqlal, Kathedralpu jadi" kutamah i loong.
"Apdet status" i peuduk lom lee si Yanis.
Ka i kleek-kleek hape lom.
Leupah tahat jioh kamoe mita pageu teubit dari Monaih, pageu nyang toe ngen Istiqlal. Si Yanis nyan. Aleh puu beda seumayang i Monaih ngen bak teumpat laen. Man, homlah: nan manteng golom i tameng, jih trok dari jioh pulak: hana puu lah.
Oh watee meurumpek pageu teubit, kamoe koh jalan. Di miyup ren keureuta apui lon tanyeng bak awak meukat hinan, pat pageu tameng yang paleng too lam meuseujid. Iyuu jak ju blah uneun "...setelah itu belok kiri" i kheun.
Rap siteugeh matee meujak, meu saboh pageu tan na teuhah. Rap na siploh boh pageu i top mandum. Lang maa ih. Lageee ek. Pu i peuget maaa ih. Rap meugrep pih pageu i gunci. Puu han ibi seumayang ureung, puu. (Nyang jaga) meuseujid pungoo bui.
Oh rap na sikoloe meuputa-puta akhee jih meurumpek saboh pageu nyang teuhah, bacut that teuhah, pah-pan ubee let badan sagai. Sang meunoe Ajadin han let. Iboh bosoe lom di miyup jih: nyas pasti nak bek i peutameng honda ngen itangeen. Ujeun maken brat. Kamoe meuplung u saboh traih. I peugah lee ureu hinan: teumpat tung ie semayang jioh lom keudeh u likot. Pluung lom lam ujeu. Lam maa ih awak peuget meuseujid, latee kee.
Ban trok bak teumpat tung ie seumayang: suut ipatu. Bak teungeh duk sut ipatu, deuh kudingee su. "Haram. Haram. Haram." Ban ku eu ka awak Arab. Tapi bajee jih lagee kaphee sit. "Hm, awak Arab" latee kee "Nyoe meulikot gop, i reupah awak meukat plaseutip nyan". Na awak meukat plaseutip, ineeng meupadup droe. Plasetip teumpat posoe silop. Ineeng mandum.
Ban meutameng u dalam meurumpek tulisan: Tempat Penitipan Alas kaki Gratis.
"Nyan. Pree bang, i kheu lee si Yanis." Kamoe pih peutoe ju keunan: peuduk ipatu. Pree! Oh lheuh nyan jaak lom. Doo jioh: Bak teumpat tung ie semayang. "Lam maaa ih" latee kee. Ban meu eu ie kaa saket iik. Jaak lom u ujong tempat tung ie seumayang. Doo jioh teumpat toh iek nyan. U ujoong teumpat tung ie seumayang. Doo jioh: Bit-bit hek teu tajak semayang keunoe: Lagee takeureuja bak kaphe!
Ubee naa kukalen, teupat toh iek model deeng mandum. Hana beda laga cara toh iek awak kaphe. Asee manteng pih na itinggong meubacut watee toh iek.Kupileh kran nyang agak unik bacut. "Meunyoe kran jih sama lagee ata i menteng rugoe that jak keunoe" ku kheun bak si Yanis. "Lheu tajak keu noe hek lagee takeureuja bak kaphe, hana nyang meu laen: rugoe lah!"I sampeng kran na manyang siteungeh metee. Panyang jing simete. Lebar meu 30cm. Atra nyan na bak tiep-tiep saboh leung antara tiang meunara. Na ureung semayang meupadup droe bak meupadup boh atra nyan. "Bak wese pih seumayang" babah kee tajam that memang.
Teubit dari teupat tung ie seumayang meuheut wet wie. Tapi langsong i ceugat lee satpam. "Shalat di atas mas, ya." "Ooo, i wateuh. Kupike di miyup satnyoe" latee kee. Nyoe koen ka meuri that kamoe ken awak Jakarta. Leet maa ih. Rheet bacut gengsi kamoe. Untong hana cewek watee nyan hinan. Meudeh ka gadeh keren, gadeh ganteng.Bit-bit meutamah beutoy: seumayang bak Isqiqlal sangat merepotkan, lagee takeureuja bak kaphe. Bit keu apa bunoe geutem seumayang bak bineh teumpat tung ie seumayang. Ban troh u teumpat seumayang, na sidroe awak atoe-atoe bareh semayang. But jih peureuseh lagee awak jaga parkir. Ureung nyang meubareh semayang pih lagee motoe meuparkir bak Carrefour i Medan: rapi that. Oh lheu ku teukeubii, kukalen u ateuh awak semayang i bareh i keu. Rupajih ramee that aneuk MTs Istiqlal. Sikula nyan bak lantai dasar Istiqlal. Adak meu hana awak nyan, kurasa ureung agam nyang seumayang rap hantrok saboh bareh puntong pih. "Leet maaa keu (awak kelola meuseujid) paleeh. Puu sit nyang kapeujra ureung, kagunci mandum pageu, puuu sit. Meu ureung seumayang lagoo tan. Ook maaa keuh."
Lheuh seuleusoe seumayang maken beutoy nyang kukira bunoe watee teungeh seumayang: Nyan awak seumayang pih rap mandum awak jamee: wisatawan nyang meu neuk eu meuseujid terbesar di Asia Tenggara. Cuma kareuna nyoe meuseujid dan kebeutulan nyang jak wisata pih awak Ieseulam, ya, jiseumayang lah. Bek hana mangat sagai ngen alam.
Ji teungku imum pih pungoe. Meuteueh nyoe Masjidil Haram bak geubaca ayat meuseulihat that. Oh lheuhnyan panyang tuloe. "Eee teungku imum cireet! Puu neupeuget but. Ureung seumayang dua kreek pih peu hayeu-hayeu droe." latee kee teungeh seumayang.
Teubit dari teupat tung ie seumayang meuheut wet wie. Tapi langsong i ceugat lee satpam. "Shalat di atas mas, ya." "Ooo, i wateuh. Kupike di miyup satnyoe" latee kee. Nyoe koen ka meuri that kamoe ken awak Jakarta. Leet maa ih. Rheet bacut gengsi kamoe. Untong hana cewek watee nyan hinan. Meudeh ka gadeh keren, gadeh ganteng.Bit-bit meutamah beutoy: seumayang bak Isqiqlal sangat merepotkan, lagee takeureuja bak kaphe. Bit keu apa bunoe geutem seumayang bak bineh teumpat tung ie seumayang. Ban troh u teumpat seumayang, na sidroe awak atoe-atoe bareh semayang. But jih peureuseh lagee awak jaga parkir. Ureung nyang meubareh semayang pih lagee motoe meuparkir bak Carrefour i Medan: rapi that. Oh lheu ku teukeubii, kukalen u ateuh awak semayang i bareh i keu. Rupajih ramee that aneuk MTs Istiqlal. Sikula nyan bak lantai dasar Istiqlal. Adak meu hana awak nyan, kurasa ureung agam nyang seumayang rap hantrok saboh bareh puntong pih. "Leet maaa keu (awak kelola meuseujid) paleeh. Puu sit nyang kapeujra ureung, kagunci mandum pageu, puuu sit. Meu ureung seumayang lagoo tan. Ook maaa keuh."
Lheuh seuleusoe seumayang maken beutoy nyang kukira bunoe watee teungeh seumayang: Nyan awak seumayang pih rap mandum awak jamee: wisatawan nyang meu neuk eu meuseujid terbesar di Asia Tenggara. Cuma kareuna nyoe meuseujid dan kebeutulan nyang jak wisata pih awak Ieseulam, ya, jiseumayang lah. Bek hana mangat sagai ngen alam.
Ji teungku imum pih pungoe. Meuteueh nyoe Masjidil Haram bak geubaca ayat meuseulihat that. Oh lheuhnyan panyang tuloe. "Eee teungku imum cireet! Puu neupeuget but. Ureung seumayang dua kreek pih peu hayeu-hayeu droe." latee kee teungeh seumayang.
Lheung semayang kamoe seumayang sunat. Awak si Yanis poto-poto. Rap mandum jamaah poto-poto. "Ken nyoe chek kee bunoe, rap mandum wisatawan. Jamaah nyang beutoy-beutoy meuheut jak seumayang, nyoe na meu dua droe" latee ke.
Lheu nyan kamoe teubit. Woe ngen bemo. Bayeu tujoh ribee. I peugah phon limeng blah. Kaa troh lom u Mentra 58. Ban malah kubuka fesbuk. Teukaleen status si Yanis: "Senja terakhir di Jakarta; tak ada Istiqlal, Kathedralpun jadi."
Lheu nyan kamoe teubit. Woe ngen bemo. Bayeu tujoh ribee. I peugah phon limeng blah. Kaa troh lom u Mentra 58. Ban malah kubuka fesbuk. Teukaleen status si Yanis: "Senja terakhir di Jakarta; tak ada Istiqlal, Kathedralpun jadi."
Cut dan Ampon
Dalam hidup selalu ada dua pilihan. Engkau lebih senang hidup bahagia dalam kebohongan atau sengsara dalam kejujuran. Karena wanita terlalu memaksakan diri untuk disanjung dan diberikan apresiasi setiap saat maka mau tidak mau, atau lebih tepatnya terrpaksa laki-laki harus memberikan kebohongn dan ketidak jujuran pada wanita yang dicintainya. Memilih jalan ini terlihat lebih aman bagi kedua belah pihak. Bahkan aku pernah mendengan seorang ibu berkata begini: "Dia (suaminya) mau selingkuh, mau kawin lain, itu hak dia. Asal jangan sampai terdengar ke telingaku, bisa hancur hatiku, sengsara jiwaku, merana batinku" katanya.
Cut adalah wanita yang unik dan berbeda, sebelum memutuskan menyambut uluran tangan Ampon untuk bersanding di pelaminan, Cut meminta agar Ampon tidak pernah membohonginya. Cut membiarkan Ampon untuk selingkuh atau bahkan berpoligami atau apa saja boleh dilakukan Ampon, asal jangan membohonginya. Prinsip Cut ini kukira tidak tepat karena hanya untuk memberikan peluang pada Ampon untuk menduakan cinta Cut. Namun aku berfikir pilihan Cut adalah cara paling ampuh untuk membuktikan kesetiaan cinta Ampon padanya.
Cut dan Ampon terbilang pasangan yang sangat muda dalam ikatan pernikahan. Usia Cut 18 dan Ampon 22, Dari pernikahan mereka aku memperoleh satu pelajaran yang sangat berharga bahwa pernikahan yang dilakukan karena alasan kelamin akan berakhir karena persoalan kelamin pula. Sebelum menikahi Cut, Ampon pernah berkata padaku bahwa alasannya menikah hanya satu yaitu menjaga kehormatan. "Menjaga kehormatan" adalah bahasa yang paling halus dari "memenuhi hasrat kelamin". Dari ungkapan Ampon aku mengetahui bahwa tujuannya menikahi Cut hanya satu itu saja.
Aku mencoba mencari informasi apakah Cut sendiri mengetahui niat Ampon menikahinya. Aku juga berhasrat untuk mengetahui apakah Cut mengetahui bahwa Ampon tidak benar-benar mencintainya? Atau kalau Cut mengetahui, lantas kenapa dia menerima pinangan Ampon.
Untuk mendapatkan semua informasi ini, terlebih dahulu aku harus mencari cara supaya dapat melakukan pendekatan dengan keluarga muda ini. Akhirnya aku memperoleh pekerjaan di rumah mereka sebagai supir pribadi Ampon. Posisiku ini tidaklah membuatku dapat sering mendekati Cut. Namun, posisi ini membuatku memporoleh banyak informasi dari Ampon. Intinya Ampon menikahi Cut samasekali bukan karena cinta. Dia menikahi Cut karena alasan kecantikannya saja. Lebih dari itu Ampon mengakui menikahinya untuk membalas sakit hatinya pada Cut.
"Sakit hati?" tanyaku benar-benar tidak mengerti.
"Tahukah kau bagaimana si Cut itu memperlakukanku sewaktu awal-awal aku mengenalnya?" Ampon diam sebentar dan melanjutkan "Dia mencibirku, menghinaku, memperlakukanku seolah-olah aku ini manusia tidak berguna. Dia menghina pekerjaanku, tampangku dan latarbelakang keluargaku. Di depan kawan-kawannya aku benar-benar manusia yang paling tidak patut untuk diterima cintanya oleh si Cut.
"Aku berusaha sekuat tenaga untuk memperoleh perhatiannya Cut. Aku tahu satu hal. Setampan apapun kau, kalau pekerjaanmu hina, kantongmu tak berisi, kau takkan memperoleh perhatian sedikitpun dari wanita sejelek apapun. Apalagi dari seorang wanita secantik si Cut itu.
"Akhirnya aku memperoleh pekerjaan yang layak dan mampu membeli rumah dan mobil. Perubahan kondisiku langsung saja membuat Cut tertarik padaku. Kesempatan ini langsung saja kumanfaatkan dengan menikahinya. Ya, aku menikahinya untuk membalaskan dendam-dendamku" cerita Ampon.
Iklan Citra memperlihatkan untuk membawa seorang wanita ke kehidupnmu, maka bawa serta seluruh kehidupannya padamu. Pohon dalam iklan itu sebagai representasi dari segalahal menyangkut kehidupan si cewek. Dan pekerjaan, adalah bagian daripada kehidupan seseorang yang paling sakral. Bekerja adalah aktivitas yang membuat kita layak menyatakan diri adalah bagian dari keselarasan alam.
Ampon telah mencabut Cut dari bagian kehidupannya dengan melarangnya bekerja. Padahal Cut adalah sarjana jurusan kesehatan terbaik di daerahnya dan dia tergolong pegawai teladan di tempatnya bekerja. Kehilangan pekerjaan adalah penderitaan batin pertama dialami Cut setelah menikah dengan Ampon. Selanjutnya penderitan demi penderitaan terus menimpa Cut: Perselingkuhan Ampon dengan puluhan wanita dan isu yang terdengar telinga Cut bahwa Ampon telah menikahi pacarnya waktu SMA akhirnya membuat Cut depresi. Terapi dan karantina di RSJ tidak mampu mengobati guncangan jiwa Cut.
Terpuruknya kondisi mental Cut berimbas pada kondisi fisiknya. Akhrinya Cut masuk rumah sakit. Ampon menyuruhku menjaga Cut di RS. Dia memesan padaku kalau Cut menanyakan dirinya, harus kujawab Ampon di luar negeri karena urusan yang tidak dapat ditinggalkannya. Aku menuruti permintaan Ampon bukan karena takut pada Ampon. Aku melakukannya karena tidak sanggup melihat hati Cut yang memang telah hancur semakin hancur lagi bila dia mengetahui Ampon sedang liburan ke Bali bersama istri barunya.
Aku menganggap cintaku adalah cinta yang tinggi. Karena itu, waktu itu, sepuluh tahun yang lalu aku tidak mendesak diri untuk mengutarakan cintaku dada Cut. Aku tidak ingin cintaku yang tinggi terkontaminasi oleh persoalan-persoalan yang remen-temeh seperti urusan terlambat pulang kerja, urusan rumah yang kotor dan urusan masakan yang kurang garam. Aku memutuskan tidak mengungkapkan cintaku pada Cut karena ingin cintaku tetap tinggi, tetap suci meskipun resikonya adalah dia harus dimiliki orang. Yang membuat hatiku sangat sakit adalah karena yang memiliki Cut adalah orang jahat seperti Ampon.
Tapi aku tetap menganggap itu semua adalah konsekwensi yang harus kuterima untuk terus memelihara cintaku pada Cut. Bagiku cinta yang dimiliki akan menurun kualitasnya. Cinta akan semakin subur bila terus merindui, terus sepi dan sunyi. Caranya adalah dengan tidak mengotori cinta dengan ikatan pernikahan. Itulah caraku merawat cinta.
Sewaktu mengantarkan obat pesanan dokter pada Cut, aku melihat kondisinya sangat parah. Tubuhnya tinggal kulit dan tulang. Tapi dimataku kecantikan Cut tidak pudar. Bahwa yang sedang terbaring di hadapanku saat ini adalah wanita satu-satunya yang kucintai. Aku tak pernah mencintau wanita yang lain sampai kapanpun. Dan kalau nanti aku harus menikah, itu semata kulakukan karena aku adalah bagian dari mamalia yang harus memiliki keturunan.
Hatiku begitu luka melihat kondisi cintaku yang seperti ini. Cut adalah segalanya bagiku. Aku mencintainya tanpa pamrih sama sekali. Dan itu kubiktikan dengan tidak memiliki dirinya.
Tanpa kusadari airmataku jatuh.
"Kenapa kau tidak mengatakannya waktu itu" suara Cut berat dan pelan sekali saat aku sudah berbalik hendak meninggalkan ruanga. Aku menoleh kembali. Cut mematapku sayu. Aku tak mampu menjawabnya. Yang membuatku heran adalah kenapa Cut mengetahui aku mencintainya. Padahal sama sekali tidak pernah kutunjukkan padanya, dihadapannya bahwa aku mencintainya, baik melalui tindakan maupun ucapan.
"Apa kau senang melihat cintamu seperti ini. Apa ini yang kau inginkan?"
Aku cuma diam. Nafasku tertahan ditenggerokan.
Aku mendekatinya. Memaksakan senyum dan berkata. "Apa yang nyonya ucapkan".
Dia betul-betul mengetahui kepura-puraanku. Lalu meraih lenganku dan menggenggamnya. Kurasakan tulangnya yang berbungkus kulit. Cut, sedikitpun cintaku tak berubah: meski kini kau istri majikanku, meski kini kondismu begini.
"Sudah sadarkah kau akan kelirunya dirimu memaknai cinta" sambungnya. Aku tak kuat. Air mataku jatuh. Tak mampu lagi aku menduga-duga darimana dia mengetahui segalanya.
Dia menengadahkan tangannya. Aku merangkulnya. Ini seperti mimpi bagiku. Aku bergetar. Seluruh persendianku terasa lumpuh. Baru kali ini aku mengetahui nikmatnya dalam pelukan kekasih. Duh, seandainya ini kuketuhui sepuluh tahun lalu.
Tiba-tiba Ampon berhamburan ke dalam dan melihat kami.
Seribu Pancaran Sinar Mentari
Kawan, seharusnya tidak sekarang aku menceritakannya padamu. Ceritaku layaknya kusampaikan saat aku telah berada di Teheran atau Muenchen, saat aku menjadi salah seorang Profesor di sana. Tapi bagaimana kalau cinta lama merangkulku lalu membawaku pergi? Konon, kudengar dia telah berubah menjadi monster mirip Orge dalam game "Tekken".
Ceritaku bermula saat keranjang hijau telah kosong dan hanya menyisakan beberapa plastik keresek dan seikat lidi bambu. Setelah kukayuh sepedaku menjauhi Sambu, tempat di mana sore itu bungkus terakhir mie Aceh yang kujual seribu rupiah perbungkus disapa perut yang sedang lapar, aku telah membelakangi billboard besar tempat di mana iklan rokok "Kennedy" bertengger. Iklan itu telah senyum manis di persimpangan jalan dekat Medan Mall sejak enam tahun lalu saat usiaku masih sebelas tahun. Tiba-tiba aku berhenti dan menoleh ke arah spanduk besar itu. Bulu kudukku berdiri. Terdengan bisikan "Miswari, kamu akan kuliah."
Kuliah? Saat itu kuliah adalah mustahil bagiku. Aku nyaman dengan realitas yang sedang kujalani. Kuliah adalah hal mustahil. Setiap pulang sekolah aku bergegas ke sebuah rumah milik orang Tangse yang telah lama tinggal di Medan. Salahsatu kamarnya disewakan padaku. Seratus ribu rupian per-bulan. Sesampai di rumah aku langsung mandi, shalat dzuhur dan berlari ke rumah Mak Boi. Di sana Mak Boi memberikanku makan siang dan malam, dua kali sehari, hanya dengan membayar seratus ribu rupiah per-bulan. Harga itu memang tidak pantas. Tapi aku tahu dia mau membantuku. Selasai makan aku buru-buru ke rumah Kak Syah. Di rumah beralaskan tanah itu telah bersedia sebuah sepeda yang lusuh. Di sandelnya telah terisi penuh bungkusan-bungkusan mie. Aku meraih sepada itu. Setiap hendak mengayuh untuk pertama kali aku selalu membaca Al-Fatihah. Selalu. Tidak pernah tinggal sepanjang dua tahun kerjaku menjual mie Aceh seribu! Meski saat itu otakku belum mengantongi konsep tentang kekuatan sebuah surat terdiri tujuh ayat itu, aku yakin Al-Fatihh punya kekuatan melebihi langit dan bumi. Apalagi untuk menghabiskan dagangan sekeranjang mie, pikirku dulu.Pekerjaan itu kulakukan sejak kelas dua hingga kelas tiga STM. Kelas satu aku masih tinggal di rumah salah seorang familiku. Pulang sekolah aku membantu mereka mengolah sirip hiu hingga menjadi salah satu dari bagian santapan lezat di restoran-restoran kelas atas.Bisikan tadi itu membuatku tercengang dan kembali membuatku melihat kembali kondisiku. "Kuliah? Mustahil!" gumamku. Diam-diam hati kecilku menyumpan keinginan yang maha besar untuk kuliah. Tapi keinginan itu tidak boleh membuatku tidak rasional. Bisikan-bisikan seperti itu adalah bisikan tentang masa depanku yang tak bisa kubantah, apalagi kuhindari. Persis seperti bisikan saat aku di Masjid Muhammadiyah setelah lulus S1. Waktu itu bisikan itu mengatakan aku akan ke Jakarta.Karena kutahu bisikan itu adalah sesuatu yang tak bisa kulawan. Aku memilih mempersiapkan segala sesuatu tentang bisikan itu.Tiga bulan lagi Ujian Nasional. Aku sadar tidak seperti kawan-kawan yang bisa mempersiapkan ujian dengan mengikuti bimbingan belajar di lembaga-lembaga elit seperti Ganesha Operation Atau Primagama, makanya aku berfikir cara lain untuk mempersiapkan diriku.
Malam itu aku mengatakan pada Kak Syah bahwa aku hanya akan bekerja dua bulan lagi. Ini kuberitahukan agar dia bisa mempersipkan diri. Aku, akan mengumpulkan uang sebisa mungkin untuk sebulan menjelang UN karena saat itu aku akan berfokus pada belajar serta mengikutu les tambahan oleh pihak sekolah.
Caraku agar lulus UN adalah dengan membeli sebuah buku tentang penduan mengikuti UJIAN NASIONAL 2004. Aku mengawali dengan mempelajari soal UN dari tahun paling rendah. Strateginya adalah dengan mengisi jawaban atas petanyaan-pertanyaan itu dalam selembar kertas lembar jawaban fotokopian dari contoh lembar jawaban yang dilampirkan pada halaman buku itu. Salahsatu manfaat cara seperti itu adalah belajar mengasah kebiasaan melingkarkan jawaban agar tidak lepas dari bacaan komputer saat pemeriksaan lembar jawaban sesungguhnya nanti.Setelah mengisi lembar jawaban itu, aku memeriksanya dengan berpanduan pada lembaran kunci jawaban yang telah disediakan dalam buku. Aku mempersentasekan jawaban yang benar denga nilai yang kuperolah. Saat itu standar kelulusan 4.01 per mata pelajaran yang di UN-kan. Selanjutnya membaca sepintas lalu jawaban yang benar. Pada jawaban yang salah aku benar-benar mempelajarinya hingga aku paham betul. Demikian setiap mata pelajaran yang di UN-kan hingga sampai pada prediksi soal UN 2004.Setiap mengerjakan mata pelajaran dari tahun terendah dalam buku hingga 2003, nilaiku terus naik. Pada prediksi mata pelajaran 2004 aku memperoleh: Matematika lima koma sekian; Bahasa Inggris enam koma sekian dan: Bahasa Indonesia enam koma sekian.
Seminggu sebelum UN berlangsung, aku telah bersiap menghadapi ujian. Waktu seminggu itu kumanfaatkan untuk menyegarkan ingatan tentang soal-soal itu.Seminggu menjelang UN aku harus pindah dari kos. Dua dua hari aku terpaksa tidur di gudang perabotan milik orang Aceh. Sebelumnya aku telah akrab dengan pemilik dan pekerjanya karena mereka telah lama menjadi pelanggan mie Aceh jualanku.Tiga hari menjelang ujian, Agam menerimaku tinggal di tempat usahanya. Syaratnya aku harus membantunya berjualan minyak, koran dan majalah. Aku senang. Itu lebih baik daripada menghadapi hari-hari penting dalam hidup tanpa tempat tinggal yang jelas.
Hari pertama ujian aku menyelasaikan soal-soal ujian Bahasa Indonesia dengan mudah. Malam harinya, drama dimulai. Setelah mengulang sepintas lalu prediksi soal-soal Matematika UN 2004, aku beranjak tidur. Ayat-ayat pendek kubacakan penuh harapan dan kecamasan. Besok ujian Metematika dan dan Agama Islam. Jadi aku harus konsenterasi betul. Matematika begitu mendebarkan. Agama Islam? Ah, tak masuk dalam hitunganku. Tidak di UN-kan! Saat hendak memejamkan mata, begitu saja masuk sekelompok pemuda berpakaian preman menggeledah seisi ruangan tempat usaha Agam. Aku memang tidak pernah mengunci pintu sebab Agam menyuruhnya begitu. Dia datang bila-bila waktu ke toko. Pemuda-pemuda itu membuka payung yang tersangkut di dinding dan mencari sesuatu di dalam sepatu sekolahku dengan mengangkat kaus kaki di dalamnya. Mereka juga menggeledah tempat-tempat lain yang mereka suka. Saat itu aku belum curiga siapa mereka meski cara menggeladahnya mengesankan sekali.
"Mana si Agam." Tanya seorang pria agak gemuk, gondrong dan muka seram.
"Keluar, Bang. Mungkin di rumahnya." jawabku kecut.
"Di rumah tak ada" sahut yang lainnya.
"Mana kau simpan barangnya" tanya si gondrong tadi.
Aku diam tak bisa menjawab apapun lagi. Di tengah-tengah kesibukan mereka menggeledah, di dalam otakku terlintas pikiran: Mungkin mereka adalah orang yang akan menyita barang-barang tertentu dalam toko Agam karena dia tidak mampu membayar utang.
Saat aku telah duduk dibarisan kedua sebuah minibus terlintas kesan dalam ingatanku: Bukankah kondisi seperti ini adalah orang yang sedang di gelandang Intel Polisi ke Tempat interogasi seperti yang sering kutonton dalam program "Patroli" di Indosiar. Kesan itu menghilang begitu saja.Aku telah berada di sebuah ruangan dalam kantor Polisi. Karenaa dari pertama saat di naikkan ke dalam moli aku membaca rute tujuan. Aku sadar betul telah berada di Poltabes Medan. Bahkan aku sering melawatkan sore seputaran Markas ini berjualan Mie Aceh dengan sepeda butut itu.
Beberapa saat kemudian aku dibawa keruangan lain. Di sana Agam telah duduk manis. Dia menjawab lugu dan singkat pertanyaan-pertanyaan pemuda yang duduk di balik meja menghadap sebuah komputer di atas meja hitam di depan kami. Aku melihat asbak di depan penginterogasi telah sangat sesak oleh abu rokok dan puting "Sampoerna Mild".
Pikiranku terfokus pada kedua orang tuaku. Aku membayangkan bila aku dijebloskan ke dalam sel yang berada sekitar sepuluh meter di sebelah kananku, bagaimana aku bisa memberitahukan orang tuaku bahwa aku telah dipenjara. Dipenjara karena tidak ada satupun Undang-undang yang dibuat Tiran-tiran di "rumah mewah" itu kulanggar. Aku sangat khawatir orang tuaku akan khawatir karena kehilangan diriku, khawatir mereka takkan tau aku ke mana. Kasihan pada kedua manusia yang paling kucintai setelah Nabi Besar Saw. Mereka telah berharap anak-laki laki mereka akan segera menamatkan sekolahnya di rantau. Namun ternyata telah masuk penjara tanpa mereka tau. Satu momen paling penting yang membuyarkan lamunanku terjadi: Penginterogasi: Dia ikut, enggak?
Agam : Sama seka tidak, Bang.
Penginterogasi: Jadi cuma kau sendiri yang makai?
Agam : Bener, Bang
Penginterogasi: Jadi benar dia tidak terlibat?
Agam : Iya, Bang.
Penginterogasi: Betul, kau!?
Agam : Sama sekali tidak, Bang!
Penginterogasi: Hah? (Setengah berdiri mencondongkan muka ke arah Agam. Melotot tajam)
Agam : Ya, Bang. Dia enggak.
Detik itu pula langsung terfikir olehku: Kalau saja Agam ingin berbuat buruk padaku. Mudah saja dia melakukan ini:Penginterogasi: Dia ikut, enggak?
Agam : Iya, Bang.
Penginterogasi: Jadi dia ikut juga?
Agam : Benar sekali, Bang.
Penginterogasi: Jadi benar dia terlibat juga?
Agam : Iya, Bang.
Penginterogasi: Betul, kau?
Agam : Benar, Bang! Sebenar setelah "Q", "R"
Penginterogasi: Hah? (Setengah berdiri mencondongkan muka ke arah Agam sambil tersenyum lebar. Melotot dengan memperlihatkan kedua bola mata dengan beningnya)
Kenapa orang yang jauh lebih muda darinya tetap dipanggil "Bang" oleh Agam? Bukankah pengintrogasi yang sangat tampan, berkulit kuning langsat itu jauh lebih pantas menjadi foto model atau bintang iklan jus buah manis bersama gadis-gadis remaja yang cantik-cantik dan centil-centil daripada berprofesi sebagai orang yang kejam, tegas, dibenci semua orang yang pernah duduk di balik mejanya dan didoakan semoga ibunya mati dengan cara terpotong-potong badannya karena ditabrak kereta api dan istrinya dimutilasi setelah diperkosa ramai-ramai dan kemaluannya ditusuk-tusuk besi panas menyala oleh semua orang yang pernah merasakan panas monitor komputer di atas mejanya yang menerpa wajah mereka?
Aku tidak sempat memikirkan pertanyaan-pertanyaan yang sangat tidak perlu kucari jawabannya dalam kepalaku. Aku tak punya ruang dalam kepalaku untuk memikirkan jawaban-jawaban itu. Otakku penuh dengan kesenangan: Pria tampan anak Teuku Banta Sulaiman tidak perlu panik dan pusing mencari anaknya yang hilang di Medan dan perempuan paling cantik dan paling tajir di Peusangan era 80-an tak perlu gelisah menanti keberadaan dan keadaan anaknya yang paling bandel itu.
Selanjutnya aku dibawa kembali ke ruangan tadi. Aku kembali duduk lemas di atas sofa empuk bewarna hitam itu. Aku sangat mengantuk, sangat lemas. Lebih dari itu mentalku down betul. Sembari tertidur dan terjaga, di sela-sela keduanya, dalam tertidur dan ter bangun, pikiranku tertuju pada satu kata: MATEMATIKA. Sambil itu, hatiku bergumam penuh kekhusyu'-an: Ya Allah, Allah Rabbnya alam semesta, Junjungan Rasulku yang mulia, Sesembahan ibu dan ayahku serta tempat bergantung dan menyerahkan diri kakek-kakek dan buyut-buyutku sepanjang masa: Bila kau tak izinkan hambamu yang semasekali sedang tak bedaya di depan-manusia manusia ini, benar-benar hina di hadapan-Mu dan mereka, maka usahlah Kau kirimkan cinta padaku lagi sampai kapanpun. Aku mencintaimu dalam senang dan susahku, dalam mudah dan pedihku, dalam senyum dan tawa dan dalam murung dan muramku. Aku mencintaimu melebihi cinta seorang ibu rumahtangga akan rumah suaminya. Ya Allah, aku menyayangimu melebihi sayangnya seekor puddle akan bulu-bulu indah yang membuatnya hidup dan menjadi alat kebanggaannya: Maka perkenankan harapanku wahai Yang Maha Suci. Doa itu terus saja mengalir dalam hatiku, kadang tidak beraturan.
Lalu tiba-tiba masuk salah seorang polisi yang samar-samar terlihat di mataku. Dia menghampiriku dan bertanya.
"Jadi kau anggota (a)Gam?"
"Ya, Bang." jawabku lemas, sangat lemasnya aku hingga suaranyapun samar-samar terdengar olehku.
DUUUUP DUUUUUP DUUUP
Tiga tendangan PDL di kakinya yang dibuat dari uang petani pinang yang hasil kebunnya itu dihargai seribu limaratus rupiah namun dijual tigapuluh dua ribu rupiah untuk setiap satu kilogram.Tendangan itu membuatku tersungkur ke lantai. Aku tak bisa bernafas. Kupikir malaikat segera datang dengan sebuah karung beras 50kg dan pulang dengan karung yang telah berisi nyawaku di dalamnya. Aku benar-benar sangat kesakitan. Sampai saat ini, kesakitan yang paling payah yang kurasakan adalah malam selasa itu. Aku hanya mengingat Allah, kekasih yang setahuku saat itu adalah yang paling mencintaiku. "KataMu yang paling mencintaiku adalah Kau. Tegakah kau melihat yang Kau cintai ini tersiksa sangat parah seperti yang sedang kurasakan saat ini? Apa yang akan Kau lakukan padaku?" pikirku dalam benakku.
"Matematika"
"Sepatu"
"Matematika"
"Sepatu"
"Matematika"
"Sepatu"
"Allah"
"Ayah-ibuku"
Kata-kata itu datang secara berurutan dan berulang-ulang ke dalam kesadaran pkiranku. Kukira kalau aku mati saat itu, maka Matematika, sepatu, Allah dan ayah-ibuku adalah hal-hal yang paling mengsankanku sepanjang hidup di surga.
Samar-samar aku mendengar polisi-polisi lain menegur si penendangku itu."Kok, kau hajar pulak dia?"
"Separatis, katanya dia"
"Bukan, Coy. Anak buahnya si Agam itu"
"Ooo"
Aku baru tau, maksud pertanyaannya. Mungkin, adalah untuk sekedar bercanda dengan menanyakan apakah aku anggota atau terlibat dengan gerakan pemberontakan di Aceh saat itu, GAM. Pertanyaan semacam ini sering ditanyakan pada orang Aceh untuk sekedar bercanda atau menggoda.
Aku menjawab "ya" karena kukira maksudnya adalah bertanya apakah aku orang yang bekerja pada Agam, pemuda yang sedang diinterogasi di ruang lain. Di Medan, biasanya, orang-orang yang "bekerja pada" disebut "anggotanya". Melihatku terkapar tidak berdaya sama-sekali si penendang itu hanya memandangi tubuhku yang sedang memiting-miting persis seekor cacing yang sedang dijemur di atas piring melamin di bawah sinar matahari yang sangat terik. Hanya sedikit air muka mengiba sudah cukup bagiku seorang polisi meminta maaf atas sebuah kekeliruan yang hampir saja membuat nyawaku melayang. Untuk berkata "Maaf" atau "Sori Coy" dia enggan. Dia sadar seragamnya lebih berharga dari kata-kata konyol itu. Akupun sadar akan betapa berharganya seorang personil Polisi. Setidaknya berdasarkan pengetahuanku bahwa meski mereka adalah penegak hukum, bila ada seorang anggota mereka mati ditangan seorang warga, maka si pembunuh personil Polisi itu akan mati tanpa perlu menempuh jalur hukum formal manapun. Sebuah penegakan hukum yang begitu tegak dari Penegak Hukum.
Beberapa anggota polisi yang sedang barada di hadapanku mulai membicarakan tentangku, lebih tepatnya tentang nasibku. Mereka telah mengetahui bahwa aku pelajar. Mereka juga tau aku sedang UN. Kupastika mereka tau aku harus ujian Matematika.
Jam enam pagi aku dibolehkan pulang.
"Tau nya kau jalan pulang?" tanya salah seorang personil Polisi.
"Tau, Bang." Spontan.
Aku girang meski mata mengantuk sangat, otot-otot lelah betul dan badan remuk-radam. Aku pulang jalan kaki dari Poltabes ke Tuasan, Pasar Tiga. Sempat terfikir olehku kalau saja tadi kujawab aku tidak tau jalan pulang, mungkin mereka akan mengantarku pulang dengan mobil. Tapi aku ragu kalau kujawab begitu, aku tak jadi dikasih pulang pula. Teringat akan sel tahanan. Aku tidak jadi menyesali jawabanku tadi. Dalam perjalanan tak henti-hentinya aku mengucap syukur.
Jangan tanya bagaimana: Lima belas menit aku tiba di Tuasan. Sebelum sampai di toko saudara-saudara si Agam melempariku dengan pertanyaan-pertanyaan tentang kondisi Agam di Poltabes. Mereka bertanya dengan sangat serius. Kupastikan beberapa di antara mereka sama denganku tidak tidur semalaman. Karena gelisah tentang kondisi Agam.
Shalat subuh antara sadar dan tidak. Melihat tempat tidur ngantukku semakin menjadi-jadi. Aku menghempaskan badan ke tilam. Berfikir kalau saja momen sembilan jam dari sekarang tidak pernah terjadi. Sembilan jam yang lalu aku masih berada disini, di atas tilam ini hendak tidur.
"Matematika!" Terlintas dalam pikiranku akan kata itu.
Tiba-tiba aku teringat kalau saja aku memejamkan mata, aku takkan ke sekolah. Hari ini ujian mata pelajaran yang sangat menentukan hidupku. Aku bergegas mandi. Lalu segera berangkat ke sekolah meski terlalu pagi. Ini lebih baik bila tetap dekat dengan tempat tidur. Aku sempat tertidur ayam dua tiga kali di dalam angkutan umum. Setiba di sekolah orang-orang sudah ramai. Ditangan mereka semua sedang memegang apasaja yang dapat membantu mereka menjawab soal-soal Matematika yang akan diujikan sesaat lagi. Aku masih sibuk dengan perutku yang sangat sakit akibat ditendang polisi tadi malam. Pengalamanku tadi malam begitu mengesankan. Seolah-olah hanya mimpi belaka. Hanya rasa sakit di perut dan serangan kantuk yang membabi-buta yang dapat membuatku sadar bahwa peristiwa tadi malam bukan mimpi. Kalau hal ini kuceritakan pada teman-temanku, pasti tak ada yang percaya, bukan karena mereka terlalu sibuk dengan beban Matematika, namun karena apa yang kualami tadimalam sangat luar biasa.
Bel dibunyikan. Pengumuman-pengumuman yang di suarakan melalui pengeras suara tidak ada satupun kudengar dan kupahami. Aku ikut berbaris di antara yang berbaris di lapangan upacara untuk mendengar arahan kepala sekolah setiap pagi selama UN. Aku tak mendengar sepatah katapun. Aku sibuk dengan perutku dan terlalu besar kantuk menyelimutiku.
Masuk keruangan aku mencoba membuang kantuk. Gagal. Aku tersungkur, tertidur di depan lembaran soal dan jawaban Matematika. Aku mecoba sadar dari tidur. Tertidur sejenak saat ujian berlangsung aku bermimpi sedang mengerjakan soal-soal Matematika. Lalu dalam mimpi itu aku jatuh ke bawah meja akibat kursiku patah. Aku tersentak dan terbangun. Saat sadar ternyata benar aku terjatuh ke bawah meja. Ternyata saat mengantuk tadi aku kehilangan keseimbangan dan punggungku merosot dari kursi dan aku terjatuh kedepan kursi, ke bawah meja. Pengawas mengamati. Peserta ujian lain ingin tertawa tapi tidak berani. Masa depan mereka lebih penting daripada menertawakan sesuatu yang sangat layak untuk ditertawakan. Kalaupun mereka tertawa sangat wajar. Namun cita-cita yang tinggi membuat mereka harus mengenyampingkan kewajaran-kewajara.Aku masih berjuang melawan kantuk. Bahkan sakit perut telah menyerah dari rasa kantuk yang sangat besar. Aku terus berjuang.
Pertanyaan pertama coba kubaca. Gagal. Aku kehilangan fokus. Mengantuk ini sangat dalam dan tinggi besar. Aku tidak tidur semalaman. Jadi aku mengantuk. Itu wajar. Namun karena bisikan yang telah kusampaikan padamu itu, kawan, membuatku yakin bahwa cita-citaku besar. Karena cita-citaku besar, maka aku harus melampaui batas-batas kewajaran.Waktu tersisa tinggal empat puluh menit lagi. Sementara lembar jawabanku belum terlingkar satupun. Cita-cita besar itu membuatku kuat melawan kantuk dan lelah. Mataku melototi soal-soal ujian sementara aku terus mencoba memfokuskan pikiran. Fokus. Aku membaca satu soal lalu menghitung dan membuat rumus untuk mencari jawaban yang tepat. Demikian terus menerus hingga pertanyaan terakhir. Dua puluh pertanyaan berhasil kujawab dalam waktu empat puluh menit. Aku bekerja keras.Bekerja keras melawan batas-batas kewajaran demi masadepan yang lebih baik. Dan saat inilah penentuannya. Aku masih ragu, Matematika adalah pelajaran yang amat sulit dan mengerjakannya dalam kondisi sangat sulit. Aku sangat takut tidak lulus Matematika. Bila nilaiku empat koma nol atau lebih rendah darinya, aku takkan lulus. Tidak lulus adalah aib terbesar bagiku.
Sejak hari selesai ujian Mtematika, aku tidak penah berhenti berdoa pada Allah. Aku tak pernah meninggalkan shalat tahajjut.
Tiba hari pengambilan surat pemberitahuan hasil UN, aku berpakaian sangat rapi. Doa dengan sangat tawadhu' dan khusyu' tak henti-hentinya kupanjatkan. Tiba di pekarangan sekolah aku menggigil. Aku paling khawatir dengan nilai Metematikaku.
Di depan sebuah kelas, Bapak Kepala Sekolah telah duduk manis menantikan kami. Aku dan kawan-kawan menghampiri. Pria gemuk berkulit sawo matang itu tersenyum pada kami. Aku tersenyum pula seperti bentuk bibir seseorang yang sedang dalam keadaan sangat payah di wc.Tubuhku bergetar saat meraih sebuah amplop putih yang disodorkan Bapak Kepala Sekolah. Bapak Kepala Sekolah menyadari kondisiku, mengetahui apa yang sedang berkecambuk di dalam tempurung kepalaku. Dia tersenyum saja.Saat telah memegang amplop putih itu di dalam pikiranku terlintas seribu refer: "mie Aceh",
"Ibuku",
"sirip ikau hiu",
"Mahathir",
"Kakak",
"Lidia",
"Sambu",
"Lapak Judi Jalan Tuasan",
"Sepatu",
"Majalah",
"bensin",
"koran"
Kondisiku berubah menjadi takut:
"Poltabes",
"Agam",
"Payung",
"kaus kaki yang di angkat dan melihat isi sepatu",
"sel tahanan di Poltabes",
"Pria yang paling tampan di seluruh dunia yang pernal kulihat sedang binging, panik dan khawatir mencariku di kota Medan". Yang paling membuat hatiku tak menentu ketika itu adalah saat wajah ayah sedang menjengukku di Pesantren dulu. Kukika lebih baik aku tidak pernah ada di muka bumi ini bila tidak lulus karena mengenang wajah ayahku. Ayah yang paling mencintai anaknya adalah ayahku. Ayah adalah seorang pria hidup pas-pasan namun menyekolahkan anaknya yang nakal ini ke Boarding School yang dihuni anak-anak pengusaha, pejabat kelas atas dan kontraktor. Aku tidak sanggup bila mengingat wajah ayah. Aku lebih baik tidak pernah ada di dunia ini bila tidak lulus.
"Baca Bismillah..." Suaraku itu membuatku terkejut. Rupanya Ibu Guru Agama Islam-ku yang menegurku saat aku sedang mencoba menyobek amplop.
"Tahukah Ibu Guru, bahwa telah tiga kali Al-Fatihah dan berpuluh-puluh surat pendek telah kubaca dalam hati sejak menerima amplop ini. Bismillah... pulak?" Tentu saja jawaban ini hanya kubunyukan dalam hati.Aku membaca basmala dengan agak sedikit berbunyi untuk menghormati Ibu Guru yang manis berumur tiga lima namun belum kawin itu. Aku masih belum beranjak jauh dari meja Bapak Kepala Sekolah.
Kutemukan selembar kertas bewarna pulit dengan isi tulisan di bagian dalam lipatan seluruhnya. Seingatku itulah surat formal pertama yang kuterima seumur hidupku. Kubuka lipatan itu. Kubaca itu tertuju padaku: MISWARI. Kucari langsung inti daripada Isi surat. Kutemukan: "TIDAK LULUS" tercoret dan "LULUS" tak di coret. Artinya aku lulus UN!
Kulihat nilai ketiga mata pelajaran yang di UN-kan itu: Bahasa Indonesia: 7.69; Bahasa Inggris: 6.89 dan; Metematika: 4.02. Subhanallah! Langsung terfikir olehku kalau satu lagi saja saja soalan Matematika itu terjawab salah, dapat kupastikan nilaiku di bawan empat. Dan, itu artinya aku tidak lulus UN! Tidak tidur semalaman dan terkena sepatu Polisi ditambah mendal yang jatuh terpuruk malam menjelang ujian Matematika membuatku yakin 4.02 untuk nilai Matematika adalah karamah dari Allah SWT.
Meski cinta ayah tingginya tak terlampaui langit tidak ada apa-apanya dengan berhasil lulus STM, perjuangan mengolah sirip hiu dan bersepeda mengelilingi Kota Medan setiap hari pulang sekolah terjawab sudah. Poltabes dan sepatu PDL Polisi-pun lunas.
Aku tersungkur melekatkan keningku ke tanah dekat teras ruang belajar. Mataku mengeluarkan airnya sebanyak-banyaknya. Aku tak peduli Bapak Kepala Sekolah, Tak peduli Ibu Guru Agama Islam. Aku tak peduli semua orang yang ada di sini. Aku tenggelam dalam haru. Ibu Guru Agama Islam ikut menitikkan air mata. Kutahu dia tau sedikit banyak perjuanganku di Medan. Bapak Kepala sekolah yang hampir setiap hari berada di belakang kami: artinya setiap hari kalah berlari dengan kami karena hampir setiap hari kami berhasul lolos dari kejarannya karena suka cabut sekolah; kami yang membuatnya malu sejadi-jadinya di hadapan kepala sekolah lain karena tingkah kami yang kurang ajarnya di atas rata-rata kurang ajar seluruh siswa se-Kota Medan, namun hari ini, kulihat mimik wajahnya, haru melihatku. Kubaca air mukanya. Kutemukan Kalimat-kalimat: Akan kukatakan pada dunia aku pernah punya siswa superhero sepertimu, Nak; Akan kuceritakan kebanggaanku bahwa aku punya siswa yang setiap harinya berjualan mie berkeliling dengan sepededa lusuh namun dia lulus UN.
Kawan, saat itu UN adalah moster yang sangat berbahaya. Kalau tidak salah 70persen siswa seangkatanku tidak lulus. Bahkan, waktu itu, Kawan, ribuan peserta bimbingan belajar pada lembaga-lembaga bimbingan belajar ternama di Medan terpaksa kecewa. SMS semua jawaban yang benar dari guru untuk menghindari malu karena takut dianggap gagal mendidik siswa dan kerena mengharap uang receh dari kepala sekolah yang takut dipindah tugas, belum ada waktu itu.Kepedihan yang datang bertubi-tubi dan hidup mulai terasa gelap gulita diganti seribu pancaran sinar mentari, a thausands splendid suns.
Bapak Kepala Sekolah menghampiri dan merangkulku. Kulihat matanya semakin memerah. Dekapannya membuatku teringat pada ayahku. Masih menitikkan air matanya, dari belakang datang Ibu Guru Agama Islam mengelus-elus pundakku. Air dari mataku belum mau berhenti mengalir. Perih perutku akibat PDL Polisi masih terasa menusuk-nusuk. Langit sangat cerah, seribu pancaran sinar mentari mulai menyengat. Semua pasang mata tertuju pada kami.
Malam Ini Tidak Ada Bintang
Kukatakan pada Makku. "Aku ingin berjumpa dan berbicara dengannya sehari penuh. Karena besok adalah hari kematianku."
Tidak ada yang akan mati lebih bahagia dariku. Karena segala hasrat seumur hidupku telah kupenuhi sehari menjelang kematian. Mungkin para syuhada dan pezina yang mati dirajam dengan senyum karena segala dosanya telah dihapuskan bersama butiran-butiran batu yang menghantam tengkoraknya adalah orang-orang yang berbahagia bersamaku.
Aku duduk mengobrol dengannya. Menanyakan segala perjalanan hidupnya sejak terakhir kami berjumpa. Aku mengenang masa indah saat di meunasah desa Paya Cut. Tidak ada yang memotifasiku untuk berjalan kaki sejauh dua kolometer di malam buta untuk shalat tarawih kecuali harapan dia akan datang. Aku tak parnah libur ke meunasah selama 30 malam meski kutahu sepanjang Ramadhan dia hanya datang 4 sampai 6 kali. Karena aku tak tahu malam apa saja dia akan datang, kiputuskan aku tidak boleh absen. Semua demi kamu, Raihan.
Menanti dengan harap dan cemas seperti kualami di setiap malam-malam Ramadhan rupanya dialami juga semua muslim di seluruh dunia. Bedanya, mereka menanti kedangtanga Lailatul Qadar, aku menunggu tibanya kekasihku.
Raihan, malam ini tidak ada bintang. Kulit otakku penuh wajahmu. Malam ini begitu dingin. Tidak ada satupun bunyi kendaraan. Tahukah kamu aku mendengar suara burung-burung. Gedung-gedung di sini senyap seolah menunggu sesuatu. Aku tak tau apa itu. Tapi pepohonan di depan rumahmu kelihatan lebih ramah. Mereka menari-nari dengan perlahan mengikuti hembusan angin.
Raihan rumahmu adalah taman surga. Biarkan saja semuanya menuju Firdaus. Aku ingin tetap di sini, di taman halaman rumahmu. Menunggumu keluar dengan baju pengantin bewarna putih. Kunanti wajahmu hadir kembali di hadapanku.
Raihan, mataku rindu menatapmu kembali. Raihan aku sepi sendiri di sini. Aku tidak sanggup. Tidak sanggup saat membayang kan engkau sedang lelap bersama anak-anak dan suamimu di sebuah rumah bahagia.
Aku di sini seperti cacing yang yang dilumuri abu dapur. Setiap malam aku keluar menantang ganasnya udara malam yang menikam hingga sela-sela rusuk. Aku mencari wajahmu di atas langin yang kelihatan hampa. Bila ke laut aku menungu-nunggu bila-bila wajahmu timbul dari dasar samudera.
Aku di sini seperti cacing yang yang dilumuri abu dapur. Setiap malam aku keluar menantang ganasnya udara malam yang menikam hingga sela-sela rusuk. Aku mencari wajahmu di atas langin yang kelihatan hampa. Bila ke laut aku menungu-nunggu bila-bila wajahmu timbul dari dasar samudera.
Raihan, aku sengsara. Pada siapa aku mengadu kalau bukan pada namamu yang telah menyatu bersama segala ingatanku. Namamu telah menguasai seluruh memori pikiranku.
Provokasi
Ceritakan saja kejelekan seseorang yang dianya benar-benar kamu tidak suka. Maka saya langsung membenci orang itu. Bahkan bila tujuanmu murni untuk memprovokasi, sayapun akan langsung terpengaruh.
Mak sering menceritakan sisi-sisi negatif tentang Raihan dan keluarganya karena tidak suka melihat saya selalu menangis hingga kehabisan tenaga setiap setelah bertemu Raihan. Setiap pulang berjumpa Raihan saya langsung mengunci diri di dalam kamar. Terkenang sangat indah bersama dengannya beberapa waktu tadi dan langsung menangis sejadi-jadinya. Saya tidak tau kenapa begitu. Saya menduga karena roh saya telah tau saya akan menderita seumur hidup sebab tidak ditakdirkan menjadi pasangannya.
Mak sering menceritakan sisi-sisi negatif tentang Raihan dan keluarganya karena tidak suka melihat saya selalu menangis hingga kehabisan tenaga setiap setelah bertemu Raihan. Setiap pulang berjumpa Raihan saya langsung mengunci diri di dalam kamar. Terkenang sangat indah bersama dengannya beberapa waktu tadi dan langsung menangis sejadi-jadinya. Saya tidak tau kenapa begitu. Saya menduga karena roh saya telah tau saya akan menderita seumur hidup sebab tidak ditakdirkan menjadi pasangannya.
Di kamar tempat saya mengunci diri dan menangis sejadi-jadinya beberapa tahun ke depan Raihan menyisir rambutnya yang luar biasa panjang. Malam itu pulang dari Pidie usai Basic Training PII. Tidak mungkin saya mengantarnya langsung ke rumah karena kami tiba di Bireuen telah malam. Jadi dia menginap satu malam di rumahku.
Saat dia sedang menyisir rambut Mak kebetulan masuk. Mak terkejut dan sangat kagum melihat rambut Raihan yang sangat panjang. "Ya Allah, panyang that ök dih i dara nyoe" mak setengah berteriak, setengah histeris.
Raihan, kukagumi kecantikanmu. Kupuja keanggunanmu sampai aku mati. Kusimpan kenangan-kenangan indah tentang dirimu. Aku setia mencintaimu sampaiku mati.
Saat dia sedang menyisir rambut Mak kebetulan masuk. Mak terkejut dan sangat kagum melihat rambut Raihan yang sangat panjang. "Ya Allah, panyang that ök dih i dara nyoe" mak setengah berteriak, setengah histeris.
Raihan, kukagumi kecantikanmu. Kupuja keanggunanmu sampai aku mati. Kusimpan kenangan-kenangan indah tentang dirimu. Aku setia mencintaimu sampaiku mati.
Aku Takut Mimpi Kamu
Kalau malam tiba aku takut untuk tidur. Aku takat akan bermimpi tentang kamu. Yang sebenarnya kutakutkan adalah ketika terbangun dari mimpi. Satu lagi, yang kutakutkan, adalah akhir dari mimpi. Biasanya, akhir mimpi, selalu menakutkanku, menyakitkan. Walau apapun akhir mimpi, ketika terbangun, selalu membuatku gelisah, sakit sekali, tapi tak tau sakitnya di mana.
Allah, saya selalu tersiksa.
Suatu malam aku bermimpi Raihan duduk berdua dengan Ibuku. Aku melihatnya dan yakin bahwa Ibu mencoba merayu Raihan untuk menerimaku sebagai suami. Dalam mimpi itu Raihan belum menikah. Dia hampir akan menikah, tapi pertunangannya batal. Terdengar olehku Ibu berkata padanya.
"Menikahlah dengannya, jangan khawatir meski dia sudah beristri." Maksud Ibu, beliau yakin cintaku kepadanya akan sepenuhnya hingga tak sedikitpun tersisa untuk istriku.
Bahkan aku rela menceraikan istriku bila Raihan menerimaku sebagai suami, Ibu. Aku ingin lebih baik Ibu menyampaikan kalau aku akan menceraikan isteriku. Agar Raihan semakin mantap menerimaku.
Setelah ibu selesai berbincang dengan Raihan, aku mencari-cari kekasih hatiku itu di sekitar pondok tempat Ibu berbincang tadi. Sesuatu memberitahuku Raihan berada di rumah Kakekku. Aku ke sana menemui para penghuni rumah. Aku tidak dibolehkan menjumpai Raihan sebelum sungkeman denga Kakek dan Nenek. Terlebih dahulu aku meraih tangan ayahnya Ayahku, Ampon Banta Leman yang biasa kami panggil Ampon Nek. Aku mencium tangan beliau yang sebenarnya telah Almarhum. Setelah mencium tangannya, beliau memintaku mencium pipi kanannya, saat mencum pipi kanannya, aku melihat segumpal keci darah yang kelihatan mengeras, tapi masih merah segar dekat telinga beliau. Saat mulutku dengan mulut beliau mendekat waktu menarik wajahku, beliau sempat memasukkan sirih yang sedang beliau kunyah kedalam mulutku. Aku mengecap isi mulutku itu, terasa manis air pinangnya yang telah memerah. Apa makna itu? aku masih bertanya-tanya. Mungki sebagai syarat dari belau agar dapat aku menemui Raihanku.
Lalu aku menemui Nenek yang duduk meluruskan dua kaki dan menggempit keduanya sedang beliau menyiapkan bakong asoe untuk disisipkan antara gusi dan kulit dalam bibirnya yang biasa dilakukan orang tua. Setelah mencium tangan Nenek, Raihan dipersilakan naik tangga dekat Nenek duduk dan menemuiku.
Lalu aku menemui Nenek yang duduk meluruskan dua kaki dan menggempit keduanya sedang beliau menyiapkan bakong asoe untuk disisipkan antara gusi dan kulit dalam bibirnya yang biasa dilakukan orang tua. Setelah mencium tangan Nenek, Raihan dipersilakan naik tangga dekat Nenek duduk dan menemuiku.
Allah, aku menjumpai Raihan. Bagaimana perasaanku, tak bisa kuungkapkan! Jantung hatiku mengenakan jilbab segi empat tipis bewarna merah jambu. Bajunya kombinasi garis-garis warna hitam biru dan hijai, dikit merah dengan warna dasar putih. Rok kembangnya bewarna merah jambu juga. Ya Allah, dia sangat anggun. Bidadarimu tidak ada satupun yang menandingi kecantikannya. Ya, Allah, simpan saja bidadari-bidadari-Mu, di surga, aku mau bersama Raihanku saja.
Aku mengajaknya kencan, saat sedang berjalan bersama akan memasuki sebuah mall, aku menyandarkan bagian kanan kepalaku di bahu kanannya. Dia memiliki tinggi sama denganku karena sedikit dibantu sepatu tinggi. Nyaman sekali. Aku sadar tia tidak nyaman dengan ini. Aku tak bergeming. Dalam hayalanku selalu, aku hanya akan bisa bersandar seperti ini padanya kelak bila dia tua dan suaminya telah mati. Tapi ternyata aku bisa melakukan ini saat ini, saat dia masih jelita dan aku masih muda. Aku sadar akan beresiko besar menyandarkan kepala di bahunya saat ini. Tapi aku tak mau menghentikan tindakanku karena kutahu dalam setiap mimpi dan renunganku, aku menginginkan situasi seperti ini. Raihan, andak kau tahu besarnya cintaku padamu.
Menuju warung makan di sebuah warung kelas bawah di dalam mall, yang tampaknya di sana, Raihan sidah terbiasa makan di sini, aku teringat tidak bawa rokok. Aku berfikir ingin permisi keluar gedung cari rokok karena di warung di dalam gedung mall, harga rokok mahal. Tapi aku tak ingin meninggalkan Raihan. Entah kenapa aku sadar momen ini hanya sementara, jadi tidak ingin aku mensia-siakannya.
Saata Raihan memesan dua nasi aku baru sadar perutku belum lapar. Memesan kopi dan merokok saja sambil menatap belahan jantungku adalah lebih efektif bagi saat-saat yang sangat langka ini, pikirku. Aku ingin membatalkan saja nasi untukku dan biar nasi dipesan satu porsi saja buatnya. Kalau ku katakan dengan suara rendah, aku yakin koki dan pelayan tidak akan atau pura-pura tidak dengar. Bukankah itu siasat mereka untuk mencari uang.? Maka berteriaklah aku mengatakan agar nasinya satu porsi saja. Raihan sangat malu dengan tindakanku yang tidak sopan dan membuatnya sangat malu. Dia menginjak kakiku dengan ujung tumit sepanya yang runcing. Aku menjerit dan terbangun.
Aku terkenang saat Raihan sakit saat Latihan Kepemimpinan di Sigli. Aku membelikannya nasi, tapi dia tidak memakannya. Kenapa waktu itu aku sangat bodoh dan tidak teringat untuk membeli makanan lain seperti sate dan bakso setelah menemukannya tidak selera makan nasi. AKu bodoh, aku ceroboh, akalku pendek, akalku sempit. Aku menyesal, aku menyesal sekali. Aku sangat menyesal.
Saata Raihan memesan dua nasi aku baru sadar perutku belum lapar. Memesan kopi dan merokok saja sambil menatap belahan jantungku adalah lebih efektif bagi saat-saat yang sangat langka ini, pikirku. Aku ingin membatalkan saja nasi untukku dan biar nasi dipesan satu porsi saja buatnya. Kalau ku katakan dengan suara rendah, aku yakin koki dan pelayan tidak akan atau pura-pura tidak dengar. Bukankah itu siasat mereka untuk mencari uang.? Maka berteriaklah aku mengatakan agar nasinya satu porsi saja. Raihan sangat malu dengan tindakanku yang tidak sopan dan membuatnya sangat malu. Dia menginjak kakiku dengan ujung tumit sepanya yang runcing. Aku menjerit dan terbangun.
Aku terkenang saat Raihan sakit saat Latihan Kepemimpinan di Sigli. Aku membelikannya nasi, tapi dia tidak memakannya. Kenapa waktu itu aku sangat bodoh dan tidak teringat untuk membeli makanan lain seperti sate dan bakso setelah menemukannya tidak selera makan nasi. AKu bodoh, aku ceroboh, akalku pendek, akalku sempit. Aku menyesal, aku menyesal sekali. Aku sangat menyesal.
Aku menyesal kenapa tidak masuk ke ruang saat dia berbaring sakit di kamar peserta. Aku menyesal kenapa aku hanya mengintipnya saja dari balik pintu. Aku menyesal tidak masuk dan mencoba mengobrol dan menghiburnya. Aku menyesal sekali. Tapi, setidaknya, hai belahan hati, kini kamu adalah kader PII, sama seperti diriku.
Mencintaimu adalah masalah sekaligus anugerah bagiku, sekaligus masalah. Aku tidak bisa mensyukuri cinta ini karena hatiku sendiri sebagai bagian dari 'syukur' itu sendiri. Sama seperti aku tidak bisa keluar dari masalah ini, sebab, diriku sendiri adalah bagian dari masalah itu sendiri.
Memang benar adanya, cinta sejati itu tidak membutuhkan badan. Cinta sejati menemukan esensi, bukan bergulat bersama eksistensi.
Raihan, memang surga telah kumasuki sebelum bumi ini digulung, kalau saja kau hidup bersamaku.
Jawa Negeri di Awan
"Tajak Beutroh, ta eue beu deueh" kata seniman Aceh, Rafly. Maksudnya, pergilah hingga tiba dan coba memandang hingga benar-benar melihat. Agar, segala sesuatu tidak sebatas diduga, tidak segera percaya dari apa orang kata dan tidak sembarang berasumsi. Maka pesannya adalah dengan mendatangi sendiri sumber berita hingga benar-benar tiba dan melihatnya sendiri dengan mata kepala. Dengan itu, baru bolehlah kita menilai sesuatu.
Jawa adalah bangsa yang mendapatkan stigma negatif bagi kalangan masyarakat Aceh selama konflik (1972-2005?). Karena, masyarakat Aceh menganggap pemerintah pusat hanya berpihak pada masyarakat Jawa. Juga, karena mereka menganggap orang Aceh harus lebih sejatera daripada orang Jawa karena Aceh memberikan sumbangan sumber daya alam (SDA) yang jauh lebih banyak daripada Jawa. Juga, karena aparat keamanan yang dikirim ke Aceh keanyakannya adalah orang Jawa. Secara keseluruhan, menurut anggapan anggota GAM dan masyarakat yang dililit konflik "Jawa" adalah representasi dari masyarakat Indonesia selain Aceh.
Tindakan aparat di Aceh semasa konflik memang sangat biadab. Konon demikian katanya. Menurut radio bergigi, seorang gadis diperkosa di depan Abu-nya.Di Rumoh Geudong, Pidie, konon penyiksaan oleh aparat terhadap anggota GAM yang melanggar HAM manapun sering berlaku.
Para pemuda sering dijemur betelanjang dada di atas aspal di bawah terik siang menyengat. Biasanya ini dilakukan saat aparat melakukan pengejaran terhadap GAM, namun mereka berhasil lolos kembali ke hutan.
Seorang supir angkutan pedesaan, bernama Si Lie Ma'e Inggreh adalah orang pertama yang mampu dan berani mengangkat realita ini ke ranah publik secara kritis. Di tengah pasar Matanggumpangdua dia mengkritik tindakan GAM secara tegas dan suara lantang: "Orang GAM beraninya cuma bunyikan senjata di tengah pemukiman warga, saat aparat akan tiba, mereka lari. Jadilah warga sipil sebagai tumbal".
Memang demikian adanya. Anggota GAM suka membunyikan senjata api di tempat-tempat keramaian warga seperti pasar dan pemukiman. Tentu saja tindakan ini memancing aparat untuk turun dan mencari GAM. Namun GAM pastinya telah terlebih dahulu menghilang ke tengah kepanikan warga bila di pasar dan lari kehitan bila di pemukiman. Di pasar agak lumayan karena aparat yang marah hanya melampiaskan kemarahannya dengan menembaki kaca-kaca toko meskipun tidak jarang banyak warga yang kena peluru nyasar. Parahnya bila GAM memancing di perkampungan, maka aparat, yang biasanya Brimob suka turun ke kampung sumber bunyi ledakan senjata dan menggeledah semua rumah serta memaksa keluar semua laki-laki kecuali anak-anak dan tua renta. Tidak jarang mereka keliru dengan memaksa keluar orang stres yang telah sakit bertahun-tahun. Orang stres seperti ini biasanya dirantai dan dipasung. Melihat rantai dan pasungan, aparat menemukan pemandanga yang sangat dramatis. Mereka berasumsi macam-macam: Mungkin dia adalah GAM yang ditangkap sendiri oleh keluagranya lalu dirantai sambil menunggu aparat yang menjemput; mungkin dia adalah GAM yang terlebih dahulu ditangkap teman aparat lainnya namun belum sempat diboyong ke markas. Sambil memandang dengan seksama wajah orang stres dalam pasungan, mereka juga berasumsi: mungkin ini adalah teman aparat yang ditangkap GAM.
Laki-laki dewasa yang dipaksa keluar rumah dibariskan di suatu tempat dan diperiksai KTP masing-masing. Musibah bila: satu, dia beralamat pada desa-desa yang digaris merah oleh aparat. Dua, tidak bisa berbahasa Indonesia dengan baik.
Masalah kedua ini pernah dialami Daud. Saat para pemuda dibariskan di pinggir jalan dekat sebuah sungai, mereka diinterogasi. Karena mereka membuat bingung aparat, mereka dibawa ke bibir sungai. Dengan menghadap ke sungai, mereka diperintahkan berjalan beberapa langkah ke depan. Daud, karena sadar tidak bisa berenang, masing hanya beberapa langkah memasuki air. Padahal teman-temannya yang lain sudah hampir tenggelam seluruh dadanya. Kawan-kawannya bahkan sudah berada hampid di tengah aliran sungai.
Geram Daud dianggap tidak patuh, seorang aparat membentaknya, "Ke tengah lagi, kau." Maksudnya agar dia bisa berdiri sejajar dengan teman-temannya yang lain.
Mendengar perintah itu, bergegas Daud menuju bibir sungai. Melihat Daud yang menentang instruksi, aparat spontan marah. Dia ditendang dan terlempar jauh hingga mencapai ke tengah sungai.
Daud yang tidak mengerti bahasa Indonesia mengira, dia diperintang untuk 'teungeh'. Kata itu dalam bahasa Aceh bermakna naik dari bawah ke atas. Orang yang sedang mandi di kolam atau sungai bila diperintahkan atau ingin menepi disebut 'teungeh'. Mengangkat orang yang jatuh ke dalam sumur lalu di angkat disebut: peu'tengeh'.
Sekejam itukah aparat yang notebenenya berasal dari Jawa itu? Apa memang demikian karakter masyarakat Jawa? Jawabannya: Tidak!
Bahkan tentara-tentara yang didaulat untuk menjadi "mesin pembunuh" biasanya dikirim dari luar pulau Jawa. Biasanya dari Maluku atau Nusa Tenggara. Satuan Brimob yang terkenal ganas biasanya mereka yang dari Lampung. Kalau saja mayoritas aparat itu bukan dari Jawa, entah bagaimana lagi nasib orang Aceh.
Orang Jawa dibesarkan bukan dengan benci, mereka tidak diberi maka dendam. Suku Jawa adalah suku yang paling mudah menerima segala dinamika hidup. Mereka memiliki etos kerja yang luar biasa tinggi.Orang Jawa mampu mengolah hutan rimba menjadi ladang. Mereka menyulap gunung berubah sawah.
Saat transmigrasi diimplementasikan, perekonomian di Aceh berputar kencang. Pribumi merasakan betul dampak positifnya. Namun ada suatu perbenturan kebudayaan yang tidak dapat diterima masyarakat di sana. Masyarakat Aceh marah karena transmigran dari Jawa tidak berpakaian dan bertata hidup sebagaimana dijalankan masyarakat di sana. Mereka menuding Jawa tidak beragama.
Jawa tidak beragama? Aku menilai sebuah masyarakat taat beragama atau tidak, salahsatunya, adalah dengan melihat perempuannya berpakaian. Aku naik bus angkutan di Jawa Tengah. Aku semakin terkejut saat melihat hampir semua perempuannya berpakaian sopan dan berjimbab. Semakin kuoerhatikan semakin aku takjub. Kubuat saja model statistik ala-ku sendiri. Aku menghitung perempuan-perempuan dari sati sampai lima. Lalu diantara lima hitungan kujumlahkan berapa orang yang berjilbab, berapa yang tidak. Hasil perhitunganku diantara empat, satu yang tidak. Selanjutnya dua tidak, tiga berjilbab. Dan seterusnya hingga saat kurata-ratakan. Ternyata empat dari lima perempuan Jawa berjilbab. Ini aneh bagiku. Sebab sebelumnya benakku tak dapat diganggu: orang Jawa tak baik dalam beragama. Tapi kesimpulan yang kudapatkan ini merubah derastis pandanganku. Kusadari selama ini aku keliru.
Aku yang bingung campur keliru terkenang dengan gadis-gadis di Aceh yang memakai jilbab seperti mengisolasi kepala dengan kain. Teringat dengan potongan celana mereka yang menampakkan jelas lekuk selangkangan depan dan belakang. Sesuatu yang telah lama kusadari: kebanyakan perempaun di Acej terpaksa membungkus aurat karena paksaan Perda yang diubah nama: Qanun.
Bagian dari keadaan-keadaan yang membuatku nyaman dan menikmati adalah dikala aku di dalam bus lalu menikmati indahnya pemandangan hutan, gunung-gunung, pedesaan dan bentangan sawah. Saat aku sedang menikmati perkebunan sawit yang kadang-kala membuat hatiku sakit, aku dikejutkan oleh aksi seorang ibu muda yang ketika beberapa saat bus Pelangi memasuki wilayah Sumatera Utara meninggalkan kawasan Tamiang. "Merdeka" katanya sembari menarik kuat jilbab kurungnya dan menghempas-hempaskan rambutnya hingga terurai.
Pengalaman itu mengingatkan pada perjalanan ke Medan pada saat yang lain ketika aku berada di jok paling belakang bersama seorang wanita Kristen yang anggun dengan jilbab bewarna abu-abu yang setia menutupi bagian atas badannya kecuali wajah. Dia kelihatannya nyaman benar dengan jilbabnya itu. Waktu itu aku tidak sempat menduga dia adalah intel tentara atau bukan meskipun dalam obrolan kami yang sangat menyenangkan itu dia sempat mengaku tinggal di asrama prajuri di Keutapang. Sampai kami berpisah di tengah-tengah kota Medan kulihat dia begitu khidmad dengan jilbabnya. Sempat kutanyakan kenapa dia berjilbab. "Menghormati kaum muslim dan Syariat Islam". Jawabannya begitu sederhana. Tapi aku menemukan makna yang mendalam dibalik kata-katanya.
Kalau saja tidak karena tidak ingin dia malah akan seperti ibu muda di dalam Pelangi tadi setelah menjadi muslim, akan kuajak dia masuk Islam.
Duhai indahnya menikmati alam di balik jendela bus yang sedang berusaha menyesuaikan diri dengan tikungan-tikungan patah.
Karena itu Rafly berseru untuk tidak segera menilai sesuatu sebelum menghampiri danbenar-benar melihat dengan mata kepala sendiri. Di Tanah Jawa aku menemukan manusia-manusia yang ruar biasa gigih bekerja. Aku yakin takkan ada kompetisi yang tidak akan dimenangkan orang Jawa karena keuletan dan ketekunannya. Di pedalaman Jawa akan kita temukan orang-orang yang turun ke ladang melawan dingin di pagi buta. Mereka bekerja di tangah-tengah kabut yang takkan minggat kecuali telah tepat di atas kepala kalaupun cuacanya cerah. melihat tanah Jawa membuat kita teringat tentang dongeng tentang sebuah negeri di Awan.
Bukan Awannya, Bukan Airnya
Bukan karena indahnya gunung di waktu petang yang puncaknya mengagumkan karena diselimuti manja awan-awan tipis. Awan-awan seolah-olah enggan, seakan-akan ingin: merangkul puncak gunung yang terlihat olehku melalui kaca jendela mobil yang sedang melaju kencang, namun terasa terbang manja bagaikan layangan yang enggan menerima hembusan agin padahal dia membutuhkannya sebagai penyangga agar tetap melayang, agar tetap terlihat elok. Mobil kurasa terbang manja meski beberapa penumpangnya memegang dada karena supirnya menginjak pedal gas seakan tak waras, sedang bersiul-siul pula mengikuti alunan irama yang diputarnya melalui mp tiga.
Ya Allah, kau kirimkan sakit gigi yang begitu nyeri selama tiga puluh hari tanpa henti hamba dapat amini. Tapi meninggalkan kenangan pulang dari Pidie menumpang angkutan bus mini bewarna merah, hamba tak mampu. Allah, hamba tak kuasa. Hati hamba lemah, lemah karena kau kuatkan selalu ingatan hamba saat ketika jantung hamba seakan melompat ke lantai tempat taruh kaki, badan hamba seketika menggigil semua. Rasanya semua molekol yang menyusun tubuh hamba meleleh bagaikan gunung garam yang disapu gelombang.
Saat mobil hendak berangkat, aku menawarkannya buku Kahlil Gibran. Bagiku buku itu indah sekali, benar-benar menyentuh rasa. Bahkan telah lusuh karena telah berulangkali kukhatami. Dia mengambil buku itu, mencoba membaca beberapa paragraphnya. Lalu dikembalikannya padaku. "Tidak memahami, saya" katanya.
Aku tidak pernah tertarik untuk menafsirkan ucapannya. Akalku lumpuh dan hanya kalimat ucapannya kuangkat di atas kepala, kuisi di atas nampan, kubungkus kain sutera, kutaruh di atas kepala, kubawa ke mana-mana hingga nanti aku mati.
Baru hampir sepuluh tahun kemudian aku dapat mencerna makna kalimat ucapannya. Memang puisi sulit dipahami banyak orang kecuali yang sedang mabuk kepayang dilanda asmara dipanah cinta. Memahami maknanya malah hanya menambah luka, memperparah keadaanku.
Terus-terang sangat ingin aku mengetahui kabar tentang dirimu, bagaimana keadaanmu? Apakah kamu sudah menjadi guru Bahasa Inggris? Mengajar di mana? Apa kabar suamimu? Apakah dia sudah naik pangkat? Bagaimana-anak-anakmu? Ah, menyebut yang terakhir aku jadi malu pada masyarakat. Untuk apa mengurus anak orang.
Tahukah kamu hingga hari ini dan bahkan besok cintaku padamu takkan mungkin sedikitpun berkurang. Tahukah kamu hari-hariku melihatmu adalah kenyataan terindah dalam hidupku. Tahukah kamu memandang atap rumahmu dari atas bukit yang kulintasi untuk pergi memancing ikan di sungai Peusangan kenikmatannya takkan dapat digantikan dengan seribu milyar bintang-bintang.
Mencintaimu sampai besar anak-cucumu nanti memang terlihat tidak relistis. Namun bukankah sejak big-bang semuanya tak ada yang real.
Aku berhayal ketika kamu tua nanti, suamimu telah mati, anak-anakmu telah pada pulang ke rumah mertuanya, aku, di kamar depan rumahmu yang setiap lebaran selalu kukunjungi saat kita lajang dulu, memelukmu setiap saat. Duhai Tuhan. Inilah jalan paling indah nagi hamba menanti detik-derik kematuan. Menyandarkan kepala pada bahu yang kepalanya jatuh ke bahuku saat aku menatap puncak gunung yang diselimuti awan tipis bewarna putih.
Saat kepalanya jatuh kebahuku aku bergetar dan menggigil, kukira karena awan yang menyapa ujung bukit, kukira karena jernih air sungai Batee Iliek yang berkelok-kelok alirannya karena menabrak kencang batu-batu yang sangat banyak jumlahnya.
Bukan awannya, bukan airnya. Tapi aliran darahmu yang membuat darahku mengalir tak pasti. Dan betapa menyenangkan suatu hari nanti bisa kembali merasakan aliran darahmu dengan aliran darahku.
Raihan
Banyak momen-momen singkat yang terjadi meski sebertar dan sering tanpa direncana memberi kesan luarbiasa sepanjang sisa nafas. Maka beruntunglah bila momen itu adalah pengalaman yang menyenangkan karena setiap kali dikenang akan selalu memberi senang meski di sebarang waktu dan ruang. Teruk sangat bagi sesiapa yang menemukan momen tidak menyenagkan karena setiap kali dia punya kenangan kembali, setiap kali kesengsaraan kembali dan senantiasa menyesakkan hati.
Maka mana-mana di antara dua kenangan rasa itu yang lebih tinggi, pada itulah nasib hidupnya bergantung. Bila momen bahagia yang paling berkesan, maka meski hidup senantiasa diliputi sengsara setiap kenangan bahagia itu kembali maka menjadi bahagialah dia. Maka meski sepanjang sisa hidup bahagia, namun momen rasa yang paling mengesankannya adalah duka, maka selamanya hidup sengsara.
Terakhir kali aku melihatnya waktu aku sedang duduk di depan sebuah meja di dalam sebuah warung kopi. Aku beristirahat melepas lelah. Dia terlihat lebih tinggi, tidak sekurus dulu, kulitnya yang putih terlihat semakin bercahaya. Aku melihat dia mengailkan salah satu ujung segi jilbabnya yang bewarna seperti papaya masak pada sanggul rambutnya yang tertutup. Kalau zebra bewarna hitam-putih, maka warna baju yang dia kenakan hari itu juga dua warna seperti motif zebra, yaitu putih - merah jambu. Dua orang temannya yang mengapitnya juga dapat di golongkan punya kecantikan di level teratas masih jauh ketinggalan kalau dibandingkan kecantikan wanita yang telah membuatku gila sepanjang masa itu.
Waktu itu wajahnya begitu agung, dia begitu mempesona. Tiada sesiapa manusia yang mampu mengalahkan kecantikannya. Dia berjalan diantara kerumunan orang banyak di pasar, namun terlihat dia seperti wanita agung yang kecantikannya jauh mengalahkan para bidadari. Bidadari bekerja untuk mencuci kakinya. Tidak ada bahasa yang sanggup menampung keagungannya. Kecantikannya membuat segala rasaku tunduk sehingga aku rela menderita, patah hati dan merana karena tahu bahwa keagungan wajahnya tak mampu ditampung segala rasaku.
Aku melihatnya masuk ke sebauh toko pakaian yang sarat pengunjung. Kemudian dia hilang di antara orang-orang. Dan sejak itulah aku tidak melihatnya lagi.
Saat terakhir melihatnya aku tidak sempat berfikir tentang Ferry yang apakah sudah melamarnya ketika itu. Apakah pemuda itu begitu cinta pada jantung hatiku. Aku tak sempat berfikir bagamana caranya dia mendekati calon mertuanya.
Terus terang aku tidak mengenal pemuda itu. Seyakinnya guru Metematika satu tambah satu samadengan dua, seyakin itulah aku bahwa perasaan Ferry padanya tidak ada apa-apanya dibandingkan rasaku pada cinta sejatiku itu. Bukti utama cinta itu tidak agung adalah dia menikahinya. Dia menawarkan bidadariku sebagai tukang tanak nasi untuknya setiap hari. Dia menjadikan cahaya mataku sebagai tukang cuci baju-bajunya yang penuh daki, setiap hari pula. Dia menghinakan cintaku yang agung dengan menjadikannya luluh dengan merawat anak-anaknya. Anak-anaknya adalah bagian di antara makhluk Tuhan yang paling membuatku teriris. Mereka adalah campuran paling larut antara cinta dan cemburuku.***Saat itu aku terlambat datang ke masjid untuk shalat, aku segera shalat sendiri dengan mengumandangkan iqamah dengan bunyi sampai telingaku saja. Ini menuruti hadits Nabi yang menyatakan bahwa apabila seseorang tiba di masjid dengan niat untuk shalat berjamaah bersama iman namun dia menemukan jamaah telah usai salam, maka bila dia segera shalat akan dianggap turut berjamaah juga. Tentunya dengan catatan sedang sendiri saja sehingga tidak bisa membuat jamaah yang baru.
Tahu yang kutahu maka setelah beberapa saat aku bertakbir seseorang memukul pelan pundakku. Itu isyarat dia ingin menjadikanku imamnya dalam shalat ini. Saat salam aku menoleh kebelakang dan menyalami satu-satunya makmumku itu. Saat telapak tangan kanan kami sedang bertemu sempat kulirik tanda pengenal di dadanya: FERRY.
Aku tahu nama itu adalah nama orang yang menjadikan bidadariku sebagai budak tukang cucinya beberapa bulan sebelum pernikahan mereka. Rizal, temanku sejak kecillah yang mengatakannya. Katanya dia adalah Provost Polres Bireuen.
Di lengan pemuda yang sedang kusalami ini berikat rapi karet warna biru tua bertuliskan PROV. Saat ini sadarlah aku bahwa dimatanya cintaku yang agung tak ada apa-apa dibandingkan pistol yang disangkutkan di dalam sarung pada pinggangnya. Aku tahu bahwa seragamnya sanggup membunuh sejuta cinta yang lebih indah dari bulan purnama. Aku tidak keliru ketika memikirkan bahwa gajinya yang dua juta rupiah sebulan sanggup merobohkan istana cinta yang telah kubina di dalam rasa.
Dia senyum sedetik setelah tangan kami saling melepaskan. Oh betapa kesenangannya mendapatkan cintaku tidak ada apa-apanya dibandingkan penderitaanku. Aku tersiksa. Menahan cinta begitu sakit, sakit sekali. Apa lagi ini akan terus-mererus kualami sampai mati. Aku tidak sanggup, aku tak tahan.
Kali ini aku baru sadar kenapa seua orang mati-matian berjuang untuk mendapatkan cinta pertamanya yang merupakan cinta sejati. Kini kusadira bahwa mereka rela mati karena tahu tidak akan sanggup menghabiskan sisa hidup dalam penderitaan karena memelihara rindu yang luar biasa, mereka tak mampu menahan cinta.
Zaman dahulu orang harus menerima bahwa tenda biru adalah akhir segalanya. Kini masa telah berubah, ada secercah harapan untuk mengobati hati yang hancur, jiwa yang remuk-redam. Di tv artis suka bercerai. Penyakit ini mewabah pada masyrakat awam. Setdaknya penyakit mereka bisa menjadi penawar bagi rasa rindu yang benar-benar telah menjerat diriku. Mudah-mudahan saja ini segera menggejala pada keluarga mereka dan rumah tangga mereka segera bubar.
Meskipun dia awalnya akan menolak kawin lagi dengan alasan ingin fokus merawat-anak anaknya, aku akan berusaha meyakinkannya akan mencintai anak-anaknya sebagaimana anakku sendiri. Besar keyakinanku dia dapat mempercayainya. Aku tidak masalah walaupun dia telah tua dan renta, meski wajahnya telah keriput. Setidaknya untuk sejenak menjelang detik-detik kematian, aku dapat merasakan detak jantung yang ada dalam dada tua itu.
Ketika kusadari betapa kecilnya kemungkinan itu, aku kembali berduka. Hampir tidak ada celah untuk kemungkinan peceraian pada keluarga mapan dengan jaminan gaji dua juta rupiah setiap bulan. Lagi pula hampir tidak ada pegawai negeri yang bercerai. menemukan kenyataan itu membuatku kembali menguburkan harapan. Dengan sangat tersiksa kembali aku harus hidup dalam kesengsaraan.
Karena itu aku sering mengharapkan kematian segera datang agar hilang semua derita. Karena tak dapat menjamin kerinduan akan hilang kalaupun aku telah tidur sendiri di dalam kubur, aku jadi tidak menaruh harapan akan segeranya kematian. Bila menduga bahkan di alam barzakh kerinduan malah menjadi semakin besar, aku mulai takut dengan kata-kata kematian. Allah, kasihanilah aku: Sakit di jantung, hangus di dalam dada; Batapa menderitanya hamba.
Na nyawoeng lon lam dada gata. Nyan nyang hana gata teupeu, hai Adoe. Ada nyawa saya dalam dadamu, itu yang tak kau tau, duhai Dinda. Ketika kau membalas sepucuk surat dariku. Surat itu memang kusadari redaksi permintaanku yang memaksamu menuliskannya. Di sana kau katakan "Jangan menangis karena cinta, menangislah karena Allah".
Kalau nantinya aku menjadi orang gila--meski belakangan telah banyak orang menyebutku gila--maka itu semata-mata karena patah hatiku. Alasan lainnya sebagai pendukung mungkin karena gilanya diriku mempelajari semantik dan filsafat.
***
Raihan, sampai matipun aku tak akan bisa melupakan saat pertama aku melihat wajahmu. Di mana? Tepat di bawah gapura meunasah desa Seuneubok Aceh. Hari itu hari selasa, waktunya jam tiga sore. Cuacanya saat itu terik sangat, matahari menyengat kulit dan ubun-ubun. Saking panasnya sapi malas merumput. Begitu panasnya, itik enggan menyingkir dari waduk. Meski begitu, Raihanku, detik pertama aku melihat wajahmu yang tak akan bisa kulupakan meski aku telah masuk ke dalam kubur, meski dunia ini telah diganti dunia lain. Pandangan, rasa dan semua kesadaranku menempatkanku pada alam yang teduh, pohon yang rindang, rerumputan yang hijau, udara yang sejuk. Detik pertama itu.
Kuingat bajumu garis-garis putih-merah. Baju kurung. Sepedamu bewarna cokelat kau lesatkan melintasi gapura. Ketika itu kau tak sadar sejak saat itu ruhku mulai mengikutimu sampai dunia kiamat. Kuduga kau datang dari surga, kukira kau lari dari istana sana karena lari sebab tak ingin lagi dilayani para bidadari yang membosankan itu. Sejak saat itu, duhai segalaku... tak ada kata-kata dari literatur manapun, baik yang telah usang maupun yang masih ada dalam rahim benak para pujangga yang bisa kupinjam untuk melambangkan rasaku padamu. Aku gembira bersama siksa. Berat terasa olehku cinta ini. Tapi aku, kesadaran terdalamku, telah telah bersumpah untuk menambatkan hati pada kamu saja, selamanya meski senantiasa dalam duka.
Di surga nanti, aku tak ingin menjadi raja atau pangerannya para bidadari, aku ingin menjadi hamba dan budakmu saja. Kekal abadi mengelap tapak kakimu, duhai bahagia tak terkira. Siang malam aku memikirkanmu, pagi dan petang aku merindui. Tak layakkah itu sebagai imbalan?
Allah...
Susu atau Kamu?
Aku tidak bisa hidup tanpa susu kental manis. Pagi-pagi aku sudah duduk manis. Menikmati segelas susu panas yang sering kusebut SP. Singkatan itu memang membingungkan para pedagang minumuan karena tiga alasan. Pertama: karena istilah itu dariku, kedua; karena hanya aku saja yang memakai istilah itu, dan, ketiga; tidak ada yang sudi memungut istilah itu meski telah lama berganti waktu.Kebiasaan minum susu barulah berawal punya waktu sejak beberapa minggu di Jakarta aku.
Waktu di Aceh, aku tidak bisa melepaskan diri dari yang namanya kopi. Segelas kopi kental, sebatang samsu. Duh, dunia serasa milikku. Aku dan seluruh jiwaku merasa Tuhan menghimpun segala kenikmatan langit ke dalam sebatang samsu; semua kenikmatan bumi larut ke dalam kopi. Langit dan bumi beserta segala kenikmatannya hanya seharga tiga ribu rupiah saja. Di sini, di Jakarta, aku sudah sangat menikmati susu. Setiap munum susu aku menikmatinya.
Namun belakangan, terasa ada yang sangat nikmat, hingga membuat susu yang sedang kunikmati kehilangan rasa. Namun karena rasanya rasa nikmat yang melebihi susu itu dekat-dekat saja dari tempat aku minum susu. Jadi aku tetap terus minim susu meski aku tau yang sedang kunikmati bukan rasa susu.
Tapi tak apa, biar nanti kalau aku sudah berani akan kutanyakan pada si hitam manis penjual susu kental manis, apakah aku menikmati manis susu atau manis wajahmu. Aku akan merenung kembali, kalau memang yang kunikmati itu adalah wajah si hitam manis, aku harus mempertimbangkan beralih dari susu kental manis ke susu si hitam manis. (cat: kalimat terakhir hanya boleh dibaca usia: +18)
Tempat Jatuh Air Matamu
Tempat jatuh air matamu lebih indah dari tempat jatuh manimu, kata Abu.
Maaf kalau kata-kata Abu agak kotor menurut kamu. Tapi Abu terpaksa berkata begitu karena kamu telah terlalu tidak memahami apa yang telah Abu katakan pada kesempatan yang lalu.
Waktu itu, Abu mengatakan hidup ini dibangun oleh jaringan cinta. Kita mencintai seseorang. Pasti seorang yang kita cintai itu mencintai orang lain! Orang lain yang kita cintai itu pasti mencintai orang yang lain lagi. Demikian sehingga tidak ada manusia yang menikah dengan cinta sejatinya.
Klimaksnya terjadi ketika kesempatan, yang hanya terjadi sekali seumur hidup, saat diberi kesempatan menikahi cinta sajati: kita menolak. Kenapa ini kita pilih? Karena nurani kita menolak air mata itu bersatu dengan air mani. Tempat jatuhnya air mata yang menjadi perlambangan cinta sejati dan kesucian tak boleh dikotori air mani yang menjadi perlambangan syahwat dan nafsu. Tempat jatuh air mata itu adalah cinta sejati, tempat jatuh mani adalah distorsi. Cinta tak dapat didistorsi.
Tapi di sinilah keseimbangan diwujudkan Tuhan. Menikahi lawan jenis yang bukan cinta sejati adalah bukti cinta sejati. Cinta bukan untuk dimiliki, cinta tidak mau berurusan dengan persoalan sepele seperti kasur dan dapur. Cinta sejati tak bisa dilambangkan dengan sesuatu apapun. Air mata hanyalah perlambangan tertinggi yang mampu diungkapkan badan.
Semua semangat akan berhenti pada ejakulasi. Cinta sejati akan terdistorsi bila bersamanya ejakulasi. Demikian penjelasan yang mampu Abu ungkapkan dengan bahasa. Dan dalam hakikatnya bahasa adalah distorsi. Demikian kenapa Abu mengatakan: Tempat jatuh Air matamu lebih mulia dari tempat jatuh manimu. Kalau bahasa yang Abu pakai agak kasar dan kurang berkenan, maafkanlah. Abu sudah berusaha sehalus mungkin. Tapi bahasa memang terbatas.
Filsuf Berjalan
Karena belum ada aktivitas yang lebih ideal untuk menjadi
seorang filsuf yang bijak selain dengan berjualan keliling,
maka kuputuskan untuk tidak mengganti pekerjaan.
maka kuputuskan untuk tidak mengganti pekerjaan.
Mubarak Emirates
Kulitnya putih langsat. Tingginya lebih seratus tujuh puluh. Beratnya tidah lebih tujuh lima. Hidungnya mancung. Alisnya tebal. Bulu matanya lentik tanpa celak. Bola matanya hitam, hitam pekat. Rambutnya hitam pekat, lurus sangat, super tebal. Kita rangkumkan ciri-ciri itu dalam sebuah simbol kata: 'wanita cantik'.
Suara burung bersaut-sambut. Air sungainya begitu bening. Kedalamannya sulit diukur. Lebarnya lebih lima belas meter. Sebelah kiri dan kanannya ranting-ranting panjang lebat dengan daun-daun tebal bewarna hijau. Di bukit terjalnya keluar air yang bersihnya mendekati sungai alkausar. Kalau bisa terbang, terbanglah lima puluh meter. Tataplah ke bawah. Tidak ada warna terlihat selain hijau. Kita simbolkan fenomena itu dalam kata: 'alam asri'.
Kedua hal di atas adalah keindahan karunia Allah untuk kita semua. Sayangnya kedua hal itu tidak bisa kita miliki sekaligus. Wanita cantik tidak bisa ditemukan di alam asri. Di alam asri tidak ada wanita cantik.
Karena keterbatasan itu, beberapa di antara kita yang masih tersadarkan akan kedua keindahan itu mencoba mensiasatinya dengan memunculkan salah-satu yang tidak bisa hadir dengan mengimajinasikannya dalam imajinasi mereka.
Oleh sebab itu imajinasi tentang alam asri hanya ada dalam benak dan mimpi pemuda gurun. Sementara khayal akan wanita cantik hanya ada pada imajinasi pria tropis.
Kalau ditanya apa isi di dalam kepala pemuda gurun maka katakan: alam tropis. Kalau ditanya apa yang meliputi isi pikiran pemuda tropis. Katakan: wanita cantik.
Kamu hanya akan menemukan lukisan alam tropis di gurun. Kamu hanya akan menjumpai lukisan indah seorang wanita cantik di kawasan tropis.
Belakangan pedagang gurun datang ke alam asri. Sampai-sampai mereka menetap. Mereka berbaur dengan dan berkawin dengan penduduk setempat. Maka dengan begitu kamu hampir dapat menemukan sebuah kesempurnaan berkat perpaduan dia keindahan tersebut. Maka cari dan temukan perpaduan keindahan itu di pelosok Pasai dan Pedir. Aku yakin kamu akan terpesona.
Belakangan orang-orang gurun mencoba mensiasati kegersangan gurun menjadi suatu tempat yang berkesan asri di kawasan tertentu. Kita tahu kalau tidak korup penguasa gurun pastilah semua makmur. Seperti Emirate Arab dan Qatar yang berbekal uang yang banyak mereka mencoba memadukan dua keindahan itu.
Maka di alam asri tertentu kini ada wanita cantik. Meski tak secanti wanita gurun, mereka punya punya keunikan yang sulit ditemukan di belahan dunia manapun.
Demikian di gurun kini kita dapat menemukan alam asri meski tak seindah aslinya.
Namun alam asri yang disentuh manusia akan terlihat lebih indah dari yang asli. Tapi jangan lupa wanita peranakan akan terlihat mengesankan daripada asli gurun.
Keempat negeri itu telah berhasil memadukan dua keindahan sehingga menjadi kesempurnaan. Semuanya indah seperti taman-taman indah yang dikunjungi wanita cantik di United Arab Emirates. Karena semuanya indah, semuanya Emirates. Selamat. Mubarak. Mubarak Emirates.
Ayahku
"Setiap kenikmatan akan dimintai pertanggungjawaban" M. Ridha.
Ayahku telah meninggal dan jasadnya telah dikuburkan di sebuah taman yang mulia. Meski begitu aku sadar beliau masih hidup. Tapi di mana?
Kulihat sebidang tanah di sawah. Lalu tanah itu tumbuh menjadi daun-daun padi, lalu dia menjadi sebutir putih di dalam padi. Setelah sebutir nasi kutelah, kusadar ayahku selalu bersamaku. Dia berada dalam jantung dan nadiki. Selalu bersamaku.
Adalah tanggungjawabku menjadi orang yang sesuai dengan mimpi dan cita-cita ayah karena semua milikku adalah darinya.
Jauh di Hati Dekat di Jemuran
Secara keseluruhan aura kecantikannya menunjukkan dia adalah orang Sunda. Inner beautynya menampilkan aura Minang yang membuat hati teduh. Seputaran mata dan sinar bola matanya mengabarkan dia orang Aceh.Manis bibirnya, apalagi saat dia tersenyum mengingatkanku pada seorang gadis Jawa yang luarbiasa membakar seluruh isi batok kepalaku.
Sore-sore aku suka duduk-duduk di serambi asrama PII Wati. Bukan ingin menunggui gadis-gadis PII yang jelek-jelek, namun aku ingin memandangi, atau lebih tepatnya curi-curi pandang perempuan bermata Aceh dan berbibir Jawa itu. Dia suka duduk-duduk manis bersama ibu-ibu penghuni Mentra 58 di depan Masjid yang berdiri tegak mirip bangunan gereja. Kalau dia sedang lewat di depan asrama PII Wati, aku suka tertegun persis pemain sepak bola yang sedang mengheningkan cipta. Saat itulah mataku semakin tajam mengamatinya. Sambil mataku tajam, hatiku melakukan "tugas sucinya": menimbang-nimbang rasa. Aduhai manisnya dia. Aduhai. Ingin aku "mencicipinya." Astaughfirullah Al'adhim. Tapi aku benar menyukainya. Mungkin aku mencintainya. Tapi ini cinta terlarang, benar-benar terlarang. Bagaimana tidak, dia sedang hamil tua! Lagi pula itu adalah hamil yang kedua. Anak Sulungnya perempuan. Usianya kira-kira tiga tahun. Suaminya lebih jelek dariku. Aku ingin dekat dengannya. tapi mustahil.
Suatu sore setelah mandi dan menjemur pakaian di tempat jemuran umum warga Mentra 58, aku duduk-duduk di tempat biasa, serambi Asrama PII wati. Beberapa saat kemudian dia, si cantik itu, si mata Aceh dan bibir Jawa itu datang menghampiri jemuran. Lalu dia menjemur beberapa pakaiannya dekat pakaian yang baru kujemur tadi. Aku terus menikmati pesona kecantikannya. Dia terlihat sangat cantik saat menjemur pakaian. Untuk kesekian kalinya, Kawan, kukatatan padamu: Aku ingin memilikinya; aku ingin selalu dekat dengannya. Saat dia menghilang dari hadapanku, aku terus memandangi jemuran-jemuran itu. Tiba -tiba aku tersadar akan sesuatu. Aku sadar bahwa meski mustahil aku memilikinya dan mustahil pula aku dekat dengannya, aku sadar bahwa meski badan kami selalu berpisah, namun pakaian kami selalu dekat. Aku dan dia suka menjemur pakaian di tempat yang sama. Jadi setiap hari pakaian kami berdekatan. Bahkan, CD-ku pun selalu sering sangat bedekatan, atau bahkan sampai-sampai kadang-kadang punyaku itu dan punyanya berdempeten dan saling himpit-himpitan. Semua memaklumi alasannya karena semua tau kondisi hidup orang miskin di Jakarta: Jangankan untuk menjemur pakaian, untuk memakamkan orang yang paling dicintai-pun tidak ada tempat.
Sambil terkesima memandang jemuranku dan jemurannya, aku berkata tanpa sadar, pelan, hanya angin, aku, Tuhan dan janin dalam perutnya yang mendengar: "Sayang, meski raga kita selalu berjauhan, namun pakaian kita selalu dekat." Meskipun pakaian kami selalu dekat, tapi aku tidak boleh bermain hati dengan istri orang yang telah hamil tua. Meskipun aku mau! Hatiku dan hatinya harus jauh. Tak apalah, jauh di hati dekat di jemuran.
Tiba-tiba kudengar suara cemburu bercampur marah mencercaku: "Kurang ajar, awas kau. Tunggu aku di situ, di Bumi itu, sebentar lagi." Saat kutahu suara itu berasal dari dalam perut wanita jemuran pujaan hatiku itu, aku tertawa dalam hati. Hatiku berkata setelah tertawa: Ah, empat bulan yang lalu waktu aku tiba di Mentra 58, kukira usia kandungannya sembilan bulan. Namun kini ukuran perutnya masih sama seperti dulu: Dia belum melahirkan. Aku jadi bingung dan menduga-duga usia janin orang.
Astaughfirullah…
Jatuh Cinta
"Abu, aku ingin engkau hidup bahagia sebagaimana orang-orang. Tapi syarat untuk itu orang-orang harus dengan bercinta-cinta. Untuk bercinta-cinta orang-orang terlebih dahulu harus jatuh cinta. Masalahnya aku tidak sanggup melihat bila Abu harus kecawa lagi dan kembali sengsara karena kegagalan cinta" kata kawanku.
"Aku sudah pernah terjatuh, dari tempat yang sangat tinggi. Dari puncaknya. Sungguh sakit, sangat sakit. Jadi tak perlu kau pedulikan jatuhku yang kedua kali. Aku akan sanggup. Aku sudah siap." jawabku.
Lalu aku duduk sendiri. Berfikir. Merenung. Apa yang harus kulakukan, tanyaku dalam hati. Kemudian terngiang dalam kepala suara kawan: Peu èk nã sö têm... Ah, dia lagi. Rusak...
Tapi yang lebih kurisaukan uangku tak ada. Di mana-mana tak ada seorang ibupun yang mau melepaskan anak gadisnya pada laki-laki pengangguran. "Makan apa anak saya" adalah perkataan paling familiar di telinga pemuda pengangguran.
Tak apa, lah. Kusebut saja diriku penyair (sebagai usaha menghindari stigmatisasi pengangguran ke jidad ku). Jadi penyair biar miskin harta tapi kaya jiwa. Jiwaku lebih berharga dari pada harta Qarun, lebih megah daripada Haikal Sulaiman, aku mencoba menenangkan diri. Harus bisa, karena ke rumah sakit jiwa butuh biaya. Hahaha...
Penjual Rambutan
Seorang pedagang rambutan dengan sepeda motor penuh rambutan sudah duluan berteriak sebelum motornya berhenti.
"Lhé bôh siplôh...Lhé boh siplôh...Lhé boh siplôh"
Para calon pembeli satu-persatu mendekati motornya. Rambutan lebat menetupu separo bagian belakang motor dijual tiga ikat sepuluh ribu rupiah.
"I jamin maméh. Meunyoe hana maméh, peugisa keunoe. Lhé kali lipat lông pulang péng." Penjual rambutan ini aneh juga. Dia mengungkapkan pernyataan yang samasekali tidak logis. Bagaimana kita bisa mencicip rambutan itu sedangkan kita sedang berpuasa.
Mungkin sadar ada masalah dengan ungkapannya tadi, dia mengobral kembali rambutan jualannya yang merah-merah itu dengan pernyataan yang sedikit direvisi.
"Lhé böh siplôh. Jeut powoe jû. Yû rasa bak aneuk mît beu bagah. Nyoe hana maméh peu gisa jû keunô beu bagah." Kukira pernyataan itu tetap saja ganjil. Dan kulihat gelagat Penjual Rambutan masih merasa ada yang aneh dengan pernyataan yang dia ucapkan tadi. Kukira Penjual Rambutan lebih mengarahkan makna 'aneuk mît' di rumah dengan istri para calon pembeli rambutannya yang mungkin tidak berpuasa karena alasan kewanitaan. Sebab tidak mungkin pada anak-anak diminta menilai rasa sebuah rambutan. Notabenenya anak-anak menilai segala sesuatu sesuai moodnya, bukan kenyataannya.
Karena mungkin di antara para calon pembeli rambutan yang menangkap makna terdalam kata 'aneuk mît' itu, maka salah seorang calon pembeli berkata: "Eungkôh gisa manteng hansep keu yûm lhé bôh ikat bôh ramböt."
"Teunang mantèng, lhé gé yum bôh ramböt tagantö péng meunyö masam" langsung disambut Penjual Rambutan.
"Emmm, bék sampe lagé ta yeuh bôh kuyûn." sela salah seorang calon pembeli. Aku tertawa dalam hati sejadi-jadinya.
"Bôh pané ta teumé peu gisâ teuman, gôlôm tröh û reumôh ka ı yûp seureuné." salah seorang calon pembeli melepas suara ke udara bebas.
"Ken masalah pûlang péng, han ek ta pûlang balek beuleun-beuleun puwasa".
Menyadari begitu benarnya pertataan calon pembeli tua itu, aku berkata kepada sidang calon pembeli rambutan yang semakin padat dan semakin berdesak-desakan saja: "Mangat ta pîp bôh kuyûn" 'bôh kuyûn' kumaksud adalah lebih baik makan rambtan asam daripada bersudah payah kembali ke pasar mengembalikan rabutan itu kalaupun rasanya asam. Hadirin lepas serentak.
Berhenti Membaca
Bila sedang membaca tiba-tiba ide datang, saya berhenti membaca lalu menulis. Saat sedang menulis kehabisan ide, saya tidak langsung membaca; saya memilih berjalan-jalan di taman atau melakukan kegiatan-kegiatan yang ringan.
Bagi Perempuan
Tidak ada apapun yang paling berharga bagi seorang perempuan kecuali seorang suami. Tidak ada pekerjaan yang paling baik selama langit dan bumi ini masih ada, bagi perempuan, selain mengurus dan membesarkan anak-anak mereka. Tidak ada sesuatu hal apapun di dunia ini yang bisa menjaga ketinggian martabat wanita selain melayani suami dan anak mereka.
Peusangan mampu menghasilkan buah-buahan paling beraneka ragam. Dari rahim-nya wanita-wanita paling cantik se-Asia Tenggara lahir.
Laknat dan murka Tuhan ketika perempuan bergentayangan siang dan malam di tempat-tempat keramaian. Murka kutemukan ketika kulihat gadis-gadis kampus Al-Muslim yang setiap hari berdandan seperti pengantin di Prancis. Mereka berjalan seperti peraga pakaian di Milan di tengah-tengan keramaian pasar Matanggumpangdua.
Semoga kebangkitan Al-Muslim menjadi pintu hidayah dengan ilmu yang melimpah bagi Matanggulpangdua dan Bireuen, bukan malah menjadi ajang ikhtilat yang nantinya membuat Allah marah dan melaknat semua warga Peusangan.
Semoga rahmat melimpah selamanya bagi Peusangan pagi dan petang seperti melimpahnya buah-buahan yang dibawa turun dari berbagai pelokok sepiap pagi dan petang hari.
Semoga karunia selalu diberi bagi para pemegang amanah hajat hidup orang banyak yang dari Matang agar mereka menjadi abdi warga kecintaan Allah bukan sebagai pencipta petaka yang nantinya membuat Tanah ini binasa.
Semoga semua warganya dalam lindungan iman dan diberi kesejahteraan selamanya. Semoga semua anak-anaknya dapat menjadi pengendali Negara yang adil dan amanah.
Semuga selalu diberi semangat dan etorkerja baik bagi laki-lakinya semuanya.
Semoga semua wanitanya dapat menjadi tiang Negara yang senantiasa sedia melayani keluarganya.
Berhenti Membaca
Bila sedang membaca tiba-tiba ide datang, saya berhenti membaca lalu menulis. Saat sedang menulis kehabisan ide, saya tidak langsung membaca; saya memilih berjalan-jalan di taman atau melakukan kegiatan-kegiatan yang ringan.
Nuklir untuk Cinta
Perjalanan ke "markas" Badan Tenaga Nuklir terlalu sulit. Sampai ke pemberhentian terakhir angkutan "P20 Kopaja", jalan kaki lagi kira-kira 500m. Tempatnya terlalu bersih seperti markas militer, tapi rindang seperti kampus. Satpamnya terlalu tegas seperti Brimob. Para pegawainya semua orang ilmu pasti. Logikanya pasti, meski bagi kamu para aktivis yang nitabenenya ilmu Sosial, agak aneh. Misalnya uang transpor mereka berikan pada saat registrasi. Saya berfikir apa mereka tidak khawatir para peserta akan berhilangan sebelum acara usai. Tapi begitulah orang ilmu pasti, cara berfikirnyapun pasti. Mereka menanggung pastinya pemberian dana transpor maka peserta terjamin, jadi peserta akan loyal. Saya kira juga karena mereka berfikir para peserta akan menganggap penting seluruh rangkaian acara, makanya mereka berani memberikan dana transpor di muka. Mereka memberikan bukti bukan janji. Inilah yang diidam-idamkan oleh kami para peserta dan seperti inilah pemerintah harapan rakyat.
Ruangannya sederhana dan menunjukkan gaya lama: AC lama, podium lama, tapi semuanya masih layak pakai. Mereka persis seperti orang militer: ditanggung seadanya oleh pemerintah, namun loyalitas mereka tinggi.Jadi mereka tidak pernah mengeluh dan meminta infrastuktur baru. Mereka, seperti TNI juga, menjaga aset pemberian pemerintah yang sebenarnya milik rakyat, dengan sangat baik, merawatnya dengan cinta. Nasib mereka yang abai dari perhatian serius pemerintah, seperti kata seorang peserta, karena memang pemerintah tidak menjadikan nuklir sebagai prioritas. "Segalanya tergantung political will pemerintah" katanya.
Seorang peserta mengkritik bangsa Indonesia yang dengan mudah mengadopsi segala istilah dan nama-nama asing secara langsung tanpa mau ambil pusing memberikan nama baru yang mencirikan keindonesiaan. "Kanapa kita tidak mengganti nama 'nuklir' dengan istilah-istilah domestik" kritiknya. Dia mengusulkan itu, misalnya, sebab istilah 'nuklir' memang sudah negatif dalam pikiran masyarakat. Masyarakat mengidentikkan 'nuklir' sebagai bom pemusnah massa, perang dan anti perdamaian.
Padahal nuklir adalah energi yang sama seperti minyak dan gas yang dapat memsolusikan sejuta persoalan masyarakat. Dengan nulir kita bisa menciptakan seribu obat, sejuta anti biotik, semilyar energi alternatif dan trilyunan kepentingan kemanusiaan lainnya. Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir adalah solusi tepat terhadap krisis listrik yang tidak pernah selesai dihadapi bangsa ini.Jangankan menjadikan nuklir sebagai prioritas, pemerintah, menjadikan nuklir sebagai sumber energi alternatif pun tidak. Pemerintah menganggap Indonesia masih punya banyak cadangan migas sebagai energi masa depan masih mencukupi. Saya pikir ini keliru. Sangat keliru! Buktinya krisis listrik yang selama ini kita hadapi adalah buktinya. Akibatnya, pengusaha asing enggan serius berinfestasi di Indonesia sebab takut rugi karena pasokan listrik dari PLN tidak pernah menjanjikan. Investor akan rugi besar bila satu detik saja mesin produksi berhenti. Mereka tidak mau rugi dengan terus-terusan menghidupkan turbin atau generator pribadi.
Persoalan energi listrik yang tak kunjung usai membuat saya teringat dengan kecerdasan otak yang Allah Swt berikan pada saya (Harap pembaca tidak mencibiri, karena memang cecak di dinding beserta kabel-kabel listik di atas loteng telah mencibir saya terlebih dahulu). Waktu S1 dulu saya membuat sebuah tender "Nuclear for Love" untuk mata kuliah "Business English." Isinya menyangkut proyek kerjasama nuklir antara Pemerintah Aceh dengan Pemerintah Iran. Kerjasama ini memungkinkan melihat status Otonomi Khusus yang dimiliki Aceh memposisikannya hampir sama persis seperti sebuah Negara Bagian di negara yang menganut sistem Federasi.
Reaktor pusatnya terletak di Aceh Tengah. Reaktor ini mampu memenuhi kebutuhan energi listrik bagi seluruh elemen, mulai dari industi besar hingga gardu-gardu desa. Kerjasama ini mudah dijalankan mengingat kedekatan emosional Aceh denga Iran terjalin melalui Islam dan kontribusi Persia di masa lampau bagi kemajuan Samudra Pasai.
Kerjasama ini juga menguntungkan Iran dengan dapat menjadikan dunia tidak lagi curiga dan tidak lagi menganggap Iran akan melakukan pengayaan uranium untuk menciptakan bom.
Dosen menanyakan sistem pengamanan reaktor. Saya menjawab Aceh menangani persoalan kemanan melalui TNI-nya. Dosen mengusulkan tentara Iran menjadi pengamanan dengan alasan tentara Iran terkenan kuat dan kompeten. Saya menolak sebab operasinya di Indonesia dan TNI harus membuktikan mampu menjaga wilayahnya. Teman-teman sepakat. Dosen murung, artinya belum menerima. Saya katakan kalau tidak dipakai sebaga pengamanan TNI akan membuat intrik-agitasi dan sabotase. Dosen tersenyum, artinya menerima. Nilai saya 'A'. Alhamdulillah, padayal saya baru masuk dua kali mata kuliah tersebut. Dosen tiga kali. Hahaha, Universitas Abulyatama.
Pembicara kedua berbeda pendapat dengan yang pertama. Dia menawarkan agar tidak ambil pusing mengenai urusan istilah. Katanya, yang penting kita harus melakukan penerangan yang intens kepada masyarakat agar pencitraan terhadap nuklir tidak lagi negatif. "Semua kalangan harus dilibatkan, termasuk ulama. Bila perlu kita bentuk 'ulama nuklir' atau 'da'i nuklir' untuk mensoaialisasikan ini" katanya. Dia menambahkan "Kita harus mampu melawan pencitraan buruk atas 'nuklir' oleh Barat. Barat memang sengaja melakukan itu karena tidak ingin negara-negara yang anti padanya menjadi ancaman dan maunya mereka negara-negara yang tidak mengekornya tidak boleh hidup sejahtera, bebas dan merdeka mengambangkan nuklir yang sebenarya hak semua negara yang berdaulat." Saya sepakat dengannya.
Saya tidak terlalu tertarik dengan paparan pemateri. Saya putuskan keluar sebentar untuk shalat zuhur. Masjid di kompleks Batan sangat indah dan nyaman. Saya melanjutkan mengaji usai shalat. "Menghabiskan waktu" lebih besar sebagai niat daripada "pahala".
Astaughfirullah Al-'Adhim.
Kembali dari masjid, makan siang. Menunya banyak, tapi sama sekali tidak ada rasa, tawar, hambar. "Bagi orang nuklir yang penting steril. Soal rasa belakangan" suara sumbang berbisik.
Usai makan, kami dibimbing dan diberikan penerangan setiap ditunjukkan benda-benda dan gambar-gambar aneh menyangkut nuklir. Uranium seperti emas, dikandung batu-batu tertentu dengan kadar-kadar tak menentu. Australia adalah salahsatu negara penghasil bahan baku uranium terbesar. Jepang, Korea dan Prancis adalah tiga dari beberapa negara yang sebagian besar kebutuhan listriknya dipenuhi dengan pembangkitan listrik tenaga nuklir.
Kami dibawa ke beberapa gedung untuk diperlihatkan bagaimana nuklir berperan di bidang pertanian, kedokteran dan makanan. Gedung-gedungnya terlihat sepi dan pada ruang-ruang tertentu saja anda akan menemukan satu atau dua orang yang sedang bermalas-malasan. Kondisi seperti ini memberi peluang besar untuk praktek seks terselubung antar pegawai dan perselingkuhan. Tapi mudah-mudahan tidak, meski saya saya ragu 'tidak'. Keadaan ini diakibatkan kurangnya perhatian pemerintah pada pengembangan teknologi nuklir. Mungkin inilah akibatnya para pegawai Badan Pengawasan Tenaga Nuklir di Jalan Gajah Mada kerjaannya cuma fesbukan.
Banyak pengetahuan baru tentang nuklir kami dapatkan setiap mengunjungi titik-titik tempat tertentu. Yang membuat tidak nyaman dan risih adalah pengawasan satpamnya yang terlalu berlebihan.
Di bidang kedokteran, nuklir mampu berfungsi sebagai sterilisasi dan efektifitas fungsi penyatuan kulit ari-ari orok bayi untuk mempercepat penyembuhan luka dan melekatkan tulang yang patah dan kangker tulang. Kertas putih berukuran kira-kira 10 kali 10 cm dari ari-ari itu dapat menyatu dengan tulang dan daging atau kulit. "Waktu bencana merapi, kami banyak menyediakan ini bagi korban luka bakar" kata tukang penerang bidang kedokteran.
Nuklir dapat membunuh bakteri pada makanan yang telah dimasak sekalipun. Salah seorang Penelitinya adalah perempuan berusia 45an. Dia mempresentasikan dengan bicara cepat, namun tidak menguasai audiensinya. Saya pastikan waktu muda dia tidak pernah berorganisasi. Mungkin karena dulu terlalu sibuk dengan rumus dan kalkulator. Dia menawarkan kami untuk mencicipi pepes teri yang dapat bertahan selama dua tahun hasil karya mereka. Semua peserta tidak mau. Saya mengatakan mau karena mengetahui bahwa di masa depan produk makanan sudah yang diawetkan akan membudaya. Pertama karena perkembangan teknologi, kedua karena manusia yang semakin sibuk dan tidak sempat memasak. Keduanya berjalan beriringan dan saling menyokong. Saya ingin memakan makanan yang aneh pada hari ini namun akan menjadi kakanan biasa dan populer bagi cucu dan cicit saya di masa depan. Saya mau mencicipi pepes itu sebab tidak mau ketinggalan oleh masa cucu dan cicit saya nanti.
Nuklir dapat memproduksi bibit padi yang wangi, besar, lebih lezat dan lebih cepat waktu panennya. Teknologi ini juga mulai dikembangkan pada aneka biji-bijian lain dan aneka buah-buahan.
Seminar nuklir itu benar-benar merubah persepsi saya mengenai nuklir. Awalnya ketika menemukan kata 'nuklir' yang tergambarkan dalam otak saya adalah untuk 'bom'. Tapi sekarang persepsi saya berubah. Ternyata nuklir adalah untuk kehidupan, nuklir adalah untuk kesehatan, nuklir untuk kemudahan, nuklir untuk cinta.
Nuklir untuk Cinta II
Bagaikan seribu jarum beterbangan dengan kecepatan tinggi, mata-matanya yang runcing mengarah ke arahku menghujam ke dalam dadaku menusuk hatiku, begitulah seribu wanita yang pernah kukenal dalam hidupku yang mereka semua telah memilih tempatnya masing-masing di dalam memori ingatanku hingga saat ini, hingga detik ini.
Kenangan padanya membuatku nestapa. Padahal aku ingin sekali menikmati saat-saat yang sudah lama kuidamkan yaitu menikmati perjalanan dengan bus besar dari perusahaan penyewaan bus bagi wisatawan, Blue Bird Group. Perusahaan itu memiliki ribuan taksi tarif tinggi dengan merek Blue Bird. Dia juga menyediakan taksi super mewah bernama Silver Bird dengan armada Mercy bewarna hitam. Biasanya taksi ini melayani turis asing yang menginap di hotel-hotel berbintang lima.
Selama di Jakarta kami sangat jarang naik taksi. Kami baru hanya akan naik taksi bila pulang dari suatu tempat telah larut malam karena kendaraan umum telah berhenti beroperasi. Kadang-kadang kami naik taksi bila sudah dekat dengan rumah keluarga besar PII, biar dikira mereka anak PII tidak terpuruk hidupnya. Kami selalu memilih taksi yang di kaca depannya dicantumkan: TARIF BAWAH. Mimpi naik Blue Bird taksi selalu melintas saat naik taksi tarif bawah.
Sang Pengabul Mimpi mengabulkan mimpiku. Akupun berkesempatan naik taksi Blue Bird. Di dalam taksi itu aku merasakan sentuhan kemewahan yang jauh lebih tinggi dari yang pernah kubayangkan. Akupun mulai membayangkan bagaimana pula nikmatnya bila naik "taksi besar" bernama Big Bird. Tapi aku sadar bahwa naik bus milik Blue Bird adalah suatu keinginan yang hampir mustahil. Jadi kurubah "Big Bird" dari format 'keinginan' menjadi format 'angan-angan'.
Dasar, alam disusun sedemikian rupa hingga setiap apa yang muncul di benak manusia, bila dipelihara dengan baik dan terus disemai, maka alam beserta isinya akan bekonspirasi mewujudkan apa yang diangankan, diniatkan dan apa yang dicita-citakan.
Suatu hari saat mendorong pintu kaca gedung kampus, Nokia 9300i di sakuku berdering. Kulihat layar dapannya. Aku tidak mengenal nomor ini. Kuangkat.
"Halo Pak, saya Tanti dari Batan..." itulah kalimat pertama yang membuat anganku menjadi nyata.Selanjutnya Tanti sering menghubungi untuk mengkoordinasikan kunjungan PII ke Batan (Badan Tenaga Atom dan Nuklir Nasional).
Dua hari menjelang kunjungan, Tanti menelfon dan memberitahukan bahwa Batan telah menyewa Big Bird untuk menjemput kami. Mendengar informasi dari Tanti, tubuhku terasa seperti kapas, terbang seenaknya dibawa angin. Sekali lagi teori "The Secret" Rhonde Byrne terbukti.
Di dalam mobil impian itu aku malah tidak merasakan kenikmatan seperti yang kubayangkan. Seribu tusukan pedang terasa menghujam ke dalam dadaku. Aku mengenang sidia, cinta sejati, cinta pertama yang begitu polos. Ternyata bila kita telah berada dipuncak kenikmatan, kerinduanlah yang hadir. Kerinduan akan masa lalu. Karena itu kusarankan bagi kita semua untuk benar-benar menghayati masa kini. Karena dia akan menjadi masa lalu yang begitu mengharu-biru.
Setiba di gerbang kompleks reaktor nuklir Batan di Serpong, aku harus turun menunjukkan identitas. Di sini aku mengalami kesulitan. Aku agak segan mengeluarkan dompet. Soalnya dompetku bewarna merah jambu (pink). "Wajah sangar, dompet pink" kata Aa pada kesempatan yang lain. KTPku ditukar sementara dengan kartu tanda pengunjung (kusingkat saja: KTPg). Kira-kira 500 meter masuk dari gerbang utama, kami menemukan gerbang kedua. Di gerbang kedua itu KTPg tadi ditukar dengan KTPg lainnya. Big Bird impianpun melewati gerbang kedua. 100 meter ke depan, berjumpa gerbang ke-3. Setelah kutunjukkan KTPg yang diberikan di pos gerbang kedua, aku diminta mengisi buku daftar kunjungan. Setelah buku panjang itu kuisi taksi raksasa kami diperkenankan memilih lokasi parkir di area parkir yang luas itu setelah melewati pagar ketiga. Sebelumnya saat dalam perjalanan, Tanti telah menelfon untuk kesekian kalinya. Saat itu dia memberitahukan bahwa pemeriksaan memang begitu ketat.
Anggota kami berhamburan di depan pos gerbang ke-3. Satu-persatu diperkenankan masuk melalui pintu pagar kecil yang lebarnya cuma 60 meter. Setelah memasuki kompleks gedung reaktor, semuanya kompak menemukan satu posisi yang tepat untuk foto bareng.
Seorang gadis putih mulus, sangat cantik menyapaku. Aku belum melihatnya sebelumnya. Sambil mengulurkan tangan dia berkata. "Bagaimana perjalanannya, Pak? Saya Tanti..." belum selesai dia memperkenalkan diri, aku menyambut "Saya Tanti dari Batan" aku meniru kalimat awal yang selalu dia ucapkan saat menelfonku. Kuperkirakan hampir seratus kali wanita dengan tinggi 165cm di depanku saat ini menelfonku dengan tujuan yang telah kukatakan padamu.
Gadis ini semakin cantik dengan kerudung bewarna pink dan baju kurung putih yang ia kenakan. Melihat warna kerudungnya aku terungat dompetku. Cepat-cepat aku meraba kantong belakang sebelah kanan celana menekan dompet pinkku agar dapat kupastikan tidak kelihatan. Sebelumnya kukira Tanti adalah perempuan gemuk berkulit hitam berumur kira-kira 45 dengan hidung pesek tapi kembang. Duh, kalau kutahu Tanti seperti bidadari pasri aku akan sedikit lebih genit setiap berbicara dengannya melalui HP. Kalau saja kutahu ternyata dia lebih cantik dari Syahrini, niscaya akan kuajak dia kencan meski kuyakin dia takkan mau.
Selanjutnya kami digiring ke ruang pertemuan. Di sana sudah menunggu seorang perempuan yang duduk di depan pintu masuk. Di atas meja di hadapannya telah tersedia buku registrasi. Satu-persatu diberikan beberapa lembar selebaran tentang profil serta kertas-kertas lainnya yang memperlihatkan keunggulan produk pertanian, kesehatan dan peternakan hasil sentuhan Batan.
Seperti yang terjadi pada kunjungan seminar Batan di Lebak Bulus seperti yang telah kuceritakan pada "Nuklir untuk Cinta" bagian I, Batan memang punya pola pikir berbeda. Kenapa uang saku tidak diberikan di muka bila memang kita menyediakannya agar tidak membuat tetamu was-was. Amplop uang saku diselipkan diantara selebaran. Anehnya, ada beberapa teman yang sengaja membiarkan selebaran itu tercecer dan bahkan kukira mereka sengaja berencana meninggalkan selebaran itu untuk tidak dibawa pulang karena mereka yakin tidak akan membacanya. Untunglah mereka kembali dapat menghargai selebaran itu setelah kami beritahu ada "oleh-oleh" di dalam amplop di antara selebaran itu.
Bersama selebaran masing-masing kami dibagikan pulper berlogo dan bertuliskan BATAN. Pita panjang dan motof bewarna pink membuatku jadi bahan tawaan. "Sangat cocok untuk kamu" kata kawan-kawan sambil menyindir warna dompetku.
Adalah Kepala Batan bidang Humas, Dr.Ferhat Aziz, M.Sc yang langsung menerima kami. Sepatah dua patah kata juga saling menyampaikan antara delegasi kami dengan tim Humas Batan. Sebelum menyampaikan presentasi mengenai nuklir, Dr.Ferhat menyanyakan pandangan mengenai nuklir pada beberapa orang diantara kami. Semuanya menilai nuklir secara positif. Adapun aku, mengatakan nuklir adalah untuk hidup yang lebih mudah, indah dan nyaman, nuklir untuk kehidupan yang lebih baik. "Nuklir untuk cinta" aku menutup kalimat mengenai pandanganku.
Dari Dr.Ferhat kita tahu bahwa sebenarnya PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air) adalah PL yang paling banyak membunuh orang. Kasus bobolnya tanggul Situ Gintung, Banten adalah salah-satu dari sekian banyak kasus yang membuktikan bahwa PLTA adalah PL paling berbahaya. Saya melihat juga pembangunan tanggul untuk PL telah merusak aneka ekosistem baik di sungai maupun pinggiran sungai.
Stigmatisasi negatif terhadap nuklir telah membuat masyarakat takut akan nuklir sehingga masyarakat selalu menolak PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir). Adalah kasus nuklir Iran yang dijadikan senjata empuk oleh negara-negara maju untuk memprovokasi warga negara berkembang agar menolak PLTN.
Provokasi ini yang dilancarkan salah-satunya adalah menyebarkan fitnah dengan mengumumkan bahwa PLTN sangat berbahaya karena radiasi yang ditimbulkan. Padahal ini hanyalah berita bohong yang dikembangkan agar negara berkembang seperti Indonesia tidak memperoleh dukungan rakyat yang terprovokasi untuk membangun PLTN. Bila PLTN dibangun, maka kita akan dapat membangun banyak pabrik sehingga kita akan memproduksi banyak barang sehingga tidak perlu mengimpor lagi dari negara maju. Hal inilah yang membuat negara maju takut, takut barangnya tidak laku lagi. Makanya mereka tidak pernah lelah memprovokasi.
Saya melihat keganjalan pada kasus PLTN Fukushima, Jepang. Dua bulan setelah Pemerintah AS bersitegang dengan Toyota, Tsunami yang berketinggian 17 meter menimpa Jepang. Tsunami Jepang 2011 dan Aceh 2004 sama-sama ganjil. Fenomene ini mengingatkanku pada film "Salt" yang dibintangi Angelina Jolie. Di sana dikisahkan bahwa Amerika Serikat mengebor tanah di beberapa kawasan di dasar laut untuk menanam bom nuklir yang bisa mereka ldeakkan kapan mereka sukan dan kapan mereka anggap perlu. Dan senjata ini dapat menyebabkan Tsunami.
Tsunami Jepang 2011 menyebabkan genset reaktor Nuklir Fukushima yang dekat dengan pantai terendam. Dr.Ferhat menjelaskan, pengelola reaktor di sana meletakkan genset pada ketinggian 7 meter. Posisi ini mereka anggap aman karena, meski sering terjadi tsunami, sudah ratusan tahun tidak pernah mencapai 7 meter.
Akibat genset mati, mesin pendingin tidak bisa berfungsi sehingga terjadi panas berlebih di dalam reaktor. Akhirnya zat panas disalurkan ke sebuah rongga yang terletak di bagian atas reaktor. Kemudian ledakan terjadi karena rongga ini sudah tak mampu lagi menahan zat panas.
Sebenarnya, zat yang keluar dari reaktor yang di khawatirkan terjadi radiasi bukanlah zat yang berbahaya. Kalaupun terjadi kemungkinan radiasi, maka kasus reaktor Fukushima radiasinya tidak lebih dari kandungan radiasi yang dimiliki sebuah pisang. Pada saat makan siang, kami juga di sediakan pisang. Selesai makan banyak di antara teman-teman yang sudah mulai enggan menyentuh buah yang digemari monyet itu setelah diberitahu Dr. Ferhat bahwa pisang adalah salah-satu makanan yang memiliki kandungan radiasi tinggi.
Teman-teman dalam forum tampaknya tidak memahami betul makna radiasi. Satu hal yang mereka yakini bahwa radiasi itu buruk. Sama seperti masyarakat yang menolak kawasan mereka dibangun PLTN karena alasan takut radiasi, padahal buah yang mereka makan, HP yang mereka pakai dan TV mengandung radiasi yang sangat berbahaya sementara radiasi PLTN hanya ilusi.
Teman-teman juga mulai meyakini bahwa kasus Fukushima adalah propaganda Amerika agar negara-negara berkembang semakin takut membangun PLTN.
Padahal, PLTN adalah satu-satunya solusi energi di masa depan. Sungai tak ada lagi yang deras airnya; untuk energi tenaga surya, cahaya matahari tak bisa dipastikan sinarnya.
Pembodohan lainnya oleh Amerika adalah propaganda nuklir untuk dijadikan bom. Ini adalah pembodohan yang bodoh. IAEA adalah bentukan PBB untuk menangani masalah atom dan energi. Negara-negara yang ingin membangun reaktor untuk PLTN harus menandatangani surat perjanjian untuk tidak melakukan pengayaan uranium. Semua negara yang pro segala kebijakan Amerika tidak dipermasalahkan membangun PLTN asalkan menyepakati kebijakan IAEA. Anehnya meskipun Iran sepakat untuk tidak melakukan pengayaan uranium, negara ini tetap saja dilarang membangun reaktor.
Uranium untuk keperluan pembangkit listrik hanya membutuhkan kadar kemurnian 5%. Sementara untuk membuat bom nuklir kemurniannya harus diperkaya hingga di atas 90%. Untuk melakukan pengayaan, sarana dan fasilitas yang dibutuhkan tidak sama seperti reaktor untuk pembangkit listrik. Padahal, Iran tidak memiliki dan tidak mampu melakukan pengayaan, namun negara itu terus ditekan dan dilarang melakukan pemanfaatan nuklir untuk tujuan dama seperti pembangkit listrik, kesehatan, pertanian dan peternakan.
Isu yang dibangun, Indonesia belum perlu membangun PLTN. Padahal PLN sendiri yang setiap hari menjerit-jerit untuk hemat energi. Beberapa waktu lalu seseorang membunuh tetangganya akibat persoanal bagi jatah giliran penggunaan listrik. Kita belum butuh PLTN adalah bohong besar.
Beberapa pihak berkepentingan yang menguasai tambang batu-bara menekan pemerintah agar tidak memberi dukungan kepada Batan untuk membangun PLTN Muria dan Bangka. Padahal batu-bara adalah perusak ekosistem terbesar. Biaya, baik pengambilan maupun transport, juga mahal. Makanya tarif listrik dan harga barang semakin naik. Padahal, teman-teman harus tahu bahwa, untuk pembangkit listrik, satu kontainer batu-bara, energinya sama dengan seukuran satu tablet uranium. Lagi pula, radiasi batu-bara luar-biasa tinggi.
Dr. Ferhat menjelaskan sambil memutar sebuah video bagaimana kokohnya bangunan reaktor PLTN. Dalam video itu disiarkan betapa kokohnya dinding reator. Sebuah pesawat luar angkasa dengan kecepatan 500 km/jam ditabrakkan pada dinding reator. Ternyata tidak merusak dinding itu kecuali mengalami sedikit lecet. Lagi pula sebelum dinding luar yang kokoh itu, di dalam gedung reaktor dibangun beberapa lapis dinding yang kokoh. Jadi kebocoran reaktor yang berbahaya dan alergi radiasi hanya sebuah mitos.
Limbah reaktor jangan disangka berbahaya bagi lingkungan. Limbah itu dapat didaur ulang setelah disimpan ditempat yang sangat aman setelah puluhan tahun. Kasihan rakyat Indonesia, negara menjual uraniumnya ke negara yang punya PLTN sementara kita sendiri mengalami krisis energi. Nanti setelah persediaan uranium di bumi kita habis, barulah kita harus membeli dengan harga mahal pada negeri orang saat kita punya PLTN nanti.
Ir.Endang Susilowati mengajak kami melihat langsung reaktor nuklir. Kami diminta memakai pakaian seperti baju praktik dokter bewarna krim. Semua wajib pakai sepatu. Aku dan beberapa teman lain yang memakai sandal dipinjamkan sepatu. Masuk ruangan itu harus memakai sarung kaki seperti bentuk kaki pinguin. Melihat teman yang lain, kami saling menertawakan wujud kami yang aneh dengan pakaian itu. Melihat diri di kaca di dalam fit kami jadi saling menertawakan diri sendiri.
Untuk masuk reaktor, kita harus melewati beberapa pintu besi. Cara masuknya persis seperti masuk ke dalam kapal selam atau seperti Patrick dan Spongebob masuk ke rumah Sandy si tupai temannya yang berada di dasar laut. Setelah melewati satu pintu dan ditutup rapat, barulah pintu selanjutnya dibuka.
Ruang raektor benar-benar akrap dalam ingatanku meski aku sadar baru kali ini memasukinya. aku mengingat-ingat kenapa aku sama sekali tidak asing dengan ruangan ini. "Persis seperti lokasi di IGI" sebut suara di sampingku. Ya, aku ingat. Ternyata yang membuatku merasa tidak asing dengan ruangan ini adalah karena ruang ini persis seperti yang ada dalam permainan Project IGI. Game ini membuat settingnya di sebuah reaktor nuklir di Rusia. Ruang kendalinyapun sama.
Pusat reaktor berbentuk kolam yang diisi air luar biasa jernih sedalam 15 meter. Meski berair, kita masih bisa melihat benda-benda aneh di dalam air yang merupakan pusat reaksi. Harus berada di dalam air selain untuk menjaga suhu tetap baik, juga menghindari kontaminasi zat radio aktif. Air adalah cara terbaik menghindari zat radio aktif. "Karena itu dibutuhkan wudhu'" kata Ridha yang maksudnya wudhuk menghindari manusia dari gangguan setan. Sama seperti fungsi air menghindarkan radiasi.
Ir.Endang punya banyak pengalaman mengenai nuklir. Dia pernah bekerja pada salah satu serikat nuklir antar bangsa dan telah mengunjungi banyak PLTN. Katanya Indonesia telah mempunyai SDM sendiri secara murni untuk membangun PLTN. Ternyata kualitas manusia Indonesia cukup baik, bahkan kita telah mengukir sejarah menciptakan pesawat terbang yang canggih, Gatotkaca N-250.
Seperti yang telah sering saya sebutkan bahwa persoalan bangsa kita adalah terletak pada political will. Penyebabnya adalah karena elit negeri ini suka mementingkan diri sendiri, keluarga dan kelompok dan suka mengabaikan rakyat banyak yang seharusnya menjadi prioritas mereka.
Aku menelpon supir Big Bird dan mengatakan kami sudah siap pulang. Selesai shalat zuhur kami melangkah pulang. Big Bird impian meluncur nyaman mengantarkan ke24 anggota PII. Di dalam taksi besar tarif tinggi itu, aku kembali merasakan seribu tusukan pedang menghujam ke dalam dada dan melumat paru-paru dan jantungku. Aku terkenang saat-saat indah bersamanya dulu. Air matapun tak mampu kubendung lagi.
Pesan Matamu di Ranah Minang
Tanpa sengaja, sekilas terlihat mataku matamu. Aku ingin bernyanyi untukmu:
Cintaku padamu
tak perlu kau ragukan
Aku jauh meninggalkan bumi cinta kita
tapi bibitnya telah tumbuh dewasa
ketika pohon tumbu gagah menjulang
jangan kau ragukan akarnya kokoh ke dasar bumi
Kata matamu, kamu ingin memberikan sebuah pesan untukku.Maka aku memberanikan diri bertanya padamu, sembari sepintas mencuri pandang pada bola matamu dan sinyal itu masih ada.
"Aku ingin mendengar suatu pesan, sebuah nasehat atau semacam wejangan darimu. Aku mohon. Itu sangat penting bagiku. Kumohon."
Wanita, memang begitu adanya. Ingin memberikan secara utuh dengan ikhlas. Tapi di sinilah karakter laki-laki dibutuhkan untuk diekspresikan. Kau harus meminta, merayu, memohon dan dan mengiba padanya meski dia sendiri sangat menggebu-gebu untuk memberikannya padamu.
Kumohon kata-kataku ini jangan dimaknakan sempit. Ini untuk segalahal, segalanya mengenai wanita. Bahkan mengenai cinta, matata memberi pesan padaku:
Hampa
Tidak ada cinta
Semuanya telah pergi
Itu cuma khayalku beberapa hari sebelum ke bandara. Hari di bandara senyatanya biasa-biasa saja. Setiap naik pesawat, pasti ada gelisah dan ketakutan. Tapi di landasan dua rasa itu ada rasa yang lain: senang dengan terbang. Karena terbang adalah cita-cita tertinggi manusia. Mereka yang mati kecelakaan pesawat adalah yang mati dalam merebut cita-citanya. Rugi? Sama sekali tidak. Meraih cita-cita adalah tujuan hidup. Cita-cita jauh lebih berharga dari nyawa dan harga diri.
Bandara Soekarno-Hatta memang sangat panas ruang tunggu penumpangnya. Ini sama saja pada bandara Iskandar Muda. O iya, Polonia juga juga sama halnya. Aku tidak ingat lagi kondisi bandara di Makassar. Tapi aku mencoba mengingat-ingat kembali, atau lebih tepatnya mereka-reka: kondisinya sama.
Aku dan dia sama-sama sibuk menjaga dan mengawal tas-tas dan bawaan lainnya masing-masing.
"Satu jam kita harus menunggu disini" katanya.
Aku mengerti. Aku dan dia berbeda. Bagiku sejam itu waktu luang yang sangat berharga. Tapi baginya satu jam itu sangat membosankan dan sangat menyiksa untuk menunggu selama enam puluh menit itu.
Kutawarkan dia masuk ke duniaku. Sedikit saja. Kusodorkan dia sebuah majalah. Sejam itu dia asik membolak-balik majalah dan hanya melihat gambarnya sepintas lalu dan agak malas sekali dan sangat berat untuk membaca beberapa judul tulisan yang tulisannya besar-besar itu.
Kuanggap majalah itu sedikit bisa membuatmu lalai seperti seorang balita yang diberi mainan plastik. Dan, dengan itu aku bisa melakukan sebuah pekerjaan yang berharga dengan waktu sejam itu.
Maka kukeluarkan Nokia 9300i-ku. Aku memesangkan handsfree. Kuputar isi wawancara Yazid dengan Ketum PB PII tadi malam mengenai tanggapannya soal HUT Israel yang dirayakan di Indonesia. Menurutku, jangankan Israel, merayakan HUT negara lain di negari lain itu tidak baik, meskipun yang merayakannya warga negaranya sendiri. Anehnya, yang merayakan HUT Israel di Indonesia adalah WNI sendiri, itu kan bodoh namanya. Nasionalisme mereka dipertanyakan. Itu subversif namanya. Melanggar asas negara. Ini tindak pidana berat!
Perjalanan dari bandara Soekarno-Hatta ke bandara Minang Kabau memerlukan waktu 95 menit. Seperti biasa setiap perjalanan udara: gelisah, deg-degan: Takut mati. Padahal tak di pesawat, lain hari akan mati juga. Nanti semua yang dari tanah kan kembali ke tanah jua lagi. "karena petak hijau yang mejadi taman ria kita hari ini,esok semuanya bakal tumbuh dari debumu" kata Umar Khayyam.
Saat penerbangan sudah memasuki wilayah udara Sumatera Barat jantung sudah agak sedikit lega, meskipun beberapa goncangan pesawat masih ada. Udara Indonesia tidaklah tergolong bahaya, namum yang membuat warga Indonesia takut setiap terbang di udara negerinya adalah kualitas pesawat yang digunakan dan skil pilotnya. Hal ini berlaku pada setiap moda transportasi di Indonesia. Tidak hanya untuk taransportasi, tapi semua sendi kehidupan dan segenap sistem apapun di negeri ini bermasalah. Aku menyimpulkan, setelah bertahun-tahun memikirkan dan merenungkan, bahwa sebab kerusakan bangsa ini adalah karena dasar negaranya yang keliru. Hal ini diperparah dengan bertolak belakangnya antara akidah, prinsip hidup setiap individu masyarakat dengan prinsip dasar dan asas kolektif (asas negara) yang diusung. Untuk memperbaiki Indonesia, kita punya dua pilihan, pertama menumpas segala hal macam apapun yang menyangkut Islam. Pilihan kedua mengganti Pancasila dengan Al-Qur'an sebagai asas negara. Alasannya cari sendiri atau cari di catatan saya yang lain.
Saat pesawat hendak turun, terlihat pemandangan yang luar biasa dari sebelah kanan dan sebelah kiri pesawat. Sebelah kiri memperlihatkan pulau-pulau kecil yang indah-indah dan tak berpenghuni. Pasirnya yang terlalu putih mengindikasikan banyaknya terunggu karang di dasar laut. Banyaknya terunggu karang memastikan beragamnya aneka satwa bawah laut. Dapat dipastikan pemandangan bawah laut Sumatera Barat sangat indah.
Aku memikirkan kenapa pemerintah daerah setempat tidak mengeluarkan sedikit energi untuk menggencarkan pariwisata di Ranah Minang. Mereka bisa mengkomersilkan pulau-pulau indah itu dengan membangun penginapan asri alami di pulau-pulau kecil itu dan pasir pantainya sangat disukai turis asang.
Kenapa tidak dipikirkan cara mengembalikan hasil bumi kita yang dikerok oleh negara maju dengan mendatangkan warga negaranya kemari dan menghamburkan uang mereka di sini. Inilah strategi unik yang dapat ditempuh pemerintah untuk mengembalikan marwah bangsa yang telah dilacurkan para elit kita melalui izin eksploitasi hasil bumi negeri kita. Meskipun kita tau bahwa siapapun berambut pirang dan berprofesi sebagai apapun ketika mereka datang ke negeri orang, pasti negaranya menitipkan pesan untuk membawa pulangbsebarang informasi. Setiap perambut pirang adalah mata-mata.
Lihatlah bagaimana di Papua kini mereka masuk ke pedalaman dengan alasan membawa bantuan kemanusiaan dengan menawarkan sanitasi dan air bersih. Di Papua Nugini juga sedang digalakkan eksplosasi dan identifikasi satwa liar di kawasan itu. Padahal itu semua hanyalah pintu masuk untuk mencari sebarang sinyal kawasan mana yang bisa digali lagi untuk diambil material maha berharga di pulau terkaya di dunia itu.
Sementara mengintip sebelah kanan jendela pesawat aku melihat pemandangan darat yang cukup indah. Kabut-kabut membayangi puncak-puncak gunung dan menyelimuti lembah. Karena selalu berpikiran positif pada tempat baru yang kukunjungi, maka kuperkirakan di sini tidak ada illegal longging. Kalaupun ada, tak separah di provinsi lain.
Gunung-gunung dan bukit-bukut di Sumbar jauh lebih baik nasibnya: tidak digunduli massal dan dikerok untuk segelintir uang yang tidak berharga itu. Meskipun saat di Padang Pnjang aku melihat ada beberapa bukit yang banyak ditanami pihon pisang, tapi pertanian ini tidak menghilangkan hijau gunung. Lagi pula aku mellihat kearifan dalam cara pemosisian tanamannya. Mereka menanam tidak satu tempat. Diberi banyak area untuk tumbuhan-tumbuhan hutan alami tetap punya banyak ruang, saya perkirakan ini strategi agar tidak merusak keseimbangan alam. Dengan itu longsor atau erosi dan banjir tidak mengancam.
Ketika acara yang menjadi hajat kunjungan selesai, seseorang merapikan kamar penginapan. Padahal kita sudah membayar sewa kamar dan membersihkan dan merapikan kamar menjadi tanggungjawab pengelola penginapan. Namun ketika saya tanyakan kenapa harus merapikannya sendiri, dia mengatakan tidak boleh memberatkan kaum sebangsa. Kaum sebangsa yang dia maksudkan ini saya tau adalah sesama orang Minang.
Jiwa seperti ini akan sulit ditemukan di provinsi Aceh. Saya melihat pembangunan kota-kota di Padang jauh dari aroma korupsi. Ini tercium dari bagaimana fisik jalan dan bangunan-bangunan lain. Elite Sumbar tidak terlalu rakus memakan uang rakyat karena mereka tidak ingin menambah kesengsaraan kaum sebangsanya. Karena di Sumbar, semua rakyatnya sesuku, suku Minang. Sementara Aceh memiliki beragam suku. Jadi kalau diangkat menjadi elite provinsi, tidak segan-segan untuk korupsi banyak-banyak karena toh yang akan sengsara nanti bukan kaum sibansa (sesuku). Dan untuk kaumsibansa, bisa ada banyak cara mensejahterakan mereka.Aceh dihuni beragam suku seperti Aceh, Pidie, Pasai, Gayo, Tamiang, Alas, Anak Jamu, dll.
Karakter Minang di atas sangat bertolak belakang dengan karakter suku-suku di Aceh. Orang Pidie sangat solid dan lebih tangguh dari orang Minang. Kalau saja jumlah populasi orang Pidie lebih banyak atau sama banyak dengan Minang, maka Pidie akan lebih mendominasi daripada Minang. Dalam kacamata saya, orang Minang banyak menguasai sektor perdagangan karena faktor alami. Orang yang merantau memang akan mendapatkan posisi yang baik dengan berdagang. Namun orang Pidie memang telah mengantongi jiwa pedagang dalam diri mereka.
Berseberangan dengan orang Pidie yang solid, kompak dan punya etos kerja yang baik, orang Pasai lebih cocok dikatakan "kanibal". Orang Pasai terlalu boros dan ceroboh. Bila sedang punya banyak uang, dia akan sangat royal kepada teman-temannya. Namun kalau uangnya sudah habis, dia rela melakukan apapun pada kawannya untuk mendapatkan uang. Jadi jangan heran bila kasus pemotongan besi jembatan yang sangat membahayakan orang banyak terjadi di wilayah Pasai.
Saat pesawat hendak mendarat, tiba-tiba sebuah hentakan besar yang tidak kami ketahui asalnya terjadi. Semua penumpang terdiam. Aku berfikir, kalau tak mati di pesawat, nanti, beberapa saat lagi di hari tua, di atas kasur yang empuk, dikelilingi anak cucu, kan dihantarkan juga menuju kematian oleh kompleksitas penyakit. Toh, semua makhluk yang hidup wajib mati.
Pertama jatuh adalah selang oksigen dari atas kepala masing-masing penumpang. Pasawat dipastikan jatuh ke laut. Awak memerintahkan semua penumpang mengenakan jaket pelampung. Semua meraihnya dari bawah kursi duduk masing-masing.
Aku berfikir kini tibalah masa istirahat. Lagi pula aku sudah sangat lelah hidup di dunia. Semua anugerah Tuhan untukku di dunia ini cukuplah sudah. Aku hanya memikirkan dia di sampingku. Aku berusaha menenangkan dia. Kukatakan padanya:
"Kamu akan mati, tapi tidak di sini, bukan sekarang ini. Kita akan selamat. Aku sudah ingin pipis dari tadi. Dan pesawat ini akan jatuh ke air. Jangan cemas."
Lampu arah keluar pintu darurat telah dinyalakan. Penumpang yang duduk terdekat pintu itu dengan sigap membukanya. Semua pintu darurat terbuka bersamaan. Penumpang kebingungan: antara melepas sabuk pengaman dan berusaha ke pintu darurat. Kalau melepas sabuk pengaman, resikonya terpelental, tidak membukanya, maka akan lebih berbahaya tetap di tempat duduk.
Seorang pria berkemeja putih lengan panjang didampingi celana kain hitam berkumis tebal mencoba menjadi pelopor adegan "panas ini". Dia melepas sabuk dan merah pintu darurat. Punggung pesawat sudah mencium permukaan air. Kain bewarna kuning berisi anging menjolorkan lidahnya ke air. Pria berkumis tadi melompat ke air melalui kain kuning mirip lidah manusia tadi. Penumpang lainnya tidak diam lagi. Semua bergegas meniru pria tadi. Sampai pesawat tidak bergerak lagi dan mengapung manja di atas air laut, semua penumpang telah terjun ke laut.
Aku dan dia adalah paling belakang. Sebelum terjun ke air kukatakan padanya:
"Sejak pesawat tinggal landas tadi aku ingin buang air kecil. Di air sesaat lagi tak ada orang yang tau kalau aku sedang pipis."
Tapi kata-kataku tadi bukanlah lelucon yang baik saat pesawat sedang dalam keadaan seperti ini. Air mukanya malah semakin kerut mendengar lelucon tadi. Melihat matanya aku menemukan sebuah pesan:
"Dasar cendol basi. Bukan saatnya bercanda bila nyawa di ujung rambut"
Setiap telah memasuki badan pesawat, nyawa memang telah bergantung di ujung rambut. Malaikat pencabut nyawa sudah ambil ancang-ancang selama manusia di dalam pesawat. terbang memang selalu mengerikan. Namun apa hendak dikata. Terbang adalah mimpi kita semua.
Aku, sedari kecil, tidak pernah bermimpi banyak hal. Yang selalu menemani tidurku hanya dua tema tentang mimpi: uang dan terbang. Waktu kecil dulu aku sering bermimpi ada orang yang memberiku uang, atau berang berharga lainnya. Kugenggam uang itu erat-erat. Namun setiap terjaga uang itu selalu lepas dari tanganku. Karena sangat seringnya seperti itu, dalam mimpipun aku sadar ini adalah mimpi. Jadi setiap diberi uang, aku menggenggamnya semakin erat karena tidak ingin uang yang diberikan itu harus lepas setiap saat bangun. Aku berusaha keras membawa uang itu ikut menerobos alam mimpi menuju alam sadar dan uang itu tetap di tangan saat terbangun. Tapi sayang, tidak semalampun usaha itu berhasil, dan setiap bangun tidur aku harus kecewa. Mimpi diberi uang ini selalu terjadi sejak aku bisa mengingat hingga aku masuk tsanawiyah di pesanten; aku tidak ingat lagi apakan disana masih bermimpi itu juga.
Mimpi lain yang tak kalah sering adalah mimpi tentang terbang. Saat itu aku menjadi paling tinggi diantara semua orang. Aku bisa melihat aneka pemandangan keindahan alam. Dari atas aku melihat orang-orang memanggil-mangil mengiba-iba minta terbang bersamaku.
Ada mimpi yang paling klasik, yaitu mimpi pipis dari atas jembatan. Jembatannya sangat tinggi, sampai-sampai sebelum air seni pembuka belum menyentuh permukaan sungai, air seni terakhir telah habis keluar dari "sarangnya". Namun yang tidak menyenangkan dari mimpi ini adalah saat terbangun tilam dan semua pakaian telah basah. Ngompol, deh.
Salah satu trik yang saya tawarkan untuk mengurangi resiko ngompol adalah dengan tidak buang air kecil di dalam celana ketika tersadar. Aku sering melakukannya saat main hujan. Dan sesaat lagi akan melakukannya kembali di dalam laut, karena pesawat telah terapung di permukaan laut dan kalaupun harus mati beberapa saat lagi, setidaknya aku bisa melapaskan hajat buang air kecil yang sudah lama kutahan ini.
***
Kami mendarat dengan selamat, syukur pada Allah. Airmata tak terbendung. Entah kenapa harus terharu. Mungkin karena alam tanah ini terlalu indah, mungkin karena tak pernah menduga bisa menginjak Tanah Minang. Mungkin terkesan bisa sampai di Negeri yang masyarakatnya kaya budaya. Atau mungkin pula... Entahlah, yang jelas mendung di mata berubah hujan. Saat neninggalkan tangga pesawat, curi-curi aku bersujud di balik tangga pesawat. Setidaknya, pekerjaan pertama yang kulakukan di Tanah Minang ini adalah bersujud. Bukankah ingatan akan tujuan hidup harus terus dipelihara, tak boleh luntur, persis seperti benak seorang pelukis menyimpan dengan baik kesannya terhadap suatu objek.
Kenapa kuda itu mampu berlari kencang? Padahal manusia berlari sepuluh meter saja sudang ngos-ngosan. Jawabannya karena, setelah mengamati seekor kuda di depan Ngarai di Padang Panjang, adalah karena lubang hidung kuda besar. Kemudian lemaknya sedikit kuda itu. Jadi dia mampu leluasa menggerakkan kakinya. Dan lagi jantungnya didesain tanggu. Yang paling penting adalah karena kuda itu tidak merokok.
Demikian sebuah catatan ditemukan setelah memperhatikan seekor kuda.
Sambil memperhatikan seekor kuda, terlintas sebuah pertanyaan kenapa ada orang yang jago melukis kuda, ada yang tidak. Padahal gambar kuda ada di benak si jago lukis dan tidak. Kenapa?
Aku cuba menduga jawabannya karena si pelukis memperhatikan dengan detil dan seksama sebuah objek sementara yang bukan pelukis tidak. Di samping itu, kesan di benak pelukis kekal dan mengakar, sementara bagi yang bukan pelukis setiap objek yang dipandang dan dimasukkan dalam benak, luntur. Luntur seibarat warna yang disapu gerimis yang berubah hujan.
Gerimis berubah hujan. Orang orang-yang tadi gembira ria berfoto-foto, berlarian mencari teduh hujan. Aku masih tertekun menengadahkan kepala menatap wajah jam gadang di Ranah Minang. Aku merasa diri paling teruk di antara semua yang berada di sini. Semua orang punya kamera menghentikan waktu. Namun aku tidak. Aku hanya mencoba mengabadikan kesanku melalui kata-kata. Kuharap ini bisa. Kalaupun tidak, maka ini adalah sebesar-besar usaha.
Seorang kawan menanyakan apa aku sudah makan siang. Kukatakan "saya kurang tertarik membicarakan tentang makan". Karena menurutku makan itu bukan untuk dibicarakan, namun untuk dilaksanakan.
"Tapi saya tidak bisa kalau tidak makan minimal dua kali sehari" sahutnya.
"Saya juga demikian, namun karena beratnya kehidupan, saya jadi tidak berani pasang target" apalagi untuk makan dua kali sehari. ini benar-benar tidak realistis untuk kehidupanku.
***
Saya merasa dipermalukan ketika segala kebutuhan perjalanan ke Padang dititipkan kepada orang lain. Saya merasa tidak dipercayai dan tidak dihargai. Saya marah menyikapi hal ini. Segala nasehat dan bujukan tidak saya pedulikan.
Hingga seorang teman menyatakan salut kepada saya setelah saya menceritakan masalah saya ke dia. Dia bukan malah ikut membela saya atau meyalahkan mereka yang tidak memberikan kepada saya segala perbekalan. Dia malah menyatakan cemburu kepada saya. Aneh. Saya heran campur bingung. Hingga kata-kata terakhirnya ini membuat saya sadar:
"Wah, hebat, dia jadi bendahara pribadimu"
Ah, bodoh, bodoh, bodoh. Dasar aku bodoh! Kenapa sebelumnya aku harus marah pada yang menitipkan bekal kepada dia? Kenapa aku harus marah, menggerutu, merasa tidak dihargai, tidak dianggap dan tidak diberi kepercayaan. Yang terakhir ini memang agak benar, namun bila saja sejak awal caraku menyikapi hal ini seperti ini, maka perjalanan ke Ranah Minang akan mejadi semakin nikmat. Makanya, bagi siapapun, persiapkan diri, terutama pikiran agar tetap positif bila ingin ke Ranah Minang, sebab bila tidak, perjalanan ke Ranah Minang yang indah dan Istimewa itu akan luntur. Sekali lagi, selalu persiapkan pikiran positif. Ingin menikmati semua yang indah di Ranah Minang? Kalau di Minang, Jangan Merajuk.
Tidak Ada Kembang di Kota Kembang
Tiga puluhan personil PB PII yang baru saja selesai dilantik di Masjid Al-Azhar, Jakarta telah memadati lantai dasar sekretariat PB PII. Canda tawa di dalam ruangan sebelum acara dibuka telah menjadi bukti keakraban para personil yang sekitar 70 persennya diisi wajah baru. Entah dari mana, Ucok memamer-mamerkan dua set kartu remi, hadirin sibuk dengan kartu-kartu itu tapi tidak bermain remi.
Tiba-tiba dihadapan para hadirin terpampang tulisan: POLA KEBIJAKAN UMUM PB PII PERIODE 2010-2012. Semua personil kaget, katanya Training Center, tapi kok ada yang gituan. Santer terdengar suara sumbang diantara para personil yang bingung dengan yang muncul di dinding melalui infokus "Ini TC atau raker". Aku melihat kiri-kanan, tidak ada yang menunjukkan ekspresi baru saja mengucapkan sesuatu. Leo masih melingoh ke dinding dengan wajah longohnya, Pikar cuek-cuek seperti ayam jantan yang tidak mau bertanggungjawab setelah menggauli ayam betina di pagi hari.Ridwan yang berpakaian seperti pendeta di sebuah gereja kecil yang jemaatnya tinggal belasan karena lari ke gereja lain yang lebih menjamin kesejahteraan sosial senyum-senyum saja persis tersangka korupsi milyaran rupiah baru saja keluar gedung KPK untuk memenuhi panggilan guna pemeriksaan yang ke 21 kali. Selanjutnya pria berpakaian pendeta itu membuka acara dan mempersilakan Ketua Umum untuk berbicara.
Tanpa basa-basi Engku Ridha langsung mempresentasikan pola kebijakannya. Demi Allah semua personil semakin heran. Kide beberapa kali memukul keningnya. "Tak saketek nyo karajo" bisiknya pelan. Di dekat tangga Pikar sengir-sengir aja. Nani yang sedari tadi menjadi pusat perhatian PII wan senyum terus kini ikut melongoh. Kutaksir, melihat raut wajahnya, dalam benaknya Nani berucap "Jauh-jauh awak datang dari Aceh, kok malah dikibulin begini".
Di dalam ruangan, suara Ridha terus mempresentasikan pola kebijakannya. Sekarang aku teringat kata Putra mengutip ucapan seorang KB PII Aceh "Anak PII pintar bicara, wajar. Anak PII tau bicara pada waktu yang tapat, itu langka". Dan mungkin Ketua Umum termasuk kategori yang biasa, kebanyakan.
Ketua terus bicara hingga Jay memotong pembicaraan tanpa diizinkan bicara. Tidak diizinkan karena beberapa kali menngagkat tangan kanan namun diabaikan. "Ini TC pak, masak, belum apa-apa sudah pemaparan visi-misi. Kita ini belum lagi saling kenal. Proposisikan sebaga sesuatu sesuai tempatnya,pak".
Selanjutnya satu-persatu sambung-menyambung melontarkan protes terhadap konten acara yang tidak proporsional. Sekjen pakaian pendeta kelabakan mengendalikan forum. Notulen seperti perempuan tua yang ke dalam bajunya masuk dua ekor kecoa besar-besar. Selanjutnya satu-persatu walk out dari ruangan. Ke kadai Ocit satu-persatu tiba. Disana menjadi ajang hujat protokol acara dan menyampaikan kritik pada Ketua Umum.
"Kita sudah malu sekali waktu pelantikan, kok malah konyol lagi di TC".
Seorang lainnya menambahi, mungkin saya orangnya "Masak pelantikan PB macam pelantikan PK".
"Pasang" Kide nyosor.
Keesokan harinya semua personil menuju stasiun Gondangdia yang terletak tidak jauh dari belakang Markas Besar PB PII, Menteng Raya 58. Tiket kereta ekonomi dibagikan satu orang satu. Kereta sesak, tapi nikmat. Nikmat? Hanya yang pernah naik kereta ekonomi yang tau. Ini rahasia kita para penumpang kereta api ekonomi.
Ternyata salah turun. Seharusnya turunnya di stasiun selanjutnya, namun malah turun di stasiun Depok Baru. Akibatnya PB harus ngeluarin duit banyak buat ongkos angkot yang nganterin kami terlalu jauh. Perjalanan melewati beberapa pasar yang tidak kuketahui namanya. Padat, dengkul-dengkul wanita, yang kebanyakannya remaja mudah saja ditemukan hampir semudah menemukan pohon di hutan atau air di danau. Kukatakan banyak karena mungkin mataku kurang peduli terhadap dengkul-dengkul yang pemiliknya sudah berusia tua.
Memasuki perumahan yang begitu indah mataku melongoh. Pikiranku langsung membayangkan disalah satu rumah diantara rumah-rumah mewah itulah TC kami akan berlanjut, atau lebih tepatnya berlangsung. Yang membuatku tercengan adalah ketika angkot yang kami tumpangi melalui sebuah jembata. Sempat aku menjalarkan kepalaku ke bawah. Terlihat olehku sungai yang airnya amat bersih, mengalir kencang dan begitu indah, sangat alami.
"Masih ada juga rupanya sungai yang begitu indah dan bersih di pulai Jawa ini." Akalku takzim.
Rumah itu berada di belakang dua pintu ruko. Dibangun terlalu jauh dengan jalan, kuperkirakan terlalu besar taman dan penghijauan di halaman rumah sebelum ruko yang terlihat baru dibangun itu. Satu-persatu personi PB PII memasuki area. Beberapa diantaranya langsung menegadahkan muka ke atas saat tepat berada di depan pohon jambu biji. Masing-masing mencari cara masing-masing untuk mendapatkan buah yang langka itu. Ada yang berhasil menemukan alat petik berukuran panjang (runong, dalam bahasa Aceh), ada yang berusaha melempar menggunakan alas kakinya, ada yang memanjat dan ada yang kehabisan akal lalu sok berwibawa dengan menegur agar yang lain lebih beradab dengan tidak langsung main serang terhadap jambu orang.
Rumah itu memiliki banyak kamar, banyak diantaranya kecil-kecil. Kuperkirakan perancang rumah ini sama-sekali tidak terpengaruh dengan kampanye mahasiswa IAIN menganjurkan KB meski membawa dalil-dalil agama. Sisi kanan rumah adalah tanah yang luas yang sering digunakan untuk menanam aneka tanaman pertanian biji-bijian tanah lembab. Di depannya ada sebuah lesehan berukurang tanggung. Karena terlalu kotor, lupakan saja. Suhu udara di dalam rumah terlalu dingin meski tidak terlihat satupun mesin pendingin ruangan jenis apapun. Kukira karena banyaknya pepohonan disekeliling rumah bercat putih itu.
Sore harinya forum dimulai. Ternyata diluar dugaanku, dilaksanakan di lantai II ruko. Untuk sebuah pertemuan TC, tempat itu lebih luas daripada di rumah. Acara dimulai dengan pemaparan profil diri oleh masing-masing personil PB. Agenda ini memakan waktu dua hari. Tidak haya karena molor sebab sering pasang, juga setiap orang dalam memperkenalkan profil memakan waktu lebih dari setengah jam.
"Menikah dan tidur dengan istri adalah sebuah menyenangkan sangat nikmat dari segenap kegiatan dalam hidup." Hadirin histeris. Aku tak peduli, bagiku ini penting untuk meningkatkan motifasi teman-teman.
"Kenikmatan itu persis seperti ketika Nabi Besar bermuka-muka dengan Allah, nikmat tiada tara. Namun dalam hidup, manusia tidak dibenarkan egois. Manusia seluruhnya harus menikmati kenikmatan-kenikmatan dan untuk manusia Indonesia, hal itu masih belum dirasakan. Sebab kita harus turun dari puncak langit kenikmatan pribadi dan turun ke tengah-tengah masyarakat untuk merubah nasib mereka. Dan PII adalah wadah kita dalam memperjuangkan kesejahteraan ummat manusia umumnya dan Indonesia khususnya." Teman-teman banyak menertawakan. Mungkin Karena terlalu negatifnya arah pikiran mereka mendengan pesanku.
Adalah Kide satu-satunya yang tidak ikut tertawa dan memberikan apresiasi bagiku. Dan setiap pujian pastinya menimbulkan rasa senang bagi yang dipuji. Setiap pujian hakikatnya adalah racun bagi yang dipuji. Pujian dapat menilbulkan rasa bangga diri. Rasa itu dapat menjauhkan pemilik pujian dari introspeksi. Kalau introspeksi adalah nutrisi, maka pujian adalah virus.
Pasang benar-benar telah menyita waktu kami. rencana dua hari ternyata TC baru bisa kelar pada hari ketiga. Tiga setengah tepatnya. Padahal, agendanya cuma dua, perkenalan dan pemaparan visi-misi Ketum.
Putra dan Kide benar-benar membuatku jengkel. Menemukan uang seratus ribu rupiah di depan sebuah toko kerajinan kaca, malah dititipkan pada penjaga toko tersebut. Padahal ini Jakarta (dan sekitarnya). Mereka malah belum kenal betapa kejamnya Ibu Kota. Okelah kalau Putra, baru dua bulan di PB, sementara Kide, sudah sangat lama di Ibu Kota, kok baik begitu. Ucok pernah mengajariku saat baru-baru tiba di Jakarta. Meski ini bernada canda, namun aku serius:
"Di Jakarta ini, Mis, bukan memikirkan besok mau makan apa, tapi makan siapa."
Mendengar itu otakku berkata "Benar itu, mampus kau. Ngeri. Mari kita kembali ke Aceh." Aku mulai gundah, tiba-tiba gelisah.
Tapi akalku menasehati: "Tidak sepenuhnya benar."
Waktu sebelumnya ketika mengunjungi Jakarta dan belum menetap di Jakatrta, setiap kuletakkan rokok di atas meja selalu habis disambar. Dan kejadian ini telah membentuk pola pikirku tentang bagaimana kejamnya Jakarta. Namun saat tinggal di Jakarta dan menjadi persnil PB pola pikir itu tidak sepenuhnya benar. Para personil PB hidupnya sejahtera. Bahkan aku menumpang hidup pada mereka, setidaknya di bidang rokok dan kopi.
Pada suatu siang pulang dari mushalla aku menemukan teman-teman ngopi di sebuah warung pinggir jalan. Aku menggoda Ucok dan Kide. Pasangpun dimulai. Sialnya, kami harus menanggung malu saat seorang wanita paruh baya menegur kami.
"Maaf bapak-bapak sekalian, makan minum boleh disini, silahkan. Tapi tolong jangan pasang".
Malunya tak tertanggung. Pasang spontan dihentikan. Kami merasa lebih tua dua puluh tahun saat dipanggil 'bapak-bapak'.
Sekitar tigapuluh orang di ruangan ini adalah manusia hebat semua. Mereka tidak hanya para instruktur PII; mereka sarat pengalaman, baik formal maupun mandiri. Mungkin karena masing-masing yang ada disini adalah orang-orang cerdas dan berwawasan tinggi semuanya, maka inilah penyebab molornya jadwal TC. Perkenalan diri disisipi cerita tentang pengalaman-pengalaman masing-masing menyangkut riwayatnya bersama PII adalah pelajaran yang sarat makna. Kalau saja notulensinya bagus, dan kalau saja notulen itu diterbitkan menjadi sebuah buku, maka aku yakin akan menjadi 'best seller'.
Sore harinya aku bersama Pikar santai di sebuah warung sejuk pinggir jalan. Kulihat papa-papan merk toko menerangkan nama kawasan ini adalah Kota Kembang.
"Kawasan ini pasti Jawa Barat" Otakku memastikan.
"Kenapa bilang begitu?" tanyaku.
Otakku menguraikan. Masih terlalu yakin.
"Kau pernah membaca sebuah artikel di internet: Wanita paling cantik di Aceh. Keduanya orang Sunda. Sunda itu identik Jawa Barat"
"Tapi..."
Otakku langsung membantah karena mengetahui maksudku.
"Memang belakangan kau mengetahui ada orang Sunda juga di Banten. Tapi tidak identik, boi."
Otakku melanjutkan.
"Di Sri Langka Juga banyak orang India, bos"
Aku mengerti maksud otakku. Dia kembali mengoceh.
"Kau pasti tau maksud kota kembang, bos."
Aku terdiam.
"Kau pasti tau itu" Otakku mendesak.
Aku mencoba-coba mengingat sesuatu. Saat menemukannya, otakku langsung angkat bicara.
"Ya, sekarang persiapkan matamu baik-baik. Akan banyak cewek lewat di sini."
Sulit bagiku membedakan antara otakku dengan setan. Tapi kutahu saten dan otak itu berbeda. Tapi otakku memang setan.
Lama aku duduk, menikmati kelapa muda sambil mata terus ke badan jalan. Sesekali aku menoleh kiri kanan. Setiap menemukan tanda-tanda jilbab dan rambut panjang aku bersigap.
"Aneh, ini kota kembang, tapi kok tidak ada seorang perempuan cantik pun kelihatan". Akalku mempertimbangkan bukan berarti membenarkan rencana zina mata yang diprakarsai si otak itu.
Kukira di sinilah sarangnya wanita tercantik ("Kedua" otakku ketus) di negeri ini. Kenapa tidak, wanita Sunda terkenal dengan kecantikannya dan dikenal dengan istilah 'kembang'. Dan pastinya Kota Kembang adalah kawasan inti dari wanita cantik Sunda. Tapi kunjungan ke sini menyatakan lain. Purwakarta pula yang membuktikan hal itu. Pernah sekali aku ke sana, 2007.
Pagi minggu itu kami ke alun-alun. Kaki-kaki dan dengkul-dengkul benar-benar membuatku terbang. Hal ini pernah kutemukan sekali lagi saat menyaksikan Olimpiade Beijing. Ketika penari air wanita Rusia mempertunkkan kebolehannya. Keindahan itu bukan olimpiade, bukan Beijing, bukan bentuk kolam, bukan warna air yang dibentuk warna kolam, bukan pula atraksinya, tapi kaki itu sendiri. Persis seperti pagi minggu di Monas: Bukan monas; bukan emas berbentuk es krim di puncak tower aneh itu; bukan taman yang indah; bukan pergelaran panggung konser rutin; bukan pemandangan unik Satpol PP saat mengejar para penjual makanan & minuman; bukan pula kelihaian para pedagang saat menghindari POL-PP, tapi kaki-kaki itu. Sulit membedakan ukuran panjangnya dengan celana dalam. Ambo...i!
"Astaughfirullah'aladhim." Hatiku bertaubat di saat-saat yang tepat. Kondisinyapun tepat.
Perjalanan pulang lebih singkat karena kamu ke stasin Depok. Jajan-jajanan dibeli oleh mereka yang pegang banyak uang PII. Kalau begini terus kujamin PB PII takkan ribut soal kebendaharaan. Tapi sama-sekali tidak menjamin keselamataanya dalam amatan PW PII se-Tanah Air.
Lagi-lagi kereta api ekonomi. Duh, kereta ekonomi, aku menyukaimu karena seribu alasan: Naik ekonomi lebih merakyat. Di dalam gerbong itulah wajah asli indonesia terpampang jelas: Anak-anah yang meringis; balita menjerit; remaja tidak tau adab; copet; plagiat; bahkan hingga pelecehan seksual.
Kalau saja ada kereta api yang masuk surga, kupastikan kereta api ekonomi adalah penghulu kereta api-keteta api fil Jannah.
Cinta
Kahlil Gibran dari Lebanon bersenandung dalam Sang Nabi, cinta itu datangnya saat pandangan pertama, bila cinta tidak hadir saat itu maka dia tidak akan pernah datang sampai kapanpun. Artinya, bila anda berjumpa pada waktu pertama kali dengan lawan jenis dan saat itu tidak segera muncul sebuah getaran yang sulit diterangkan, maka artinya anda tidak mencintainya, dia bukan cinta anda. Sering karena akrabnya hubungan dengan seorang lawan jenis sehingga secara perlahan hubungan emosional muncul, maka itu bukan cinta. Sama seperti seekor hewan piaraan, kalau telah terlalu dekat dengan anda, maka akan timbul juga sebuah rasa. Sama seperti lawan jenis, bila hewan piaraan itu berpisah dengan anda, akan timbul rasa kehilangan yang disebut rindu (missing, Ing.).
Adapula jenis perasaan (emosi) yang disebut 'iba'. Perasaan ini bahkan bisa timbul pada siapa saja, sesama jenis, orang jompo, korban bencana atau bahkan orang tua sendiri saat menemukan orang-orang itu dalam keadaan tertentu dalam keadaan yang patut dikasihani dan memberikan kesan yang mendalam saat peristiwa. Perasaan itu mengandung rasa salut saat satu titik momen itu berlangsung. Itu bukan cinta.
Gairah, Unik, lucu, kagum, dan perasaan-perasaan positif lainnya itu bukanlah cinta. Cinta itu bukan emosi dan bukan pula rasa. Dia muncul tanpa alasan. Sementara, semua rasa dan emosi kedatangannya membutuhkan proses. Cinta dapat memunculkan semua perasaan positif dan menghilangkan semua perasaan negatif secara total. Tapi semua perasaan positif itu tidak dapat melahirkan cinta. Orang-orang selalu sering salah dalam mengenal cinta, mereka mengatakan perasaan-perasaan positif dalam komposisi tinggi dan mendalam sebagai cinta. Itu tidak benar.
Cinta itu tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata sebaba cinta tidak tersentuh akal, tidak terjangkau nalar. Berbicara ini saya jadi teringat penjelasan Iqbal dalam menerangkan hubungan pengalaman spiritual dengan penalaran. Setiap pengalaman itu subjektif saja sifatnya. Jangankan untuk memahami bagaimana orang lain merasakan cinta, mengatahui bagaimana sakit teriris pisau saja kita hanya mampu menilainya menurut pengalaman ketika kita telah pernah mengalaminya sendiri. Bila kita sendiri belum mengalamu sakitnya tangan terputus akibat sebetan benda tajam, bila menemukan seseorang sedang mengalaminya, maka kita tidak tahu bagaimana sakitnya kecual simpatik padanya dan menduga-duga sakitnya dengan melipat-lipat gandakan pengalaman teriris pisau yang pernah kita alami.
Teman-teman, baik laki-laki maupun perempuan, sepakat kita tidak akan mengerti apa itu cinta sebelum meresakannya sendiri. 'Merasakan sendiri' berarti subjektif. Artinya, cinta yang saya rasakan berbeda dengan yang anda rasakan.
Kita dapat dengan mudah mengatakan 'sakit' dan semua orang mengerti kata itu sebab semuanya pernah merasakan. Dengan mudah pula orang mengaku mengerti 'cinta' sebab mereka semua pernah mengalami emosi-emosi positif yang mendalam. Mereka mengaku kesan-kesan dan emosi-emosi positif itu sebagai cinta.
Aa mengatakan bahwa cinta itu fanatik sekaligus rasional. Pengakuan Aa mengenai cinta bertolak belakang dengan cinta di mata Gibran. Ketika Gibran mengatakan cinta sebagai tunas pesona jiwa dan muncul dalam sesaat (atau bila dia muncul dalam waktu yang lama maka itu bukanlah cinta namanya) maka terkesan pragmatis. Bertolak belakang dengan pragmatis, maka cinta yang membutuhkan proses, pendekatan dan pertimbangan (baca:rasionalisasi) disebut idealis. Disini ditemukan makna cinta Gibran mengarha pada konotasi kontra produktuf.
Namun saya kira idealitas dalam perspektif cinta mengandung makna yang lebih mendalam. Cinta akan mengorbankan dirinya tanpa batas hanya untuk menyelamatkan cinta itu sendiri. Mungkin sebab itulah banyak orang yang tidak menikah dengancinta pertamanya. Banyak jalan terjal menuju kepemilikan atas cinta. Dan banyak orang yang terjatuh ke dalam jurang. Demi menjaga keutuhan cinta itu sendiri tentunya.Karena itu sesungguhnya banyak manusia yang melewatkan malam-malamnya bersama orang yang bukan cintanya dan menjadikan anak sebagai pengobat duka kehilangan cinta. Sekali lagi, itu semua dilakukan demi menjaga cintanya.
"Cinta baru menyadari kedalamannya setelah tiba perpisahan," kata Gibran dan ini dapat menjadi alasan pengatur takdir kenapa banyak manusia yang tidak ditakdirkan hidup bersama cintanya. Dalam keterpisahan cinta menjadi lebih terlihat baginya, dia lebih mampu merasakan kehadirannya. Kala sunya cinta itu benar-benar hadir dihadapannya dan menampakkan dirinya dalam wujud yang lebih nyata dari yang nyata. Kala malam mulai larut saat bulan tenggelam kedalam wan pekat maka cinta hadir menyapanya, menyantuhnya dengan lembut dan bercumbu rayu dengannya. Saat itu cinta memberinya semangat untuk terus tetap hidup, meyakinkannya bahwa dia tetap utuh baginya meski tidur bersama istrinya. Kalau istri hanya mampu menyeka keringat karena lelah bekerja, maka cinta dapat menyeka duka dan lara karena mengorbankan hidup demi keutuhan cinta. Kalau istri mampu mengetahui jumlah uang dalam sakunya maka Cinta mampu memahami kepedihan jiwanya, luka di dalam dadanya, Dan cinta, paling tau cara mengobati semua perasaan itu. Kala malam tiba, cinta menyusup ke dalam jiwa, mengajaknya ke luar, bermain-main di taman, berbagi tawa ceria bersama cinta. Kala rindu mendekam, cinta datang mendekat menyandarkan kepalanya dan merasalah dia penyatuan total dengan cinta. Perasaan itu adalah perasaan yang hanya didapatkan apabila telah dilakukan pengorbanan yang besar dan kepasrahan total akan kehancuran diri dalam getirnya kehidupan.
"Betapa beruntungnya dia yang hidup tinggal besama cintanya" kata seorang penyair. "Mereka yang berhasil membina rumah tangga bersama cintanya adalah dia yang terlahir kembali" kata Gibran. Betapa tidak, cinta adalah teman jiwa sekaligus teman raga. Kala jiwa ditimang cinta, bersamanya raga ditimang cinta.
Edward Cullen mampu membaca pikiran setiap orang. Bahkan dia mampu membaca pikirang semua orang dalam sebuah ruangan secara sekaligus. Anehnya, dia tidak mampu membaca pikiran Bella. Awalnya aku menduga karena Bella tidak punya orientasi hidup. Dugaan ini diperkuat karena memang latar-belakang Bella penuh frustasi.
Tapi ternyata aku meralat kembali asumsiku. Edward tidak mampu membaca pikiran Bella karena dirinya sendirinya yang ada dalam pikiran Bella. Cinta Bella pada Edward begitu besar, begitu tulus. Hal ini persis seperti manusia yang tidak mampu membaca pikiran Tuhan, karena manusialah dalam pikiran-Nya. Mungkin begitu. Manusia juga selalu gagal memahami apa itu "cinta" karena dia sendiri adalah cinta.
Seorang pemuda begitu terpikat dengan keindahan dirinya melalui sebuah danau. Setiap harinya di berlutut di tepi danau dan mengagumi dirinya melalui pantulan air danau. Danau itupun begitu mengagumi dirinya sendiri melalui pemuda itu. Setiap pemuda itu berlutut dan mengamati dirinya melalui danau, maka danau itu menikmati keindahan dirinya melalui pantulan yang dimunculkan mata pemuda tersebut.
Pasanganmu adalah satu-satunya cermin yang memantulkan bayangn dirimu sendiri. Jika cermin memperlihatkan bayanganmu mengandung sebercak noda, maka bukan cermin yang harus dibersihkan, tapi dirimu sendiri. Apabila ada sesuatu yang miring kau temukan pada pasanganmu, maka dirimulah yang harus kau luruskan.
Ketika kasih sayang yang melimpah kau curahkan sepenuhnya pada pasanganmu, maka sejatinya kau sedang menyiran kebun mawarmu sendiri. Dan kau adalah bunganya.
Laila dan Juliet bukanlah cinta, tapi dia-dia adalah fasilitas yang tepat dimana cinta Majnun dan Romeo terekspresikan. Ketika Zamzami telah tiada, maka cinta Syalimah menjadi galau, kehilangan tempat. Ketika cinta telah pernah keluar dari rumah hati, maka dia akan membuatnya pedih saat kembali. Tapi Gibran mengekspresikannya pda tempat yang lain, melalui tinta cintanya mengalir. Duhai jangan sampai cinta itu liar saat kehilangan wadah ekspresi. Kalau itu terjadi maka kamu akan jatuh ketempat terendah ketika kau berada di tempat yang tinggi. Jadilah seperti Habibi yang kehilangan Ainun, jangan menjadi Soeharto yang kehilangan ibu Tien.
Kutanyakan pada Profesor Habibie apa itu Cinta. Dijawabnya singkat: Allah. "Cinta yang ada pada manusia adalah sepercik cinta Ilahi yang di titipkan pada manusia." Kata Profesor Engineering, yang kata Najwa Shihab juga layak disebut Profesor cinta.
"Suara punya kesepatan seribu km/detik. Cahaya punya kesepatan satu milyar km/detik. Dalam satu detik telinga mampu menerima seribu informasi. Sementara mata mampu menerima satu milyar informasi dalam waktu yang sama." kata tokoh yang masuk sepuluh besar intelektual nusantara versiku.
Maka berarti pula suara hanya mampu menyampaikan seribu pesan dalam satu detik, namun tatapan mata mampu memberikan satu milyar pesan dalam sedetik. Meskipun pencipta kalimat: "Cinta datangnya dari mata turun ke hati" belum mengetahui kecepan cahaya maupun suara menurut hukum fisika, namun ungkapannya semakin benar saja. Satu tatapan matamu sering lebih mampu meyakinkan pasanganmu darpada raruan bibir manismu sejuta kata.
Bayangkan yang sepercik itu getarannya luarbiasa. Aku membayangkan lagi begitu besarnya cinta yang dimiliki Sang pemilik cinta.
Kalau Tantowi Yahya di utus sebagai duta baca Indonesia, maka "Profesor Habibi sangat tepat bila dinobatkan sebagai duta cinta." Kata komandan Pikar.
Nanti kalau rasa itu datang kembali menghampiriku, kuceritakan lagi tentang cinta, hanya padamu, kawan.
Skeptis
Pemuda yang merasa dirinya self convidence itu menghampiri dua orang gdis yang sedang santai-santai di atas rumput-rumpu di dekat batang pinang. Kepada salah seorang diantaranya dia bertanya.
"Kamu sudah punya pacar belum?"
"Maaf..."
Tidak mengerti.
"Kalau sudah punya pacar tidak baik menghubungi pada waktu-waktu tertentu"
"Maaf, maksudnya?"
Bingung.
"Saya mau meminta nomor HP kamu.
Heran
"Tapi kalau sudah punya pacar, tak usahlah"
Selain over self convidence, dia juga seorang skeptis. Melihat orang-orang bersepeda, senam pagi, berjalan di batu-batu disusun runcing dan joging, dia bernyanyi:
Seribu Terapi
Sejuta pusat kebugaran
Semilyar resep ramuan
Semuanya tidak berharga samasekali dibandingkan dua rakaat shalat.
Dia mengndekati mobil pustaka keliling. Mencari-cari buku yang membuatnya tertarik. Dia menemukan "The Zahir" karya Paulo Coelho, orang Brazil. Dia menjadi bingung. Setahunya buku itu ditulis orang Argentina bernama Bergos.
Sambil membaca "The Zahir" dia mendengar seorang bocah laki-laki merengek pada ibunya. Didepan ibu dan si bocah ayahnya sedang asyik baca buku. Bukan karena tak dengar anaknya merengek sebab bukunya terlalu menarik, tapi memang sang ayah terlalu dewasa menanggapi anaknya menangis.
Menyaksikan itu si pemuda berkata dalam benaknya:
Kalau saja aku punya anak yang merengek akan kubentak dia hingga diam. Aku juga akan marah sebab anakku merengek pada tempatku "merengek" dan merengek.
Lalu akal sehat pemuda itu berkata:
Kalau saja bukan karena seorang ayah menganggap anak laki-lakinya sebagai dirinya sendiri yang terlahirkan kembali, niscaya semua ayah akan membunuh anak laki-lakinya seperti yang dilakukan keluarga kucing.
Malam yang Seksi
"Emang yang di FB itu puisi abang, ya?"
Eih, dia ngajakin aku ngobrol. Berbunga-bunga hatiku. Dia mirip Hanil, temanku di Aceh. Ah, tapi jenis kelaminnya kan perempuan. Sejelek apapun perempuan, ya tetap perempuan.
Bayangkan kalau semua manusia dimatikan semua, kecuali kamu dan seorang perempuan di ujung dunia satunya lagi, perempuan paling jelek di muka bumi, tetap hidup. Kamu pasti lebih memilih hidup sendiri saja meskipun Tuhan memandatkan kamu mencarinya untuk agar melahirkan manusia-manusia lag,i agar ada lagi peradaban, apa lagi setelah kau mengetahui dia wanita paling jelek. Kamu pasti tidak mau repot-repot mencarinya. Ah, kamu pasti tidak mau seperti Adam.
Namun kerinduanmu akan manusia yang banyak, sebuah masyarakat, sebuah peribadatan atau sebuah kejahatan massal akan memotifasimu mencarinya. Kamu ingin melihat lagi perampokan, orang-orang dalam jumlah besar naik haji. Maka kau putuskan mencari wanita jelek itu, setidaknya untuk melanjutkan peradaban dan meneruskan kembali sejarah. Stelah menjumpainya, pasti dia adalah wanita paling cantik saat itu.
Setidaknya Eka Setiawati punya suara syahdu, bibir tipis.
"Lihat saja wajahnya secara seksama. Hitam" Kata Komandan.
"Ah, hitam manis" otakku membantah.
"Pendek"
"Ah, tidak pendek-pendek amat"
"Tembem"
"Aih, lesung pipit"
"Boneng"
Komandan terlalu memprofokasi.
"Eka, abaikan Komandan kita. Kita akan hidup berdua selamanya di sebuah pulau. Kita berdua saja" Untunglah dia tidak mendengar otakku yang ngeres itu.
"Jadi bener yang di FB itu karya abang sendiri". Eka mengejutkanku dari lamunan.
"Aih, dek Eka. Sampai hatinya engkau mengejutkan abangmu ini. Padahal kita kan sedang mengajari anak Laki-laki kita menyabutkan kata 'mama', 'papa', di sebuah pulau dimana hanya kita bertiga manusianya." Otakku kegatelan.
"Benar, saya sendiri yang menulisnya. Ada apa?" Aku mencoba seanggun dan sewibawa mungkin dihadapannya sembari berharap jawaban Eka begini:
"Waw, luarbiasa sekali puisinya. Mau dooong" Dan kalau bisa 'o'nya lebih banyak lagi.
Atau begini:
"Menakjubkan, saya suka sekali. Saya menjadi penggemar setiamu" katanya anggun.
Tapi ternyata dia diam saja. Ingin agar dia terus bercakap-cakap denganku, aku melanjutkan bicara.
"Kalau mengutip milik orang lain, harus mencamtumkan sumbernya." Eka diam tidak berminat. Aku terus berusaha.
"Plagiat itu seperti mengambil suami orang tanpa diketahui istri pertamanya."
Eka tertawa lebar, girang,bahagia, memukul pundakku sambil berkata "Selain pandai buat puisi, kamu humoris juga, ya." Tapi itu hanya lamunanku. Ketika kulihat ternyata Eka sudah ngorok.
Aku sadar aku terlalu jelek untuknya.
>>>>>>>>>>>>>
Gedung itu berlantai dua puluh lima. Kami naik ke lantai sembilan belas. Kubayangkan kalau lantai itu dinaiki melalui tangga. Pasti akan ada aksi besar-basaran dari karyawan menuntut kenaikan gaji tiga kali lipat.
Orang yang hendak ditemui adalah mantan ketua umum PII Yogjakarta. Tidak menarik berbicara tentang dia dan isi percakapan dengannya. Aku terpesona dengan posisiku saat ini. Lantai sembilan belas! Mungkin ini kali pertamaku berada di tempat paling tinggi. Waktu selesai shalat maghrub aku melihat pemandangan malam kota Jakarta. Begitu indah. Kulihat kemacetan di jalan. Aku membayangkan diriku menjadi gubernur DKI:
Aku menemukan bahwa penyebab utama kemacetan ada dua, pertama persentase jalan tidak sesuai dengan luas area dan jumlah kendaraan. Kedua karena masyarakat memiliki sesuatu sebelum waktunya.
Ketika itu aku memutuskan dua mega proyek dalam masa jabatanku untuk menuntaskan persoalan runyam Ibu Kota negeriku. Pertama aku tutup semua lembaga perkreditan. Kedua, kubangun jalur kereta api segala jurusan dalam Ibukota. Kereta api ekonomi semuanya.
Kereta api ekonomi?
Aih, kawan, kesekiankalinya kukatakan padamu aku mencintai kereta api ekonomi karena seribu alasan. Naik kereta api ekonomi bisa menghemat uang anda lebih seratus persen.
Di sebuah ruang kerja kantor itu aku menemukan para karyawan harus bekerja menggunakan komputer dari pagi hingga malam tiba. Kulihat wajah mereka lembab, badan lesu dan otot-otot mereka persis seperti rumput dijepit terpal tiga hari tiga malam. Duh, betapa alat elektronik yang menjanjikan kemudahan bagi manusia ternyata sekaligus memberi beban bagi mereka.
Melihat kondisi karyawan hingga direkturnya aku jadi semakin enggan untuk memasuki dunia yang seperti ini. Aku membayangkan kehidupan di desa: bayak suara burung, rumah kayu, sejuk dan alami.
Awalnya aku menduga setiap gedung-gedung yang tinggi di Jakarta dimiliki oleh satu perusahaan saja. Ternyata banyak gedung kantor di sini seperti apartemen saja: dikontrak oleh bayak perusahaan yang bergerak di berbagaimacam sektor.
Turun dari tempat tertinggi yang pernah kudatangi, aku dan ketua langsung berhambur ke trotoar jalan raya. Kondisi udara yang spontan berbeda membuat badanku terkejut. Kami kembali menjadi rakyat jelata sebagaimana mayoritas masyarakat Indonesia dengan menunggu angkutan umum, minum di trotoar dan menaiki angkutan umum yang sangat padat dan sesak. Tadinya di dalam gedung tinggi itu aku merasa seperti orang kaya, mewah dan elegan. Keluar dari gedung tidak hanya mengejutkanku karena suhu udara yang berubah derastis. kondisi mental berubah derastis pula.
Di dalam angkutan umum yang kami tumpangi lebih banyak jenis kelamin perempuan daripada laki-laki. Pemandangan ini membuatku miris. Yang lebih menyedihkan lagi kebanyakan dari mereka muda-muda
Akalku bersabda:
Kalau saja Islam tegak di negeri ini maka perempuan-perempuan itu takkan berada di sini sekarang: Mereka sedang bermanja-manja di pangkuan suami mereka. Menonton TV bersama sambil memegang raket pemukul nyamuk. Atau mereka telah berada di ruang surga sedang membina istana cinta.
Akalku melanjutkan:
Kasihan mereka. Mereka hidup dalam kebodohan akibat pembodohan. Bukan masalah perempuan tidak boleh setara laki-laki, masalahnya mereka harus melakukan yang tidak selayaknya diperbuat.
Tidak kusadari mataku basah.
Otakku yang senantiasa cabul kini berusaha rasional:
Mereka keluar rumah pastilah bersolek. Gaji keluar rumah secukupnya untuk makan, selebihnya untuk membeli pakain norak dan aneka macam peralatan kecantikan.
Otakku tidak keliru. Kalau saja segala sistem Islam diterapkan, maka wanita-wanita itu tidak perlu terlihat berkeliaran setiap malam dengan pakaian setengah telanjang. Orangtua mampu mensejahterakan anak gadisnya dan suami dapat memenuhi segala macam kebutuhan istrinya.
Jalan kaki di kota besar seperti ini tidak terlalu melelahkan meski jauh perjalanan yang ditempuh sebab banyak hal yang bisa dilihat: Kendaraan-kendaraan yang sesak di jalan, orang-orang pulang kerja berlalu-lalang, gedung-gedung tinggi bermandi cahaya dan para pedagang kaki lima yang sibuk menjajakan dagangannya.
>>>>>>>>>>>>>>>>>>
Kami kembali menjadi orang kaya ketika memasuki sebuah gedung yang lebih tinggi dan lebih mewah dari yang tadi. Setelah menjadi orang miskin papa berjalan kaki dan naik angkutan umun penuh-sesak kini mental kami berubah derastis. Bahkan lebih elegan dari saat berada di gedung perkantoran tadi.
Tas di gegedah, HP dititipkan dan badan melewati lingkaran pendeteksi logam. Berjalan beberapa meter, kami belok kanan. Sebelah kanan ada eskalator otomatis: Eskalator itu baru hidup apabila terdeteksi ada sesuatu mendekatinya. Saat turun dari kembali untuk buang hajat setelah acara usai, aku turun terburu-buru. Eskalator jadi tak mampu mendeteksi kehadiranku. Aku turun secara manual. Setelah aku menjauhinya, eskalator itu membunyikan alaramnya. Aku tak peduli. Beberapa sekuruti panik dan bersigap.
Di lantai dua tepat di hadapan eskalator telah berdiri meja pengisian daftar hadir para tamu. Di balik meja duduk dua orang gadis cantik penerima tamu. Keduanya berkaus putih lengan pendek. Salah-satu diantara keduanya agak menarik perhatianku. Cantik: kulitnya putih bersih, bentuk keseluruhan wajahnya seperti Preety Zinta-meski hidungnya lebih pesek. Bibirnya yang merah jambu tipis dan kecil dimerah kan dengan lipstik. Melihatnya, otakku ambil kendali. " Aku ingin hidup bersama dengannya dua atau tiga tahun. Dan kalau kesannya begitu mengesankan, bolehlah ditambah tiga tahun lagi." Ketua yang kukagumi karena kecerdasan dan luasnya wawasan dimiliki ternyata menatap agak lama Preety Sunda itu.
Awalnya kami berdiri bersama beberapa orang lainnya dekat-dekat dinding. Melihat dua kursi menganggur di tempat yang agak berjauhan, serentak, aku dan ketua menerkamnya. Bedah buku "Kenapa Harus Sri Mulyani" berada di ruangan yang begitu mewah. Semua meja adalah meja makan bentuk lingkaran. Semua meja dan kursi ditutup kain putih. Suasana seperti ini hanya pernah kulihat di TV.
Pembawa Acara terkenal yang juga sebelumnya hanya pernah kukenal melalui TV kini duduk di hadapan para hadirin. Dia terlihat lebih gemuk secara langsung. Dia memang sangat ahli dalam mengendalikan forum. Yang membuatku sakit hati padanya adalah ketika berjalan dia meletakkan kedua tangannya di kedua sisi pundak seorang gadis. Dia berjalan di belakang gadis itu. Bajinya putih juga. Gadis itu dijadikannya sebagai tongkat.
"Kurang ajar. Seorang perempuan cantik yang layak menjadi teman hidup, setidaknya satu atau dua tahun, baginya dijadikannya sebagai tongkat saja." Otakku naik pitam.
"Ini adalah penghinaan bagimu. Bayangkan, seorang perempuan yang dapat menjadi penopang gundah kala gelisah, pengobat lara ketika resah bagimu, baginya hanya sebagai sebatang kayu saja sebagai alat bantunya berjalan". Otakku semakin membuatku geram. Dia melanjutkan pua.
"Lihat dirimu, tidak jelek-jelek amat. Kau punya hidung yang mancung dan tinggi yang layak. Meski kau sedikit kurus namun hitammu adalah hitam manis."
Dia menambahkan:
Bandingkan dengan laki-laki gendut itu. Badannya seperti labu, perutnya seperti bola, rambutnya seperti mie Sakura, hidungnya seperti bola tenis meja. Pokoknya dia tidak punya satupun untuk dibanggakan apalagi bersaing denganmu.
Selanjutnya:
Hidup memang tidak adil.
Aku benar-benar naik pitam. Kalau bukan karena menunggu makanan yang semuanya asing dan semuanya kelihatan lezat dan acara makan akan segera di mulai dan karena ruangan ini sejuk bukan main, maka kupastikan marahku akan memuncak dan aku akan mengatakan pada seluruh para hadirin seperti yang diucapkan oleh otakku. Seluruhnya, tidak satu katapun akan kulewatkan.
Tapi memang perut lebih berpengaruh daripada bawah perut. Begitu melihat para hadirin pelan&pelan bergerak ke arah meja makan, aku bergegas kesana. Kuraih sebuah pring batu bewarna putih yang ukurannya lebih besar dari biasanya. Aku bersumpah bahwa saja sebelumnya aku pernah berhadapan dengan menu seenak ini seumur hidupku. Aneka lauk, aneka rasa kuhamburkan saja ke atas piringku. Kukatakan "ke atas" bukan "ke dalam", bukan karena aku keliru memilih kata, kawan, tapi karena piring itu memang sangat datar.
Aku meraih kembali tempat tadi. Dihadapanku sudah ada segelas air bening di dalam gelas yang bentuknya hanya bisa kutemukan di rumah orang kaya-kaya. Itupun hanya terlihat pada hari raya. Disebelah kananku tergeletak sebilah pisau dan sebelah kiri sebuah sendok maka. Aku berfikir apa hubungannya pisau dengan makan. "Apakah kita harus memakan pisau terlebih dahulu baru boleh makan makanan enak." Otakku selain jorok juga bodoh. Namun otakku berusaha membela diri. "Ini semacam sebuah pengorbanan, boi. Bukankah orang barat bilang 'No free lunch'." Tapi ini makan malam, bos.
Usai menyamtap makanan yang kelezatannya hanya mampu diimbagi kuah ikan tongkol masak Aceh masakan ibuku, aku bergegas menuju meja dekat tempatku mengambil nasi tadi. Disana aku meraih sebuah piring yang meski berbentuk sama seperti piring nasi tadi, namun ukurannya lebih kecil. Secangkir keci makanan (entah ini layak disebut makanan atau lebih cocok disebut minuman) kutaruh di atas piring. Lalu disusul potongan buah buahan mahal seperti anggur, stroberi, melon dan semangka mendarat di piring itu. Kadang aku menyesah kenapa piring untuk makanan pencuci mulut ini begitu kecil. Ingin rasanya aku mengambil piring nasi saja untuk mengisi kue-kecil dan potongan buah agar muatannya lebih banyak.
Makanan yang ada dalam gelas kecil di hadapanku lebih menarik perhatianku karena itu kudahului. Gelas itu lebih kecil tiga kali daripada gelas kopi standar. Isinya cuma separoh. Terdapat empat lapis. Lapisan paling atas adalah coklat kering. Ditengahnya dicokolkan sesuatu mirip koin. Kuyakin koin itu dipancangkan sebelum coklat kering. Koin putih itu rasanya sangat manis. Aku sayang koin ini karena rasanya yang dahsyat. Saking sayangnya, aku hanya menghisapnya, menyemutnya. Makanan imut ini sangat sayang bila harus digigit.
Pelan-pelan aku mencomot coklat di lapisan teratas dengan sendok yang lebih kecil dari sendok teh. Rasa coklat itu tujuh ratus kali lebih enak daripada coklat Conello. Setelah coklat habis, lapisan kedua bewarna putih. Awalnya kukira ini adalah coklat putih atau krim. Tapi ternyata dianya adalah agar-agar. Agar agar ini jauh lebih enak dari biasanya, lebih manis dan lebih lezat daripada agar-agar bikinan kakakku di bulan Ramadhan. Lapisan ketiga dan keempat rasanya hanya sedikit berbeda dengan yang kedua.
Setelah menghabisi isi aneh dalam gelas itu dan menghabiskan semua potongan buah di atas piring di hadapan ku, aku kembali mengambil segelas lagi. Kutawarkan pak ketua "Lagi, bang" "enggak, ah. Nek" jawabnya. Aku menyempatkan diri mengambil empat potong pisang goreng merah.
Aku membayangkan Prabowo jadi presiden dan Sri Mulyani sebagai wakilnya. Sebuah kombinasi yang hebat: Militer dan ekonom. Bukankah ekonomi dan militer adalah penopang utama sebuah negara.
"Tidak mungki. Ekonomi yang dibangun prabowo itu ekonomi kerakyatan. Sementara Sri Mulyani itu ekonomi kapitalis." komentar ketuaku. Tapi kukira itu sanggahan yang kurang tepat. Kombinasi kedua sistem ekonomi ini malah akan lebih menjami kesejahteraan ekonomi rakyat dan negara di masa depan. Sumpah bukan kampanye: Aku menaruh keyakinan Indonesia ditangan Prabowo akan merubah nasib bangsa ini dimasa depan. Melalui Prabowo Indonesia akan menjadi negara paling hebat di dunia dibawah India.
Setelah keluar dari gedung mewah itu aku dan ketua nyantai dulu tepat di tengah jalan di jembatan penyeberangan. Selain sebagai jembatan penyeberangan, jembatan ini berfungsi sebagai juga sebagai jalur akses menuju halte busway yang semuanya terletak di trotoar pembatas jalan dua jalur.
Aku permisi sebentar kembali kegedung mewah tadi untuk keperluan hajat. toilet yang paling bersih dan mewah yang pernah kumasuku, seingatku adalah toilet bioskop 21 di Taman Ismail Marzuki. Toilet di bandara Soekarno-Hatta kalah. Tapi toilet di gedung ini tidak kalah elegan. Selesai buang hajat aku kebingungan mencari air bersuci dari hadas besar. Setahuku di toilet kantor MUI pusat, yang juga mewah, punya selang besi di sampingnya. Aku kebingungan. Aku berdiri tepat menghadap kloset. mempreteli apa yang bisa dipreteli agar air untuk menyucikan yang saat ini harus disucikan. Aku menemukan semacam tombol sebelah kanan kloset. Kutekan, tak bisa. Aku coba memutar.
Tiba-tiba keluar benda putih dari dalam lobang kloset, persis bentuk alat lelamin anjing jantan. Tanpa permisi langsung alat kelamin anjing itu menyemprot sekujur tubuhku. Seluruh pakaianku basah. CD yang masih belum berada di tempatnya ikut menjadi korban keganasan teknologi super aneh itu.
Aku menyerah. Kuputar ke arah berlawanan. Alat kelamin itu mengundurkan diri. Aku dapat ilmu baru. Ini sangat bermanfaat bagi masa depanku. Aku kembali ke posisi tekun buang hajat. Kuputas kembali benda di sisi kanan kloset tadi. "Cruuuuuut". Aduh, nikmat bukan mainan. Ternyata alat kelamin yang sempat kuhujat tadi sangat cerdas. Dia mampu menyemprotkan air tepat sasaran. Menusuk. Tidak meleset. Alat ini jauh lebih cerdas dariku. "hahaha, alat itu seribu kali lebih cerdas daripada seorang mahasiswa pascasarjana Konsentrasi Pemikiran Islam. Hahaha." Otakku membuatku geram sekaligus malu. Keluar toilet aku kembali pasang wibawa." Ini gedung elegan, pak" bunyi otakku. Kebasahan? Aku tak peduli. Aku sudah mempersiakan seribu alasan yang sulit untuk tak dipercaya kalau-kalau ada yang menanyai mengenai keadaanku. Ternyata tak ada yang peduli. "Lagi pula ini gedung mewah, pak. Kau telanjang bulat sekalian, melenggang di dalam gedung ini. Takkan ada yang peduli padamu." Otakku ada benarnya, di kota besar, tak ada yang mau peduli dengan urusan orang lain. Semua punya urusan dan kesibukan masing-masing. Aku berlalu meninggalkan gedung itu dengan sebuah cerita yang sangat membanggakan kali pertama masuk dan sebuah peristiwa yang amat memalukan kali kedua masuk lima menit berikutnya.
Kami menuju antrian busway. Di kaca menuju arah masuk bus tertempel petunjuk yang mengesankan usaha bukan main seriusnya agar perempuan dan laki-laki tidak mengantri dalam barisan yang sama. Kertas anjuran itu terlihat amatiran: Selembar kertas yang diprin dan ditempel dengan isolasi bening, sudah sobek-sobek kecil pula.
"Tampaknya anjuran ini dari lembaga paradoksal tanpa otoritas formal." kataku pada ketua. Dia meng-iya-kan dengan isyarat bibir. Seorang wanita gemuk berkaus putih celana ukuran anak SD kelas lima SD. Memperhatikan kami. Dia masih muda. Umurnya kira-kira dua lima.
Kami pulang dalam kedinginan AC busway yang luarbiasa. Di luar, hujuan turun rintik-rintik perlahan deras; tidak telalu deras.
"Seksi kudefinisikan sebagai penampilan yang mengidentikkan seseorang dengan jenis kelaminnya. Seorang pemuda yang pakai kemeja, dasi, jas dan celana katun seksi sebab itu identik pakaian pria. Tidak ada wanita berpakaian demikian, setidaknya di negara kita. Serang wanita berpakaian memperlihatkan lekuk tubuhnya dikatakan seksi. Perempuan yang berjilbab, rok dan baju longgar-longgar, besar-besar itu seksi sebab tak ada pria bertubuh wanita dan mustahil pria pakai jilbab". Begitu Seksi itu adalah sesuatu yang menunjukkan kesejatian dirinya. Malam hari akan semakin memperlihatkan kesajatiannya dan akan terlihat lebih dramatis ketika kelam, turun hujan pula, tapi hujannya bukan hujan deras: hujan gerimis.
Tadi malam hujan gerimis turun saat kami berada di gerbang Taman Ismail Marzuki. Kami biasa duduk minum kopi di sana. Tapi malam ini beda. Ada dek Eka di sini. Kau tahu kawan, aku yang mengantar dan menjemputnya ke TIM.
"Aduuuh, hujan pula" kata dek Eka.
"Malam yang pekat, hujan pula, bukankah itu seksi?" kataku.
Dek Eka bengong lagi. Dek Eka bengong itu nikmat. Tapi terlihat dia tidak sepakat. Duhai, kalau saja dek Eka mengetahui getaran jiwaku saat aku dekat dengannya.
"Kalaupun dia tau apapun yang kau rasa padanya, tetap saja dia biasa-biasa saja. Kamu seharusnya ngaca. Kamu itu jelek, kurus, tak berwibawa. Dasar tolol. Tak tau diri. Kau lihat dek Eka dia cantik, manis, ayu, anggun, pintar pula". Otakku memang keparat, menghujatku tak tanggung. Tapi yang membuatku marah besar padanya adalah karena dia sok ikut-ikutan sebut "dek" pada dek Eka. Aku mau hanya aku seorang saja di dunia ini yang memakai "dek" untuk memanggil dek Eka.
Subang Selalu Senang
Bismillahirrahmanirrahim.
Tidak ada wanita yang paling hebat di Indonesia selain PII Wati. Di tengah kegetiran, kesulitan dan kesusahan; mereka mampu memberi manfaat untuk orang lain. Setidaknya itulah pemandangan yang kulihat di dalam gerbong kereta Api yang sangat padat, panas dan pengap dalam perjalananku menuju Subang. Dalam kepanasan yang luar biasa, mereka masih sempat mengeluarkan sesuatu dari ransel untuk menjadikan benda itu sebagai kipas. Seorang anak yang menangis menjerit karena panas dan pengap. Ibunya yang juga dalam keadaan yang susah jadi panik. Wanita-wanita terbaik di Indonesia itu mengipasi anak itu. Anak tersebut-pun menjadi agak nyaman.
Pemandangan PII Wati yang heroik seperti ini tidak kutemukan pada PII Wati di Aceh. Di sana, PII Wati-nya cemen, mengkek, manaja dan menyebalkan. Kehadiran mereka bukan malah membantu, sebaliknya selalu menambah beban dan merepotkan. Kukira hanya PII Wati Aceh saja yang tidak punya jiwa herok Malahayati dan Cut Nya’ Dhien. Karena hanya PII Wati Aceh saja yang demikian dan lainnya tidak: PII Wati tetaplah wanita-wanita terbaik, di Indonesia, setidaknya.
***
Allah SWT telah memberikan kelonggaran dalam shalat dengan memebenarkan menjamaknya bila dalam berperjalanan: Setidaknya menurut jarak tertentu. Setahuku 83 km atau lebih. Allah SWT tidak menghitungnya menurut waktu atau jarak tempuh. Mereka yang “terlalu pintar berijtihad” menganggap bila naik pesawat kita tidak boleh jamak shalat. Padahal naik pesawat maupun kereta api, misalnya, tidak lepas dari perlunya menjamak shalat. Sebab, proses-prosesnya juga menyita waktu, seperti menunggu pemberangkatan. Hal inilah yang dialami Musa. Dia memutuskan tidak menjamak ashar ke dalam zuhur saat kami transit di lokasi Training LBT PII di Karawang. Akibatnya, entah bagaimana caranya, dia harus bisa menyelesaikan shalat asharnya satu menit seja sebab kereta api yang akan berangkat ke arah stasiun Sadang beberapa detik lagi tiba. Melihat Musa, saya teringat dengan kebaikan Allah SWT yang tidak diindahkan makhluknya.
***
Sebelumnya kikira akulah satu satunya instruktur PII yang mengelola training sendirian. Aku pernah melakukannya pada Ramadhan 2008 di Kopelma, Darussalam.. Ternyata, Zaki, PW PII Jakarta Raya, juga melakukan hal yang sama di karawang. Sama, Intermediate Training juga. Untungnya, aku lebih beruntung dari Zaki, keterbatasanku karena seorang diri dapat kututupi dengan mengundang KB PII yang telah menjadi dosen-dosen ternama IAIN Ar-Raniry untuk mengisi materi-materi.
***
Awalnya kami tidak berencana melaksanakan Kursus Pemandu (KP), namun karena aku tidak ingin ditinggalkan sendiri di lokasi Training Sunbang oleh teman-teman yang bukan tim instruktur LBT, aku menawarkan mereka untuk kita laksanakan KP. “Bagaimana kalau kita KP: Agar tidak dianggap makan grati saja oleh PII Subang.” Tawarku. Beberapa di antara mereka menerima dengan semangat tawaran itu, yang lain ragu-ragu. Ada juga yang tidas setuju. Seorang Mu’addib tidak saja hanya melaksanakan ta’dib secara tunduk dan patuh pada “kitab keramat PII’ itu, bagiku, yang jauh lebih penting dari itu adalah semangat dan realitis dalam menerapkan konsep-konsepnya. Semangat itulah yang membuatku terus memotifasi kader-kader pasca Intra untuk mengikuti KP. Selain itu, seorang Mu’addib harus menggiring sasarannya ke arah yang diinginkan tanpa kesan pemaksaan. Ini juga yang kulakukan hingga terrlaksanalah KP itu setelah melalui proses persuasi selama dua hari.
Hari ke-3 training, KP dibuka dengan jumlah peserta enam orang. Kami melaksanakannya dengan persiapan seadanya. Modal paling penting telah terpenuhi: ada Ta’dib dan Mu’addib qualified.Sebelumnya, Zaki yang tidak istirahat setelah mengelola Intra di Karawang, langsung kembali memegang kendali LBT Subang, menawarkanku, masuk tim. Aku menolaknya bukan karena sombong. Namun aku mengatakan, kalau aku pemail bola sepak, telah gantung sepatu. “Saya memang belum gantung Ta’dib, namun saya telah gantung Silabus, Batra dan Intra. Jadi artinya aku akan mengelola KP.
Aku memutuskan tidak lagi mengelola, terutama Intra dan LBT, karena ingin memberi kesempatan pada para instruktur-instuktur baru untuk belajar dan agar mereka yang belum memenuhi kualifikasi tertentu dapat mewujudkannya dengan banyaknya kesempatan untuk itu. Aku telah menjadi Koordinator Tim (Kortim) LBT dan Intra, masing-masing sebanyak tiga kali. Bagiku, kalau aku pemain bola, sudah saatnya memundurkan diri.
Dua orang antara peserta awal terpaksa tidak mengikuti KP karena diminta membantu tim LBT menjadi observer ruangan dan obserfer materi. Karena kerja observer adalah mengawasi, maka Yazid menyebut observer sebagai “malaikat”. Namun kehilangan dua orang itu tidak membuat KP urung dilaksanakan. Berdatangan beberapa peserta lain, diantara mereka ada yang baru saja mengikuti Intra di Karawang. Total peserta adalah tujuh orang. Lebih banyak satu orang daripada Kursus Mu’allim (KM) yang dilaksanakan PD PII Bireuen selepas Lebaran Puasa 2010. KM tersebut adalah yang paling unik sepanjang sejarah sebab beberapa materinya, temasuk baiat peserta dilangsungkan di warung kopi Star Black, Bireuen, tepatnya di lantai dua, di tengah kerumunan manusia yang sedang online dan menikmati kopi.
Menerapkan ta’dib, menurutku sama seperti menerapkan Al-Qur’an dan Hadits. Kita harus benar-benar memahami jiwanya. Kita harus memahami dengan benar psikologi sasaran. Setiap realitas yang ada tidak boleh serta-merta dihadapi secara frontal. Kita harus benar-benar memahami kondisi psikologis individu dan sosio-kultural sasaran. Setidaknya inilah yang kuterapkan saat mengelola Intra di Lhokseumawa 2010. Di atas kertas, banyak dari peserta tidak layak diluluskan sebagai peserta Intra. Namun karena mengingat kondisi mental-psikologis peserta bila tidak diluluskan, akan berdampak pada berkurangnya semangat mereka ber-PII. Selanjutnya aku harus realistis dalam melihat kondisi PII Lhokseumawe dan Aceh Utara: Kalau mereka tidak diluluskan, PII Lhokseumawe dan Aceh Utara tidak punya pilihan lain dengan tetap harus melibatkan mereka sebagai pengurus. Jadi, pertimbanganku, Intra ini harus intensif. Harus banayak penekanan pada sistem manajemen organisasi dan pemahaman administrasi. Dengan catatan tidak melupakan fokus utama Intra yaitu kemampuan analisa sosial serta kepekaan terhadap persoalan-persoalan ummat.
Intra dilanjutkan dengan KP. Kualitas kader yang baru saja lulus Intra tidak memiliki banyak perubahan, terutama kelayakan mengikuti sebuah kursus, ditambah minat beberapa peserta menurun untuk mengikuti KP dengan alasan sekolah sudah dimulai kembali. Kuputuskan tidak membaiat seorang pun dari peserta Intra. Kukatakan tidak dianggap lulus Intra tanpa lulus KP. “Ijtihad” ini kulakukan dengan alasan karena kulihat banyak kader Batra PII Lhokseumawe dan Aceh Utara berhilangan begitu saja pasca training. Aku menduga, dan menemukan sedikit indikasi, ini disebabkan kurangnya loyalitas kader pasca Batra. Hal ini terjadi biasanya karena kader belum pahan benar tentang PII. Seorang kader akan memiliki loyalitas tinggi bila dia telah memiliki banyak kesan dengan PII. Hal ini harus diselesaikan dengan cara mem-Pra-Batra kan kader-kader. Kalau mengharapkan persoalan ini dapat diselesaikan melalui ta’lim, kukira keliru. Sebab, ta’lim bagi peserta yang lemah dalam semangat dan kendur dalam minat hanya membuat kader betah mengikuti ta’lim dua atau tiga kali pertemuan. Sebab itu, kupaksakan agar PII Lhokseumawe dan Aceh Utara punya banyak pemandu.
***
Innovasi yang membuat kader PII Aceh tercengang berawal dari permintaan Teuku Qadarisman, Kabider PII Bireuen, padaku untuk memberikan semacam kajian bagi para kader Pasca Intra anggota Brigade agar mereka dapat memiliki suatu konsep dalam menangani sekitar 30-an anggota Brigade PII Bireuen yang baru saja LBTD pada Ramadhan 2010 di SMP 5 Bireuen. Aku berfikir satu hari untuk menjawab permintaan Risman. Inspirasi melaksanakan kursus yang dapat menciptakan para mu’allim gaul muncul saat dagangan underwear laris manis di Matangglumpangdua: Para mu’allim itu akan menangani anak-anak Brigade yang memiliki karakter berbeda dengan kader-kader PII lain. Meski seorang mu’allim itu harus menonjolkan suri tauladan serta rajin beribadah, sesuai petunjuk kitab keramat kami, ta’dib, namun mereka harus dibungkus dengan baju gaul dan semangat pantang kendur. Sekali lagi, yang akan mereka tangani adalah kader-kader PII yang barusaja lulus LBTD. Para pemateri dalam KM gaul itu adalah Khairil Anwar, Amrizal dan Putra Diansyah. Aku menyukai instruktur-instruktur yang tidak pernah berhenti belajar dan selalu meningkatkan kualitas inteletual mereka. Ini pula yang langka di Aceh. Mungkin inilah alasanku kenapa tidak pernah bisa memandang Supyan “Ali” Suri secara negatif. Minatnya akan ilmu memberi hijab bagi mataku akan tindakan-tindakannya yang negatif. Sama seperti Ali, Amrizal juga dipandang negatif, dengan alasan yang berbeda, oleh beberapa kader PII, sebab mereka tidak memakai cara berfikir: positif-kritis.
Awan terjadinya error dalam KP kami di Subang saat aku membawakan materi yang membicarakan posisi manusia dalam pandanganta’dib serta Ta’dib dalam pendidikan Islam. Saat aku sedikit membuka wacana pada filsafat manusia, peserta terlihat begitu antusias, terutama saat aku mengaitkan kajian manusia denga terori-teori ilmuah modern dan kontemporer. Dalam buku “Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquid Al-Attas”, Wan Muhammad Nur Wan Daun menerangkan bahwa menurut Al-Attas, dari tiga sistem pendidikan Islam—talim, ta’dib dan tarbityah—sistem ta’dib lebih baik sebab dia membentuk adab, moral, etika dan akhlak manusia. Dengan cara itu, adab manusia-manusia akan membentuk kebudayaan. Rasulullah sendiri diutus untuk meluruskan akhlak, adab.
Sistem tarbiyah hanyalah membentuk manusia yang memiliki karakter ketuhanan dan mendekatkan manusia pada pengabdian semata. Hal ini tidak dapat menjadikan manusia sebagai “Khalifatullah” untuk memakmurkan bumi. Amanah memakmurkan bumi membutuhkan kepekaan tingkat tinggi serta memiliki kemampuan formulasi dan pendekatan yang integral dengan realitas yang sedang berlaku. Hal ini bukan berarti menuntut manusia untuk pandai mengakal-akali amanah Allah, melainkan menggunakan akal untuk menerapkan amanah Allah dengan santun dan realistis agar target tercapai. Jalan ini tidak akan membuat manusia menjadi alien, paradoks dan melahirkan penyakit hati serta depresi karena hanya mampu melihat realitas yang semakin bangsat tanpa mampu melakukan suatu kontribusi apapun.
Disamping itu sistem pendidikan Islam: Ta’lim (Bukan “ta’lim” yang merupakan bagian dari sistem kadersasi PII yang tertera dalam buku panduan kaderisasi PII’ “ta’dib”) hanya memberi peran dalam memberi pengetahuan yang sekedar tau saja tanpa memberi kesadaran dan motifasi untuk mengamalkan apa yang diketahui. Islam adalah agama yang mengutamakan pengamalan dari sekedar pengetahuan. Pengetahuan tidak akan mempu membentuk kebudayaan atanpa ada pengamalan.
***
“Mana laporannya” Pertanyaan itu yang selalu keluar dari mulut Musa setiap berjumpa ataupun sekedar papasan denganku. Awalnya kalimat itu membuatku risih. Lama-lama menjadi terbiasa. Kuanggap saja itu sebagai ucapan tegur sapa.
“Kan, maksimal empat belas hari” sanggahku. “Aku akan membuat laporan yang bagus untukmu. Persis seperti sebuah jurnalisme sastrawi. Deskripsi peserta akan kusajikan dengan jelas. Kualitas peserta akan kuuraikan seperti sebuah cerita hingga nilai mereka dapat diberikan langsung oleh yang membaca. Pelatih itu bukan hakim.” Kataku. Meski aku sendiri tidak yakin dengan apa yang baru saja kujanjikan pada Musa, aku memimpikan laporan yang tidak memberi nilai-nilai seperti menghakimi peseerta. Aku merindukan sebuah laporang yang mampu disajikan secara benar-benar deskriptif sehingga setiap pembacanya bisa memberi nilai sendiri pada masing-masing peserta.
***
Kondisi Lokasi
Setelah turun dari bis yang telah mengantarkan kami menempuh waktu lebih satu jam dari stasiun Sadang, kami berjalan kaki, mungkin sampai satu kilometer jarak yang kami tempuh dengan berjalan di tengah gelap gulita. Hanya sesekali kami menemukan cahaya dari teras rumah-rumah warga yang di pinggir jalan. Aku terseok-seok dengan sebuah koper milik Anis, seorang instruktur dari PII Jawa Tengah yang membantu PW PII Jakarta mengelola LBT.
SMK PGRI Subang adalah lokasi yang kami tuju. Tiba di sana kami disambut beberapa orang panitia. Kata Yazid, PD PII Subang haya memikili beberapa orang kader Intra. Lokasi ini sangat kondusif: agak jauh dari pemikiman warga; punya lapangan yang luas hingga peserta dan panitia bisa bermail volley dan basket bila ada waktu luang (meski ada gawang dan lapangan untuk bermain futsal—sialnya kami tak bisa main pertandingan yang Indonesia menjadi juara Asia itu karena bolanya di rung guru dan; ada sebuah masjid kecil di dalam komplek sekolah, jadi kami tidak perlu repot-repot shalat terlalu jauh atau harus menyulap salah satu ruang belajar menjadi mushalla seperti yang sering di lakukan di PII Aceh saat training.
Ruang KP tak terganggu oleh panitia, peserta LBT maupun oleh instruktur. Ruang KP berada di ujung dari seluruh ruangan. Selain tidak terganggu, tempat ini jauh lebih segar sebab udara bebas keluar masuk tanpa hambatan. Meskipun jarak antara ruang tidur peserta dan instruktur dan ruang instruktur agak jauh namun hal ini tak pernah menjadi kendala. Ingat KP Kami lima hari.
Yang agak menjadi kendala adalah rasa tidak enak dengan panitia. Kami rasa, mereka tau kami cuma makan gratis dan memberatkan mereka saja. Padahal awalnya aku mempersiapkan peserta KP dengan materi yang longgar agar bisa membantu kerja panitia. Namun setelah KP dimulai, panitia menolak peserta KP ikut memasak, entah karena takut menghambat jalannya kursus atau karena bibit sentimen itu telah ada. Yang jelas, setelah dua hari KP dimulai, panitia meminta peserta KP menyumbangkan uang guna memenuhi kebutuhan konsumsi. Katanya panitia sedang kesulitan pendanaan. Tapi mungkin tidak ada di antara peserta KP yang membayar, sebab, aku tau, tidak seorangpun di antara mereka yang punya uang lebih dari sekedar ongkos. Bahkan aku dan Yazin tidak punya uang meski seribu rupiahpun. Tumpuan kami adalah Zaki. Kalau Zaki tidak mau bawa pulang kami, mungkin kami berdua harus pulang dengan berjalan kaki ke Jakarta. Untungnya Melly dapat kiriman uang dari saudaranya. Aku dan Yazid diberi masing-masing lima ribu rupiah. Dan untunglah Zaki tidak melupakan kami.
Kondisi Ruangan
Ada beberapa alasan kenapa pelatih atau instruktur harus mengganti-ganti posisi duduk peserta. Pertama karena masalah keaktifan peserta. Kedua, karena kedekatan peserta di mana bila yang lebih akrab duduk berdekatan mereka akan membuat forum di dalam forum. Roker posisi peserta pada KP ini kukira tidak perlu karena semua peserta aktif. Kalaupun ada yang aktifnya di bawah rata-rata, maka itu semata-mata karena sedang sariawan seperti Gugun, atau karena sedang memiliki beban pikiran seperti Pepy sebab seperangkat alat mandinya hilang.
Keberadaan kursi-kursi dan meja-meja di belakang posisi duduk peseta memang agak mengganggu. Namun, kursi-kursi dan meja-meja ini sering dimanfaatkan peserta-peserta wan untuk tidur. Hampir setiap malam peserta wan tidur di ruang belajar. Hampir setiap malam kami semalaman melewatkan malam dengan online, main game dan nonton Holywood. Saya sarankan adegan ini jangan ditiru di KP lain, bila tidak ingin KP-nya sampai lima hari seperti kami..
***
Ahmad Syair
Kawan kawan dapat melihat foto profil fb-nya dengan gambar pemuda kartun pakai kacamata. “Biasanya yang pakai foto profil gambar kartun atau bunga orangnya jelek, tidak PD” kataku pada Syair. “Enggak loh ,Bang. Saya ini ganteng, loh” Sanggahnya sambil memperlihatkan foto-foto profil lainnya. Kulihat salah satu fotonya. Dia memang lumayan (Takmungkin kusebut dia ganteng karena aku sejenis kelamin dengannya. Nanti banyak yang curuga). Foto itu adalah seorang remaja yang berperawakan mirip Cina. Lumayan.
Syair suka menanggapi dengan cepat setiap pertanyaan yang diberikan ataupun menanggapi temannya. Namun kecepatan ini tidak disertai dengan daya analisa yang memadai. Dia juga terlihatgagok dalam berbicara sebab kata-kata yang keluar dari mulutnya terlalu cepat. Mungkin karena lidahnya tak mampu mengimbangi pikirannya yang mengalir tajam.
Romadoni
“Salah satu tujuan saya mengikuti KP ini adalah untuk membangunkan saya dari tidur ini” Spontan saja kalimat yang keluar dari mulut Doni membuat teman-teman tertawa. Dia memang terlalu banyak tidur. Saat meteri berlangsung dia ketiduran. Saat istirahat dia paling cepat tidur. Selesei imam salam kepalanya langsung tertunduk dan tertidur. Aku menduga sel-sel otaknya belum benar-benar aktif. Kira-kira seperti bayi yang butuh banyak tidur. Mungkin!
Melly menggelarinya “Abu Nawm” Dai memiliki banyak kelemahan dalam berbicara. Dia gagok. Aku meragukan kemampuannya mengelola sebuah kursus, apa lagi menjadi pemandu ruangan saat Pra-Batra. Kekurangannya ini terlihat jelas saat dia Kultum. Aku menyarankannya banyak-banyak membaca. Membaca selain dapat menjadi kekuatan untuk menulis, juga memberikan kefasihan lidah dalam berbicara.
Aku heran kenapa di sini peserta LBT tidak diwajibkan kultum oleh Kortim. Setahuku hampir semua training di Aceh pesertanya wajib kultum. Apalagi dengan kondisi yang sangat mendukung seperti ini. Jadi, kuputuskan para peserta KP memberikan kultum secara bergilir pada beberapa hari menjelang training bubar.
Sayangnya Doni terlalu mudah terkena rayuan Melly. Dia bahkan di-per-alat dan dijadikan persis seorang pembantu bagi perempuan itu. Dia senang-senang saja melakukan apa yang diperintahkan Melly. Cinta memang menuntut pengorbanan. Apalagi mendapatkan kesempatan duduk semeja dengan Melly dan sering difoto oleh gadis itu. Kukira kalau lebih sering lagi difoto oleh Melly, dia bahkan akan rela menyerahkan nyawanya untuk PII Wati asal Cianjur itu.
Yazid Qubuddin
Dia memiliki pikiran-pikiran cemerlang dan orisinil. Sayangnya dia terlalu banyak main-main dan menjadi penyebab utama kenapa sebuah KP harus memakan waktu sampai lima hari. Katanya: ”Di Menteng pun mau ngapain, Bang. Makan ’aja terancam”. Kata-katanya itu memang benar. Untunglah ini tidak diutaraka di hadapan orang, kalu tidak bisa malu aku. Kepada kawan-kawannya yang mendesak agar segera saja seluruh materi diselesaikan. Dia menjawab. ”Di rumah, pun mau ngapain’. Tapi kalau alasan ini di sampaikan pada Pepi, perempuan mungil itu akan merengek-rengek dan menjerit lantang ”Pokoknya aku mau pulaaang’ setelah puas menjerit, setelah berulang kali didesak kenapa buru-buru pulang –karena kami khawatir jangan-jangan ibunya masuk rumah sakit atau kakaknya mengalami pendarahan yang membuat dia hendak buru-buru pulang—dia akan bersuara dengan irama yang sangat lembut dan membuat kucing-kucing sedang bunting bersedih ”Di sini boseen” Ah, bosan. Kupikir karena pamannya sedang di ruang ICU akibat kecelakaan lalu-lintas atau ada kepentingan apa yang mendesak. Mendengar itu Yazid menengadahkan wajahnya ke langit, memejamkan mata dan meremas rambutnya seraya berkata ”Alaaah, maak.” Kucing kurapan pencuri tahu-tempe milik panitia yang sedang memasak ikut mengelus kepala. Kalau kucing itu bisa bahasa manusia, aku sangat yakin dia akan berkata sama seperti yang diucapkan Yazid ”Alaaah, maak.”
Di antara mereka semua, Yazid adalah peserta KP yang paling dekat denganku karena dia paling sering datang ke Menteng. Kami sering berbagi online, sharing ide dan gagasan bersama dan bersama menertawakan kegetiran yang kami hadapi. Di lokasi training Subang, kami masih melakukan hal yang sama bersama. Pikiran-pikirannya terlalu banyak dipengaruhi Korpu Brigade PII periode lalu. Katanya hanya dengan revolusi baru kita ’kan mampu menciptakan perubahan. Aku menganggap aneh ide demikian, aku yakin ini adalah buah pikir As’ari atau As’ari dkk. Ide ini sangat tidak realitis. Kondisi masyarakat, politik, dunia global dan sistem negara saat ini benar-benar tidak memberi selah sedikitpun untuk ide ini.
”Rekayasa Sosial” kata Korpus Brigade PII periode-periode lalu. Apanya yang mau di rekayasa: Merekayasa Menteng Raya 58 saja mustahil. Lagi pula begini: Kader yang mau berbuat secara serius untuk Brigade PII adalah mereka yang telah selesai mengikuti LBTD. Mereka belum tersentuh pada kepekaan emisional maupun pemahaman sosiologi. Jadi bagaimanapun ide-ide tentang sosial takkan mampu mereka terima. Kalaupun mereka telah di-Intra-kan sehingga sedikit banyaknya mereka telah mampu memahami persoalan dan memiliki bekal tentang gerakan sosial; namun pasca Intra, komitmen ke-Brigade PII-an akan kendur, sehingga semangat gerakan akan misi-misi Brigade PII tak lagi mereka respon dengan semangat.
Ujang Gugun Gunawan
Tak kusangka dia adiknya Eka Setiawati. Kecantika Eka sama sekali tak mengalir pada adiknya ini, meskipun pemuda ini ganteng dan keren. Dia suka diam saja dan kadang-kadang tersenyum mengamati komentar-komentar temannya. Dia adalah komandan Brigade PII Karawang. Namun belum mengikuti LBTD. Tapi dia teken kontrak untuk ikut LBTD. Ini persis seperti yang dilakukan Ping, Komandan Korda Brigade PII Bireuen. Alhamdulillah Ping telah melaksanakan kewajibannya. Mudah mudahan Gugun juga.
Tinggi, keren dan pendiam. Ini adalah karakter yang disukai cewek-cewek. Aku yakin setiap malam ada beberapa cewek yang merindukannya sekaligus dalam waktu bersamaan. Melihat kawan-kawannya yang sedang alot bertengkat, dia tetap diam dan tenang; sesekali tersenyum. Ini misteris. Kenapa dia tak terpancing untuk merespon topik yang sedang diperbincangkan, padahal sering panas, apalagi Nellya aktor utamanya: Sama sekali tidak memahami, atau tak paham sama-sekali; atau kadang-kadang paham betul dan kadang-kadang tak tahu sama sekali. Tapi yang membuat aku salit padanya adalah kemampuannya yang di atas rata-rata dalam menguasai forum saat dia berpraktik Micro Teaching. Juga sangat dewasa dan berwibawa.
Anto Suryanto
Gerak. Kehidupan ada karena gerak. Mata berfungsi: melihat, karena ada gerak. Aku yakin bila unsur-unsur atom dari setiap benda tidak bergerak, tidak akan mampu mata-mata melihat sesuatu apapu.
Mereka yang pesimis dan putus asa dalam hidup adalah orang yang malas bergerak. Allah SWT hanya menyuruh kita bergerak, lalu rezeki kita Dialah yang mengaturnya. ”Selesai shalat, maka bertebaranlah di muka bumi mencari karunia Allah SWT.” Itu adalah perintan untuk bergerak.
Demikianlah inspirasi kudapat dari kuliah yang hanya disampaikan Anto selama tujuh menit dihadapan jamaah shalat fardu Isya: Kuliah Tujuh Menit!.
Tipikalnya pendiam. Dia rajin membaca. Diamnya ini tidak lantas membuatnya kikuk maupun kaku dalam membawa materi. Seperti yang telihat saat Micro Teaching, Ketum PD PII Karawang ini begitu bersemangat dalam menyampaikan materi. Penguasaan materi dibarengi dengan keahliannya menguasai suasana ruangan. Sempurna. Inilah tanggapan yang dapat kuberikan pada pemuda tinggi, tegap berkulit cokelat ini. Kalau boleh memilih satu peserta KP terbaik, maka dialah orangnya. Dan aku berhak untuk itu.
Pepi Oktaviani
“Puulaaang. Aku mau pulaaaang.” Inilah kalimat yang selalu keluar dari mulut siswi SMA kelas XII ini. Bila sedang istirahat atau waktu luang untuk mengerjakan tugas-tugas, dia selalu menjerit dan terkadang kalau sudah lelah menjerit, dia berbisik pelan: “Puulaaang. Aku mau pulaaaang.” Seruan lembut penuh pilu itu akan membuat tikus-tikus di selokan berhenti bekerja, tertegun sebentar, lalu mengucurkaan air mata dan kemudian kembali mengais sampah untuk makan malam.
Sulit bagiku menemukan minat dan keahlian yang dimiliki PII Wati berkulit putih dan mungil ini. Hingga suatu hari aku memintanya membacakan puisi-puisiku di catatan fb. Dia begitu menghayati pekerjaannya ini. Totalitas dalam mengekspresikan untaian kata dalam sebuah puisi. Intonasi yang berirama luar biasa dipadukannya dengan gerak tubuh yang sempurna.
Kalau Melly sedang ngos-ngosan menyampaikan pemikiran filsafatnya, Pepi hanya mampu melongoh, melotot matanya namun teduh, membuka mulut lebar-lebar dan setelah Nelly selesai ”mengoceh”, selalu Pepi bertanya dengan nada minta dikasihani pada Melly ”Apa, Kak? Aku ’gak ’ngerti.”
Dua orang Wati di ruangan kami ini benar-benar bertolak belakang satu sama lain: yang satu terlalu logika-logikaan dan gila filsafat, satunya lagi berlebihan menggemari sastra terutama puisi hingga terserap ke dalamnya.
Melly M Azizah
Kehadiran Melly mengingatkanku pada pepatah; “Bila engkau tertawa, maka dunia akan tertawa bersamamu. Dan bila kau menangis, maka engkau sendiri”. Sebab itu Melly memilih untuk menjadi pribadi yang senantiasa ceria. Keceriannya ini mampu menghipnotis teman-temannya yang lain hingga membuat mereka selalu senang. Karenanya Subang selalu senang.
***
Kondisi Lokasi
Setelah urun dari bis yang telah mengantarkan kami menempuh waktu lebih satu jam dari stasiun Sadang, kami berjalan kaki, mungkin sampai satu kilometer jarak yang kami tempuh dengan berjalan di tengah gelap gulita. Hanya sesekali kami menemukan cahaya dari teras rumah-rumah warga yang di pinggir jalan. Aku terseok-seok dengan sebuah koper milik Anis, seorang instruktur dari PII Jawa Tengah yang membantu PW PII Jakarta mengelola LBT.
SMK PGRI Subang adalah lokasi yang kami tuju. Tiba di sana kami disambut beberapa orang panitia. Kata Yazid, PD PII Subang haya memikili beberapa orang kader Intra. Lokasi ini sangat kondusif: agak jauh dari pemikiman warga; punya lapangan yang luas hingga peserta dan panitia bisa bermail volley dan basket bila ada waktu luang (meski ada gawang dan lapangan untuk bermain futsal—sialnya kami tak bisa main pertandingan yang Indonesia menjadi juara Asia itu karena bolanya di rung guru dan; ada sebuah masjid kecil di dalam komplek sekolah, jadi kami tidak perlu repot-repot shalat terlalu jauh atau harus menyulap salah satu ruang belajar menjadi mushalla seperti yang sering di lakukan di PII Aceh saat training.
Ruang KP tak terganggu oleh panitia, peserta LBT maupun oleh instruktur. Ruang KP berada di ujung dari seluruh ruangan. Selain tidak terganggu, tempat ini jauh lebih segar sebab udara bebas keluar masuk tanpa hambatan. Meskipun jarak antara ruang tidur peserta dan instruktur dan ruang instruktur agak jauh namun hal ini tak pernah menjadi kendala. Ingat KP Kami lima hari.
Yang agak menjadi kendala adalah rasa tidak enak dengan panitia. Kami rasa, mereka tau kami cuma makan gratis dan memberatkan mereka saja. Padahal awalnya aku mempersiapkan peserta KP dengan materi yang longgar agar bisa membantu kerja panitia. Namun setelah KP dimulai, panitia menolak peserta KP ikut memasak, entah karena takut menghambat jalannya kursus atau karena bibit sentimen itu telah ada. Yang jelas, setelah dua hari KP dimulai, panitia meminta peserta KP menyumbangkan uang guna memenuhi kebutuhan konsumsi. Katanya panitia sedang kesulitan pendanaan. Tapi mungkin tidak ada di antara peserta KP yang membayar, sebab, aku tau, tidak seorangpun di antara mereka yang punya uang lebih dari sekedar ongkos. Bahkan aku dan Yazin tidak punya uang meski seribu rupiahpun. Tumpuan kami adalah Zaki. Kalau Zaki tidak mau bawa pulang kami, mungkin kami berdua harus pulang dengan berjalan kaki ke Jakarta. Untungnya Melly dapat kiriman uang dari saudaranya. Aku dan Yazid diberi masing-masing lima ribu rupiah. Dan untunglah Zaki tidak melupakan kami.
Kondisi Ruangan
Ada beberapa alasan kenapa pelatih atau instruktur harus mengganti-ganti posisi duduk peserta. Pertama karena masalah keaktifan peserta. Kedua, karena kedekatan peserta di mana bila yang lebih akrab duduk berdekatan mereka akan membuat forum di dalam forum. Roker posisi peserta pada KP ini kukira tidak perlu karena semua peserta aktif. Kalaupun ada yang aktifnya di bawah rata-rata, maka itu semata-mata karena sedang sariawan seperti Gugun, atau karena sedang memiliki beban pikiran seperti Pepy sebab seperangkat alat mandinya hilang.
Keberadaan kursi-kursi dan meja-meja di belakang posisi duduk peseta memang agak mengganggu. Namun, kursi-kursi dan meja-meja ini sering dimanfaatkan peserta-peserta wan untuk tidur. Hampir setiap malam peserta wan tidur di ruang belajar. Hampir setiap malam kami semalaman melewatkan malam dengan online, main game dan nonton Holywood. Saya sarankan adegan ini jangan ditiru di KP lain, bila tidak ingin KP-nya sampai lima hari seperti kami.
Sajaan
‘A‘uzubillaahiminas-syataanirrajiim.
Bismillaahirrahmaanirrahiiim.
Alhamdulillaahirabbil-‘alamin:
Hamdayyu-‘afini-‘amaahu wayukaafii-u-maadzidah.
Yaa Rabbana la-Ka-lhamdu kamaa yan baghi lilalaali wdzihikal kariimi wa ‘adzimi-sulthalik.
Allahumma-shalli ala Muhammad wa ‘ala aalihi wa ashabihi ajma’in.
Long mohon ya Allah: Neibri beu jioh kamoe dari bala; beujioh dari musibah; beu jioh kamoe dari bahaya; beu jioh kamoe dari beuncana: beu jioh kamoe dari maksit: beu jioh kamoe dari penyakeet.
Long mohon yaa Allah: neubri beutrang atee long; beubeureukat ileumee long; beu seulamat iman kamoe. Neubri beu matee kamoe dalam keuadaan beuriman keupada Droen deungan mengucapkan syaahadaat: “Asyhadu allaa ilaha illal-Lah wa asyhadu anna Muhammadar-Rasuulullah” pada sakaratul maut.
Long mohon yaa Allah: Neubri beu jeut lubang kubu kamoe seubagai salah satu lupang dari lubang syuruga. Neubri bek jeut lubang kubu kamoe seubagai salah satu lubang dari lubang neuraka, yaa Allah!
Long mohon ya Allah: Neubri beujioh kamoe dari azeub dan siksa kubur.
Long mohon ya Allah: Neupeu bangket kamoe deungan beuntuk, rupa beujroh: nyang ceudah; nyang mulia, yaa Allah!
Neubri yaa Allah beudiruy kamoe bak Padang Mahsyar, yaa Allah!
Long mohon ya Allah: Neuteurimoeng seugala amal ibadah kamoe.
Long mohon ya Allah: Neupeu ampoon seugala dosa dan keusaalahaan kamoe yaa Allah.
Yaa Allah, yaa Rabbal ‘alaamin.
Long mohon ya Allah; Neubri beumudah kamoe meulewati titi Shiratal mustaqim: Beutroh saajan para nabi, ulama, uwliya seurtaa syuhada, yaa Allah.
Long mohon ya Allah: Neupeu ampoon seugala dousa dan keusalahan Ayah long, yaa Allah.
Neubri beu jioh Ayah long dari azeub dan siksa kubur: Neupeusandeng ayah long sajaan para nabi, ulama, uwliya seurtaa syuhada, yaa Allah.
Yaa Allah: Neupeu ampoon seugala dousa dan keusalahan Ayah long, yaa Allah.
Neubri beu jioh Ayah long dari azeub dan siksa kubur: Neupeusandeng ayah long sajaan para nabi, ulama, uwliya seurtaa syuhada.
Long mohon yaa Allah: yaa Rahman, Yaa Rahim, Yaa Ghafuur: Neupeu ampoon seugala dousa dan keusalahan Ayah long, yaa Allah. Neubri beu jioh Ayah long dari azeub dan siksa kubur: Neupeusandeng ayah long sajaan para nabi, ulama, uwliya seurtaa syuhada, yaa Allah.
Rabbanaa hablana min azwaajina wazurriyztina qurrata’ayun. Waj’alna lil muttaqiina imaama.
Rabbana laa Tuziq-quluubaana ba’da iz hadaytana: Wahab laana min ladunka rahmatan Inna-Kaa Antal Wahhab.
Rabbanaa aatinaa fiddunya hasanah, wafil akhirati hasana: Waqiinaa ‘azaabannaar.
Subhanakallahumma tahiyyatu fii haa salaam: Wa akhiruu da’wahum:
Walhamdulillahii Rabbil ‘alaamin.
Ie Bu
Dimulai dari umur beberapa tahun, setiap kali Mak memasak, aku dan kakak selalu tidak mau jau dari kompor. Kami berdua menunggu ibu menyajikan air nasi yang sedang dimasak. Air itu adalah air lebih setelah nasi mendidih. Bila takaran air berlebihan setelah mendidih nasi akan menjadi bubur. Bila takaran air kurang, nasi akan keras. Mak selalu memiliki air lebih setelah nasi mendidih. Air lebih itulah yang disuguhkan Mak buat kami. Air itu kami sebut “ie bu”. Air itu diberi sedikit gula lalu disediakan Mak di dalam gelas.
Saat mulai sekolah di MIN Peusangan, aku menemukan dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia bahwa “mak” dalam bahasa Indonesia artinya ‘ibu’. Pronounciation-nya sama persis “ie bu” yang sering disuguhkan Mak untuk kami. Saat itu aku yakin sebab sebutan untuk “mak’ dalam bahasa Indonesia: “Ibu” karena semua ibu menyuguhkan ie bu untuk anaknya: persis seperti yang dilakukan Mak untuk kami setiap Beliau memasak nasi. Sebelum sekolah aku mengira hanya Mak saja yang menyuguhkan ie bu untuk anak-anaknya. Tapi setelah sekolah dan mengetahui sebutan untuk Mak dalam bahasa Indonesia adalah “ibu”, aku yakin semua ibu di dunia menyuguhkan ie bu untuk anak-anaknya.
Ie bu rasanya sangat manis meski hanya sedikit saja diberi gula. Leumak (saya tidak tau artinya dalam bahasa Indonesia) sangat. Mengenang Mak saat Di Menteng, aku mecoba menghibur diri dengan mencoba menyisakan sedikit air beras yang sedang kumasak ke dalam sebuah gelas. Lalu kuberi sedikit gula, persis takaran Mak ke dalam ie bu kami dulu. Tapi rasanya nya hambar, tawar. Aku mengira rasanya begini karena berasnya kurang bagus. Aku mencoba saat beras ganti merek. Rasanya tetap sama. Berbagai merek beras diganti: rasanya tidak berubah sama-sekali. Aku berfikir kenapa air beras buatanku sendiri tidak enak, sangat tidak enak. Sangat berbeda dengan rasa ie bu yang disuguhkan Mak dulu. Aku kecewa karena tidak bisa mengobati kerinduan pada Mak melalui air berasbuatanku itu. Aku memejamkan mata, membayangkan aku dan kakak sedang di dekat kompor menantiie bu. Tidak lama kemudian Mak memberikan kami masing-masing yang disuguhkan di dalam gelas ie bu. Di Menteng aku membayangkan saat minum ie bu butatan Mak dulu, puluhan tahun yang lalu. Tiba-tiba lidah dan semua isi dalam mulutku merasakan rasa yang puluhan tahun lalu sering kurasakan saatie bu sedang kuseruput bersama kakak di depan Mak. Allah! Nikmat tiada tara.
Aku memang merasakan cinta Mak dalam jantungku, dalam hatiku, dalam darahku mengalir, dalam tidur dan di setiap tarikan nafasku. Namun dalam ie bu aku menemukan cinta itu dalam bentuk cita rasa dengan kental. Rindu, sayang, kasih dan segenap perasan-perasaan indah Mak tumpah ruah, larut, tercampur dalam ie bu di dalam gelasku. Bagiku, ie bu adalah cinta di dalam gelas.
Mimpi Metromini
Tadi malam aku tertidur di sofa ruang tamu sekretariat PB PII. Tak membaca ayat-ayat pendek dan bahkan basmalahpun absen dari mulitku, aku tertidur tanpa sengaja saat sedang menulis. Nokia 9300-ku perlahan merosot seiring geggaman yang perlahan melemah dan terjatuh pelan ke atas badan.
Aku bermimpi dua kejadian: pertama Metromini dan kedua teh botol Sosro:
Aku sedang berada di balik sebuah halte Busway. Kota Jakarta gelap dan hanya diterangi lampu-lampu jalan yang cahayanya tak seberapa. Di jalanan orang-orang tumpah-ruah karena kantor-kantor baru saja memulangkan karyawannya.
Seperti rekaman video yang dipercepat lalu diputar pada momen tertentu, tiba-tiba aku telah melihat sebuah Metromini sedang dikerumuni warga. Sopirnya sedang berdua dengan salah seorang Polisi Lalulintas. Polisi-Polisi lain dan warga sedang mengangkut mayat-mayat. Salahsatu mayat sedang dicoba lepaskan dari himpitan ban Metromini. Pria malang itu kira-kira berumur antara 35-
Tadi malam aku tertidur di sofa ruang tamu sekretariat PB PII. Tak membaca ayat-ayat pendek dan bahkan basmalahpun absen dari mulitku, aku tertidur tanpa sengaja saat sedang menulis. Nokia 9300-ku perlahan merosot seiring geggaman yang perlahan melemah dan terjatuh pelan ke atas badan.
Aku bermimpi dua kejadian: pertama Metromini dan kedua teh botol Sosro:
Aku sedang berada di balik sebuah halte Busway. Kota Jakarta gelap dan hanya diterangi lampu-lampu jalan yang cahayanya tak seberapa. Di jalanan orang-orang tumpah-ruah karena kantor-kantor baru saja memulangkan karyawannya.
Seperti rekaman video yang dipercepat lalu diputar pada momen tertentu, tiba-tiba aku telah melihat sebuah Metromini sedang dikerumuni warga. Sopirnya sedang berdua dengan salah seorang Polisi Lalulintas. Polisi-Polisi lain dan warga sedang mengangkut mayat-mayat. Salahsatu mayat sedang dicoba lepaskan dari himpitan ban Metromini. Pria malang itu kira-kira berumur antara 35-40 tahun. Kumisnya tebal dan mengenakan kemeja putih bergaris-garis kotak warna hitam berpadu celana katun warna coklat. Setelah mayat itu, Polisi dan warga memboyongnya seperti tukuang potong ayam di pasar menjinjing ayam potong yang baru saja disembelih.
Ada dua alasan seingatku kenapa orang mengangkat mayat seperti itu, pertama karena mereka tidak punya otak dan yang kedua karena mayatnya terlalu banyak sehingga mereka kerepotan. Langsung saja aku melihat sekeliling karena yakin alasan pertama tidak benar. Ternyata yang mamang benar mayatnya terlalu banyak. Aku melihat beberapa mayat lagi yang masih tergeletak di pinggiran jalan dan trotoar belum sempat di pindahkan. Aku juga melihat mereka yang menderita luka sedang ditolong orang-orang yang terhindar dari bencana yang baru saja terjadi.
Mayat pria malang yang tergencet ban metromini tadi ditumpuk bersama mayat-mayat lain di lantai halte Busway. Dicampakkan begitu saja dan mereka bersegera "mengutip" mayat-mayat lain yang masih berserakan.
Karena adegan (momennya) di percepat pada momen tertentu, aku tidak tau penyabab bencana dahsyat ini. Karena ini mimpi, aku melakukan "foreware" untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Ternyata sebuah Metromini yang ugal-ugalan telah menyapu para penyeberang jalan dan para penunggu bis di pinggir jalan. Kuperkirakan supirnya mabuk dan mengantuk.
Lalu tiba-tiba di hadapanku diperlihatkan data-data jumlah korban akibat terttabrak metromini (dan angkutan bis lainnya). Jumlahnya pertahun (?) mencapai piluhan ribu orang. Dan rata-rata dalam setiap sepulih menit (?) terdapat satu kasus.
Beberapa waktu kemudian, aku tidak tahu persis karena masih dalam keadaan tidur, aku melihat penjualan Teh Botol Sosro meningkat tajam. Aku melihat para pengecer dari agen resmi yang berkaus "Sosro" sedang sibuk mengangku dan merapikan botol-botol di sebuah warung.
Lalu aku berfikir (mungkin ini saat dalam keadaan antara tidur dan terjaga) esok akan menulis sebuah tulisan untuk mengajak masyarakat tidak berbelanja di supermarket. Bukankah berbelanja di supermarket hanya untuk menimbun dataran tinggi, memperkaya orang yang telah kaya dan tidak kita kenal (pemilik supermarket). Bukankah berbelanja di warung dekat rumah samadengan ikut membantu perekonomian tetangga kita meskipun harga di warung lebih mahal Rp.10,- atau Rp.20- Rupiah. Duh, kapitalisme telah membunuh masyarakat kecil Rp.10,- atau Rp.20,- Rupiah. Dan kita, dengan memilih ke super market telah menyambung nyawa tetangga kita hanya dengan merelakan Rp.10,- atau Rp. 20,-.
Penderitaan yang dialami saudara kita pedagang warung sangat kompleks. Bahkan mereka terpaksa harus menghutangkan barang dagangan mereka yang tak seperapa jumlahnya agar pelanggannya tak hilang semua.
Saya melihat bila orang berhutang di sebuah warung, dia memilih membeli di warung lain. Mungkin alasannya untuk menimbulkan kesan pada pemilik warung tempat dia berhutang bahwa dia belum punya uang dan tidak berbelanja. Hal ini memperparah kondisi warung milik tetangga kita. Jumlah yang dihutangkannya pada anda lebih banyak daripada keuntungannya. Artinya modal usahanya semakin kecil. Sehingga perputaran uangnya semakin lambat. Kasihan mereka! Kepada pemilik warung saya sarankan: usahakan sebisa mungkin tidak memperhutangkan. Kepada pelanggan saya mohon sebisa mungkin tidak berhutang.
Saat selesai shalat dhuha di Masjid Yakpi yang bangunannya berarsitektur mirip gereja itu, aku kembalii ke sekretariat PB PII. Dalam perjalanan, di sebuah depan sebuah warung disinggahi sebuah mobil pengecer Teh Botol Sosro. Aku teringat mimpiku tadi malam tentang Teh Botol Sosro. Ah, ini hanya kebetulan saja, pikirku.
Sebelum masuk ke sektetariat PB PII aku menyempatkan diri singgah ke sekretariat PW GPI Jakarta. Sambilan, aku membuka halaman-halaman koran Tempo edisi hari ini. Aku membacanya sepintas lalu: membaca judul-judul dan lihat-lihat gambar-gambar doang.
Namun betapa terkejutnya aku, pada halaman C1 terpampang gambar seorang Polisi Lalulintas sedang memeriksa kelengkapan surat-surat kendaraan seorang supir Metromini. Beritannya adalah mengenai rencana polisi yang akan menindak tegas supir Metromini yang ugal-ugalan dan beberapa informasi kecelakaan akibat ulah supir Metromini yang ugal-ugalan.
Suatu kesan yang kita lihat siang harinya dan menyusup ke dalam memori otak--sadar maupun tidaknya kita--lalu menampakkan dirinya saat sedang tidur itulah mimpi.
Setiap hari memang aku melihat seorang pria sibuk mengangkut botol-botol teh kemasan botol. Dia menjadikan sebuah teras yang tidak jauh dari depan sekretariat PB PII sebagai "gudang" botol-botol itu.
Mungkin kasan inilah yang menyusup ke otakku dan jadi mimpi tadi malam. Namun pria itu tidak pernah mengenakan seragam resmi perusahaan teh tertentu. Mobilnyapun adalah pick-up biasa.
Mengenai mimpi Metromini, jelas karena kemarin hampir seharian aku berkendaraan Kopami, Kopaja dan Metromini. Memang benar angkutan bis ini suka ugal ugalan. Seperti Kopami yang mengantarku dari Senen ke Roxy kemarin sore. Supirnya terlalu nekat mendalului kendaraan apapun kalau sedikit saja ada celah. Dia tidak peduli dengan arus jalan yang macet. Dia juga berani melakukan itu di dadapan Polisi yang sedang bertugas ditengah jalan. Mereka pandai memancing emosi polisi yang sedang kepanasan dan kelelahan?
Aku coba menemukan alasan-alasan kenapa supir bis kota sejenis Metromini itu suka ugal ugalan. Pertama, karena yang dikendarai bukan mobil sendiri. Jadi supir tidak terlalu ambil pusing kalau mobilnya rusak, reot dan lecet. "Matee koen aneuk, ruggo koen atra" kata petatah Aceh, (Mati bukan anak[nya], rugi[pun] bukan harta[nya] [sendiri])".
Kedua, karena kebanyakan supirnya muda-muda. Anak muda cenderung kurang memikirkan resiko yang akan muncul dari tindakan yang dilakukannya daripada orang tua yang penuh pertimbangan. Ketiga, alasan klasik, yaitu kejar setoran. Keempat, alasan ini masih bersifat subjektif, yaitu supir-supir yang suka minum alkohol.
Melihat angkutan-angkutan ini jauh-dekat bayar Rp.2.000,- aku menduga pecahan uang dengan nominal Rp.2.000,- dibuat karena angkutan ini. Ups, aku bilang, 'kan ini dugaan. Hihihi.
Jauh di Hati Dekat di Jemuran
Secara keseluruhan aura kecantikannya menunjukkan dia adalah orang Sunda. Inner beautynya menampilkan aura Minang yang membuat hati teduh. Seputaran mata dan sinar bola matanya mengabarkan dia orang Aceh.Manis bibirnya, apalagi saat dia tersenyum mengingatkanku pada seorang gadis Jawa yang luarbiasa membakar seluruh isi batok kepalaku.
Sore-sore aku suka duduk-duduk di serambi asrama PI Wati. Bukan ingin menunggui gadis-gadis PII yang jelek-jelek, namun aku ingin memandangi, atau lebih tepatnya curi-curi pandang perempuan bermata Aceh dan berbibir Jawa itu. Dia suka duduk-duduk manis bersama ibu-ibu penghuni Mentra 58 di depan Masjid yang berdiri tegak mirip bangunan gereja. Kalau dia sedang lewat di depan asrama PII Wati, aku suka tertegun persis pemain sepak bola yang sedang mengheningkan cipta. Saat itulah mataku semakin tajam mengamatinya. Sambil mataku tajam, hatiku melakukan "tugas sucinya": menimbang-nimbang rasa. Aduhai manisnya dia. Aduhai. Ingin aku "mencicipinya." Astaughfirullah Al'adhim. Tapi aku benar menyukainya. Mungkin aku mencintainya. Tapi ini cinta terlarang, benar-benar terlarang. Bagaimana tidak, dia sedang hamil tua! Lagi pula itu adalah hamil yang kedua. Anak Sulungnya perempuan. Usianya kira-kira tiga tahun. Suaminya lebih jelek dariku. Aku ingin dekat dengannya. tapi mustahil.
Suatu sore setelah mandi dan menjemur pakaian di tempat jemuran umum warga Mentra 58, aku duduk-duduk di tempat biasa, serambi Asrama PII wati. Beberapa saat kemudian dia, si cantik itu, si mata Aceh dan bibir Jawa itu datang menghampiri jemuran. Lalu dia menjemur beberapa pakaiannya dekat pakaian yang baru kujemur tadi. Aku terus menikmati pesona kecantikannya. Dia terlihat sangat cantik saat menjemur pakaian. Untuk kesekian kalinya, Kawan, kukatatan padamu: Aku ingin memilikinya; aku ingin selalu dekat dengannya. Saat dia menghilang dari hadapanku, aku terus memandangi jemuran-jemuran itu. Tiba -tiba aku tersadar akan sesuatu. Aku sadar bahwa meski mustahil aku memilikinya dan mustahil pula aku dekat dengannya, aku sadar bahwa meski badan kami selalu berpisah, namun pakaian kami selalu dekat. Aku dan dia suka menjemur pakaian di tempat yang sama. Jadi setiap hari pakaian kami berdekatan. Bahkan, CD-ku pun selalu sering sangat bedekatan, atau bahkan sampai-sampai kadang-kadang punyaku itu dan punyanya berdempeten dan saling himpit-himpitan. Semua memaklumi alasannya karena semua tau kondisi hidup orang miskin di Jakarta: Jangankan untuk menjemur pakaian, untuk memakamkan orang yang paling dicintai-pun tidak ada tempat.
Sambil terkesima memandang jemuranku dan jemurannya, aku berkata tanpa sadar, pelan, hanya angin, aku, Tuhan dan janin dalam perutnya yang mendengar: "Sayang, meski raga kita selalu berjauhan, namun pakaian kita selalu dekat." Meskipun pakaian kami selalu dekat, tapi aku tidak boleh bermain hati dengan istri orang yang telah hamil tua. Meskipun aku mau! Hatiku dan hatinya harus jauh. Tak apalah, jauh di hati dekat di jemuran.
Tiba-tiba kudengar suara cemburu bercampur marah mencercaku: "Kurang ajar, awas kau. Tunggu aku di situ, di Bumi itu, sebentar lagi." Saat kutahu suara itu berasal dari dalam perut wanita jemuran pujaan hatiku itu, aku tertawa dalam hati. Hatiku berkata setelah tertawa: Ah, empat bulan yang lalu waktu aku tiba di Mentra 58, kukira usia kandungannya sembilan bulan. Namun kini ukuran perutnya masih sama seperti dulu: Dia belum melahirkan. Aku jadi bingung dan menduga-duga usia janin orang. Astaughfirullah.
Menikah?
"Melihat akhwat-akhwat di Islamic Book Fair, tak tahan lagi awak rasanya.
Ingin segera cepat-cepat menikah." kata Kawan I.
"Karena itulah saya membeli buku 'Jangan Takut menikah di Usia Muda'" sambut Kawan II.
"Tak tau kau hakikat menikah? Jelakan Abu, kata Kawan III.
"Kau lihat bintang-bintang yang indah bila malam cerah?" kataku "bila menikah kau harus segera tidur."Bukankah langit yang dipenuhi cahaya bintang akan selalu memenambah pengetahuan dan pemahaman kita dengan segala sesuatu yang baru dan semakin baik.Aku juga berfikir: Tahajjud akan sangat sangat berat."Kalau kau menikah karena persoalan 'kemaluan', kau akan berpisah karena urusan 'begituan'" aku sekedar memperingatkan, Kawan.
Every Goalkeeper a Prince
Kalau Kawan menyebutnya ini membanggakan diri atau adalah sebuah kesombongan, itu hakmu. Tapi maksudku bukan begitu. Namun bila engkau masih berkeras dengan keyakinanmu, ketahuilah dalam setiap setiap keburukan ada pelajaran berharga. Kalau Fir'aun menulis sendiri biografinya, kujamin akan Bestseller. Bukan karena banyak orang ingin belajar untuk sombong, namun belajar untuk menghindarinya. Suatu pagi sabtu aku dan teman-teman bergairah ke Monas untuk bermain futsal. Trinsprirasi Goenawan Mohamad dalam salah-satu Catatan Kaki Tempo-nya, aku memilih berposisi sebagai goalkeeper. Apa baiknya kukabari juga padamu apa yang dibilang Goenawan?
Begini, Kawan. Kalau pergulatan kehidupan ini adalah sebuah pertandingan sepak bola, maka posisi sebagai goalkeeper adalah pilihan yang terbaik. Dia jauh dari yang lain, jauh dibelakang sana, di bawah mistar. Namun dia adalah bagian terpenting diri tim. Dia bisa mengamati jalannya pertandingan dengan sangat rinci. Meski bisa berposisi sebagai pengamat, dia bukanlah bagian dari yang pasif dan hanya bisa menonton. Goalkeeper, pada saat tertentu, adalah penentu utama, pada saat kegetiran, pada saat serangan lawan mendekati puncak.Dalam dinamika kehidupan, posisi goalkeeper ini bagiku adalah seorang akademisi. Mungkin Goenawan bermaksud posisi ini adalah wartawan. Memang benar karena profesinya adalah itu. Atau mungkin maksudnya adalah sastrawan yang melalui kritik sastranya dia mampu menjadi pengamat mendalam dan yang paling harus dipatuhi pada saat tertentu persis seperti tunduknya para pemain pada goalkeeper pada saat eksekusi bola mati oleh lawan dan tendangan penjuru. Tapi sastrawan tidak dipatuhi. Akademisi dipatuhi.
Mungkin juga, seorang mata-mata paling tepat sebagai analogi ini. Tapi tidak juga, mereka hanya sangat pasif persis seorang pengamat sepak bala ataupun pencari bakat yang memata-matai keahlian seorang pemain. Ah, tidak ada yang lebih pantas untuk menganalogikan goalkeeper ini selain akademisi. Aku merujuk pada ketangkasan Amien Rais dalam memperjuangkan reformasi. Sastrawan mungkin punya daya amat yang baik, tapi mereka kurang berarti saat eksekusi. Akademisi selain mampu mengamati dengan teliti juga bisa berfungsi sebagai inspirator bagi para pemain. Pada saat-saat tertentu, bila telah sangat mendesak, karena dia mampu, dia mengambil peran fital: sebagai penentu. Setidaknya nama-nama berikut dapat dijadikan contah akademisi-akademisi yang terjun kedua praktis ketika dunia itu telah sangat riskan: Habibie, Jimly Assidiqie, Boediono dll. Pada sabtu pagi dalam pertandingan futsal kami di Monas, awalnya aku berposisi sebagai goalkeeper. Menurut kawan aku sangat tangguh; menurut lawan aku bekerja dengan baik. Aku memblok penalty dan puluhan tendangan. Aku melakukan hampir seratus penyelamatan. Kami memenangkan dua gol. Saat bola pelan sekali dialirkan kawan padaku: terlepas. 2-1 bertahan hingga jeda.
Babak kedua aku memilih manjadi pemain tengah. Aku menginspirasi tim. Pada babak pertama kulihat timku punya skil yang luarbiasa tapi hanya mampu mencetak dua gol. Ada sesuatu yang kurang: semangat. Aku ikut menyumbang satu gol melalui tendangan penalty. Hingga setelah menang 7-1, aku menjadi goalkeeper lagi. Jimly juga kembali ke kampus setelah berhasil menginspirasikan konstitusionalisasi konstitusi Indonesia. Aku kebobolan tiga gol lagi. Lebih tepatnya sengaja kebobolan. Berkat sisa-sisa semangat yang kuberikan tadi sebagai pemain tengah, tim kami berhasil menambah dua gol. Skor akhir 9-4.
Gerimis perlahan berubah menjadi hujan. Aku masih terus tertawa melihat teman-teman bermain. Jangankan mengontrol bola, mengontrol diri sendiri saja, mereka sangat kesulitan. Sepanjang pertandingan, kucatat kasus terpelaset ada seribu. Terpelaset yang lucu dan unik ada tiga ratus. Yang membuatku tertawa sampai guling-guling ada seratus. Aku kelelahan karena tertawa, bukan karena bermain. Bermain futsal di atas semen licin saat hujan turun dengan hampir semua pemain berkaki ayam akan membuat anda terhibur karena pemain-pemain yang terpeleset, bukan karena permainannya. Posisi goalkeeper sangat penting, makanya semua nomor punggung "1" milik goalkeeper. Posisinya juga istimewa. Saking istimewanya seorang goalkeeper, aku menganggap setiap goalkeeper adalah pangeran. Namun pada pagi sabtu, aku memilih menjadi goalkeeper lebih karena ingin membuktikan apa yang di tuliskan Goenawan daripada karena istimewanya perannya dan karena aku pernah menjadi goalkeeper andalan Pesantren Modern Al-kautsar Al-Akbar dan STM Teladan. Dan Goenawan benar.
My 25th Birthday
Saat umurku memasuki 18 ketika itulah aku mulai gemar membaca. Berbarengan dengan itu aku juga mulai keranjingan menulis. Aku menulis pada buku tulis biasa saja. Aku menulis apa saja; apa saja yang terfikirkan olehku, apa saja yang terlintas di dalam pikiran dan apa saja yang teringat setelah membaca buku.
Setelah mengikuti Advance Training PII, kami mengikuti Ta'lim 'Ali seminggu sekali. Poin-poin penting dari kajian kami pada ta'lim itu aku catat pada sebuah buku. Lalu aku memberanikan diri untuk sering memakai komputer PW PII. Aku mengembangkan poin-poin ta'lim tadi menjadi tulisan-tulisan yang panjang. Beberapa dari tulisan itu kukumpulkan bersama tulisan-tulisan lainnya di komputer lalu kususun menjadi sebuah buku.
Buku itu kuberi judul Islam Bukan Teroris. Semua tulisan itu kuselesaikan selama setahun. Kalau tidak salah terhitung dari setelah Mai 2OO5 hingga kuberi kata pengantar tepat malam ulang tahunku ke-2O dan kuterbitkan keesokan harinya.
Buku itu hanya kusebarkan pada kalangan kader-kader PII se Aceh saja. Belakangan setelah menetap di Jakarta timbul keinginan untuk menerbitkan kembali edisi keduanya.
Maka kukoreksi kembali ejaan-ejaan yang salah pada edisi pertama. Keinginan untuk dipublikasi kembali bertepatan ulang tahuku ke 25 semoga berjalan lancar meski dengan modal finansial yang sangat terbatas.
Rencananya edisi kedua buku pertamaku itu ingin kuluncurkan bersama tiga buku lainnya yaitu Nikmati Malammu yang Seksi, Garudaku Tangguh, dan yang ada di tangan Anda Ini, Nuklir untuk Cinta. Ketiga buku itu kutulis selama setahun. Rencananya tiga buku terakhir itu ingin kuterbutkan dalam satu buku saja, namun kukira itu mustahil karena buku Garudaku Tangguh memerlukan banyak referensi meski aku hanya dapat mencamtumkannya secara tidak terlalu mendetail. Sementara Nikmati Malammu yang Seksi adalah kumpulan puisi dan buku ini adalah kumpulan cerita sehingga dianya sama-sekali tidak perlu dumasukkan bersama buku-buku yang ada pada rak buku ilmiah Anda.
Aku bersyukur pada Allah karena dengan umurku yang seperempat abad ini telah menyelesaikan empat buku.
Sebenarnya aku ingin memasukkan beberapa karya tulis lain dalam buku ini bersama Garudaku Tangguh, namun kukira perlulah catatan-catatan tentang diri kuteruskan pengumpulannya sehingga kemudian harilah kuterbitkan dengan judul sebagaimana dapat Anda baca pada sampulnya.
Sementara itu dua artikel tentang tokoh Aceh Hamzah Fansury dan Hasan Tiro dan Daud Beureueh rencananya kuurungkan saja untuk dikumpulkan bersama Garudaku Tangguh dan dikemudian hari aku punya rencana menerbitkan artikel-artikel tentang para tokoh, profil, pemikiran, gagasan dan apapun tentang Aceh yang memiliki makna filosofis yang akan kuberi judul: Filsafat Aceh.
Pasca September 2OO6 hingga September 2O1O, selama empat tahun itu, sangat jarang aku menulis gagasan atau tulisan tentang apapun dengan komputer. Selama kurun empat tahun itu aku lebih sering menuliskan gagasan atau apapun dalam buku-buku tulis. Hampir lima puluh buku tulis telah penuh kuisi dengan catatan-catatanku, tanggal dan tempat menulis tidak lupa kucantumkan setiap akhir tulisan.
Rencananya semua tulisan dalam komputer selama empat tahun itu akan kukumpulkan dan semua tulisan dalam buku tulis-buku tulis itu kusalin ke dalam komputer semua dan kuterbitkan dalam bentuk sebuah novel intelektual berjudul: 'Sir Teuku Banta Ahmad.
Sebagai catatan, selama rentan empat tahun itu aku rutin berjualan kopiah buat shalat hingga berjualan pakaian dalam pria dengan cara berkeliling dengan berjalan kaki di pasar-pasar dari Banda Aceh hingga Medan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan membantu biaya kuliahku.
Berjuakan dengan berkeliling ini bukanlah pertama kulakukan. Semasa sekolah STM di Medan, aku juga sudah berjualan Mie Aceh yang dibungkus kecil seharga seribu rupuah. Bungkusan-bungkusan mie itu kubawa keliling dengan sepeda ke setiap sudut pasar dan gang-gang.
Saat kuliah di Pascasarjana IAIN Banda Aceh, aku juga masih berjualan pakaian dalam keliling Banda Aceh hingga ke Kuala Simpang. Motor Honda 800-ku seperti unta, selalu setia mengantarkanku. Dengan kondisi motor yang lusuh dan barang dagangan yang berantakan, aku pede aja masuk kampus Pascasarjana IAIN. Hingga kini telah kulian Program Pascasarjana Filsafat Islam di Jakarta, aku masih suka berjualan pakaian dalam pria setiap mudik ke Aceh. Aku suka berdagang keliling lebih dari sekedar alasan memenuhi kebutuhan hidup. Aku bahkan berencana untuk berdagang dengan cara yang sama di Jakarta untuk mendisiplinkan diri dan mengisi waktu luang sebab di Jakarta kuliah hanya dua hari seminggu.
Semoga Allah selalu merahmati aktivitas kita dan mengabulkan semua cita-cita baik kita. Amin.
Semoga Allah selalu merahmati aktivitas kita dan mengabulkan semua cita-cita baik kita. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar