- Siapa yang tidak iba melihat alat pertahanan militer Indonesia. Tetapi seseorang yang mengerti tentang jantung negara kepulauan ini akan punya perasaan lain dari itu, atau malah iba yang lebih mendalam?
Sebenarnya Indonesia sudah bisa memiliki alat pertahanan yang baik, bahkan kreai putra-putri bangsanya sendiri. Tetapi karena ada yang iri, mka kita dibuat lemah melalui sisten ekonomi global. Akibatnya kita tidak bila lagi berkarya untuk diri sendiri. Padahal sebelumnya karya kita ini telah dapat dinikati bangsa-bangsa lain.
Ketika Indonesia memproduksi pesawat sendiri menjeang penghabisan abad ke-duapuluh, maka negara,egara yang telah maju begitu resah sebab kehilangan mangsa pasar dari negara besar ini. Makanya segala upaya dilakukan untuk menghentikan kreativitas kita.
Unuknya, seorang pemmpin yang ingin membuktikan dia bukan ingin menjadi diktator, tetapi murni sebagai ayah bagi semua rakyatnya, digulingkan dengan tidak terhormat. Suharto telah mampu menjadi pemimpin ideal ketika dia berhasil memfasilitasi potensi gemilang anak bangsa untuk dinikmati semua rakyat. Tetapi kita silap dan menganggapnya buruk lalu tanpa pertimbangan yang menyeluruh, seta-merta dia digulingkan dengan cara yang tidak beradab.
Setelah dia turun, rakyat Indonesia terlempar ke masa ratusan bahkan ribuan tahun sebelumnya. Dalam era yang disebut 'reformasi', dengan anggapan sebagai awal kebangkitan, ternyata reformasi seperti bulu babi: dipandang indah, bila tersentu memberi luka dan perih.
Kini kita memakan tanaman orang, memakai pakaian hasil sulaman bangsa lain. Kita telah menjadi budak kembali.Aku yakin kerinduan ii suci
Dia selal membangunkanku tiap pertiga malam
Aku yakin kerinduan ini suci
Dia membuatku meneteskan air mata di setiap doa
Dia suci karena membuatku mampu menundukkan pandangan
Dia suci, selalu membimbing ke jalan baikRinduku mampu menerobos khaibartanpa perang
Dia merunthan collesoum meski tak ada seorang gladiatorKarena dia suci, tidak akan kulepas
Meski sakit dan membuat sesakKarena dia, kupelihara lisan, kujaga perbuatanku2007
*
Bila beban pikiranmu berat sangat
Saat dadamu sesak
Tau rebahkan badan di kasur busa
Sementara aku bahkan tak punya sehelai tikarBila sedang rindu, kamu mematik korek api dan memandanginya melalui bara
Sementara aku tidak punya sebatang korek apiTapi tidak perlu ada yangiba
Aku punya ingatan yang baik
Dapatmenyusun kata dengan benar
Dan punya sebatang pena
Kugubah semua rindu di dalam puisi
Kugelolaan semua rasa menjadi sajak
Nanti, kamu akan tenggelam
Kamu akan tersesat di dalam kepalakuSemua maujud adalah hamba dan tunduk.
Siapa yang paham semesta adalah getaran sinyal kehadiran Allah takkan keliru jalan.
Setiap peristiwa alam adalah cinta dan kasih Allah.
Hanya yang membuang nafsu dan menghidupkan hati yang dapat menangkap sinyal cinta Ilahi melalui peristiwa alam.
Allah menciptakan Alam dan manusia menjadikannya indah.
Banyak makhluk jauh lebih mulia daripada manusia.Di balik manusia-manusia jahat akan terlahir manusia mulia melebihi malaikat.
Manusia tidak akan menemukan Pengetahuan hingga ke bintang paling ujung bila diri sendiri belum dipesiapkan.
B8aik trF
Si baik akan berjuang sampai tiada peduli pamrih.
Orang baik tidak akan pernah memberiqyy warisan kecuali pakaian kebijaksanaan.
Sesama orang baik jauh di mata dekat di hati.Jasad kita tampak lempung, tapi adalah permukaan dari jiwa suci.
*
Sufi yang lurus tidak akan ternela dengan nikmat bersendiri; kepada sosial, mereka peduli sangat.
*
Hati yang hidup adalah hati yang menikmati cinta Ilahi.
Utuk merasakan indahnya cinta ilahin hidupkan hati, bukan membangun masjid.
Hati manusia yang bergetar dan rindu bahkan tak pernah dirasakan malaikat.Untuk mengetahui, tambahkan keragua dan kurangi kepastian. Bila ingin bertindaj, kurangkan kerguan dan tambahkan keyakinan.Makna Al-Qur'an ada dalam setiap benak isan. "Bacalah Al-Qur'an seakan dia diturunkan kepadamu" kata Ibunya Iqbal.
Di dalam diri insan Sang Ada selalu berseru "Aku Ada". Dan zikirpun adalah seruannNya kepada DiriNya sendiri.
* - Leonardo AvicennaDi Manggarai dibacok sampai tewas.
Leher nyaris putus, perut disayat hingga terburai usus.
Saat sedang menunggu angkutan.
Karena mengenakan simbol sekolah lawan tawuran.
Padahal dia tidak ikut tawuran.
Pelajar Indoesia memang berani.
Menumpahkan darah jadi lumrah.
Ini karena pengaruh tontonan televisi dan permainan visual.Padahal bila diorganisir, pelajar Indonesia yang hobi tawuan bagusnya dikirim saja ke Israel.
Biarkan mereka bantai semua pelajar Bani Israil.
Tempatkan sebagian mereka di perbatasan Paestina-Israel.Sebagian sisaan saja, untuk membantai para penganut aliran sesat.
Mereka juga dapat diandalkan untuk mengeroyok para teroris.iapa kamu
Mengusik aku
Tidak membiarkan
Hidup seperti manusia kebanyakan - Leonardo AvicennaDi Jakarta dibacok sampai tewas.
Leher nyaris putus, perut disayat hingga terburai usus.
Saat sedang menunggu angkutan.
Karena mengenakan simbol sekolah lawan tawuran.
Padahal dia tidak ikut tawuran.
Pelajar Indoesia memang berani.
Menumpahkan darah jadi lumrah.
Ini karena pengaruh tontonan televisi dan permainan visual.Padahal bila diorganisir, pelajar Indonesia yang hobi tawuan bagusnya dikirim saja ke Israel.
Biarkan mereka bantai semua pelajar Bani Israil.
Tempatkan sebagian mereka di perbatasan Paestina-Israel.Sebagian sisaan saja, untuk membantai para penganut aliran sesat.
Mereka juga dapat diandalkan untuk mengeroyok para teroris. - Hari Ini
- Leonardo Avicenna"Man arafa nafsahu faqad arafa Rabbahu".
Umumnya, kita memahami hadits ini: siapa yang mengenal dirinya, dia akan mengenal Tuhannya. Namun, penafsiran secara ontologis, setidaknya sebagaimana Dr. Muhsin Labib menjelaskan, maknanya harus dibalik; setidaknya, supaya tidak bertentangan dengan prinsip logika. Maka yang benar adalah: siapa yang telah mengenal dirinya, maka tentunya terlebih dahulu dia menenal Tuhannya. Artinya, siapa yang telah mengenal Tuhannya, maka baru dia dapat mengenal dirinya. Analoinya adalah: bila ada asap, maka tentu telah ada api. Api adalah penyebab dari asap, bukan sebaliknya. Demikian juga Tuhan adalah penyebab manusia, bukan manusia adalah penyebab Tuhan.
Prinsip logika demikian tentu ditolak oleh mayoritas folosof Barat karena mereka meganut prinsip manusia sebagai sentral, bukan Tuhan. Bahkan sebagian mereka mengangap Tuhan hanyalah ciptaan benak manusia. Padahal, bila dilihat secara objktif, keyaknan Barat itu keliru sama sekali karena Tuhan sebagai representasi dari genus dan manusia sebagai bagian dari sejumlah differensia tentnya tidak dapat dijadikan sebagai sentral. Mustahil differensia menjadi sebab bagi genus, yang benar adalah sebaliknya.
Dalam prinsip Barat hal apa saja yang telah dapat dikenali adalah bukan Tuhan. Prinsip ini benar karena memang hal apa saja yang telah dapat dibatasi atau ditemukan perbedaannya dengan hal lain berarti adalah berbatas dan memang Tuhan itu tidak terbatas. Namun, mereka keliru dengan mengatakan hal-hal yang telah menjadi differensia itu lepas sama sekali dari genus. Ini keliru secara logika.
Dalam prinsip filsafat Islam, segala maujud tidak lepas dari wujud. Setiap maujud tentu mengandung wujud. Dan ini benar secara logis setiap differensia, tidak boleh lepas dar genus. Dalam kacamata ontologisnya, pengetahuan itu bukanlah suatu konfirmasi antara yang mengetahui dengan yang diketahui. Pengetahuan adalah perubahan menjadi meluas bagi yang mengetahui. Meluas bukan bermakna secara bentuk tetapi secara batiiah (dzihn). Pengetahuan diambil dari 'wujida' yang berarti 'ditemukan'. Maka, pengetahuan itu bukanlah tiada sebelumnya tetapi telah ada.
Kekeliruan epistemologi Barat karena mereka menganggap 'berfikir' terlebih dahulu barulah muncul 'ada'. Prinsip ini tentu saja menimbulkan makna keliru yakni 'ada' adalah akibat dari 'aku yang berfikir'. Dari sini muncul prinsip 'aku' (manusia) sebagai sental, sebagai penyebab utama. Padahal secara sederhana saja prinsip ini keliru karena mana mungkin ada 'aku' bila 'ada' tidak ada terlebi dahulu.
Bisa saja kita bisa berdalih makna prinsip Descartes ini adalah: aku yang berfikir, tentunnya aku telah mengada terlebih dahulu. Namun prinsip ini bukan persoalan semantik, ini adalah persoalan epistemologis, bahkan metafisik. Dari penjelasan Descartes sendiri maupun kaum rasionalis kita dapat menemukan buktinya: bahwa yang dimaksudkan memang hal keliru itu yakni: aku berfikir yang memunculkan ada.
Karena menjadikan manusia yang dianya adalah differensia sebagai sentral maka struktur logikanya harus berkutat terus menerus pada sesama differensia lagi. Konsekwensi ontologis dari epistemologi semacam ini akan melahirkan konsep berjalan di tempat. Misalnya konsep waktu Nietzsche yang spiral.
Dari sini jelas kita menemukan perbedaan epistemologis dan perbedaan paradigma antara Islam dengan Barat. Awalnya kita mengira logika pemaknaan atas hadits di atas adalah pemutarbalikan loika murni, tetapi telah terbukti itu justru pengembalian kepada sistem logika murni."Man arafa nafsahu faqad arafa Rabbahu".
Umumnya, kita memahami hadits ini: siapa yang mengenal dirinya, dia akan mengenal Tuhannya. Namun, penafsiran secara ontologis, setidaknya sebagaimana Dr. Muhsin Labib menjelaskan, maknanya harus dibalik; setidaknya, supaya tidak bertentangan dengan prinsip logika. Maka yang benar adalah: siapa yang telah mengenal dirinya, maka tentunya terlebih dahulu dia menenal Tuhannya. Artinya, siapa yang telah mengenal Tuhannya, maka baru dia dapat mengenal dirinya. Analoinya adalah: bila ada asap, maka tentu telah ada api. Api adalah penyebab dari asap, bukan sebaliknya. Demikian juga Tuhan adalah penyebab manusia, bukan manusia adalah penyebab Tuhan.
Prinsip logika demikian tentu ditolak oleh mayoritas folosof Barat karena mereka meganut prinsip manusia sebagai sentral, bukan Tuhan. Bahkan sebagian mereka mengangap Tuhan hanyalah ciptaan benak manusia. Padahal, bila dilihat secara objktif, keyaknan Barat itu keliru sama sekali karena Tuhan sebagai representasi dari genus dan manusia sebagai bagian dari sejumlah differensia tentnya tidak dapat dijadikan sebagai sentral. Mustahil differensia menjadi sebab bagi genus, yang benar adalah sebaliknya.
Dalam prinsip Barat hal apa saja yang telah dapat dikenali adalah bukan Tuhan. Prinsip ini benar karena memang hal apa saja yang telah dapat dibatasi atau ditemukan perbedaannya dengan hal lain berarti adalah berbatas dan memang Tuhan itu tidak terbatas. Namun, mereka keliru dengan mengatakan hal-hal yang telah menjadi differensia itu lepas sama sekali dari genus. Ini keliru secara logika.
Dalam prinsip filsafat Islam, segala maujud tidak lepas dari wujud. Setiap maujud tentu mengandung wujud. Dan ini benar secara logis setiap differensia, tidak boleh lepas dar genus. Dalam kacamata ontologisnya, pengetahuan itu bukanlah suatu konfirmasi antara yang mengetahui dengan yang diketahui. Pengetahuan adalah perubahan menjadi meluas bagi yang mengetahui. Meluas bukan bermakna secara bentuk tetapi secara batiiah (dzihn). Pengetahuan diambil dari 'wujida' yang berarti 'ditemukan'. Maka, pengetahuan itu bukanlah tiada sebelumnya tetapi telah ada.
Kekeliruan epistemologi Barat karena mereka menganggap 'berfikir' terlebih dahulu barulah muncul 'ada'. Prinsip ini tentu saja menimbulkan makna keliru yakni 'ada' adalah akibat dari 'aku yang berfikir'. Dari sini muncul prinsip 'aku' (manusia) sebagai sental, sebagai penyebab utama. Padahal secara sederhana saja prinsip ini keliru karena mana mungkin ada 'aku' bila 'ada' tidak ada terlebi dahulu.
Bisa saja kita bisa berdalih makna prinsip Descartes ini adalah: aku yang berfikir, tentunnya aku telah mengada terlebih dahulu. Namun prinsip ini bukan persoalan semantik, ini adalah persoalan epistemologis, bahkan metafisik. Dari penjelasan Descartes sendiri maupun kaum rasionalis kita dapat menemukan buktinya: bahwa yang dimaksudkan memang hal keliru itu yakni: aku berfikir yang memunculkan ada.
Karena menjadikan manusia yang dianya adalah differensia sebagai sentral maka struktur logikanya harus berkutat terus menerus pada sesama differensia lagi. Konsekwensi ontologis dari epistemologi semacam ini akan melahirkan konsep berjalan di tempat. Misalnya konsep waktu Nietzsche yang spiral.
Dari sini jelas kita menemukan perbedaan epistemologis dan perbedaan paradigma antara Islam dengan Barat. Awalnya kita mengira logika pemaknaan atas hadits di atas adalah pemutarbalikan loika murni, tetapi telah terbukti itu justru pengembalian kepada sistem logika murni.Filsafat Islam menekankan pembedaan antara emosi dengan pengetahuan. Emosi itu sifatnya beubah. Emosi berasal dari kata 'motion'. Oleh karenanya, emosi tidak dapat djadikan sebagai rujukan pengetahuan, apalagi sebagai rerensi untuk bertindak. Pengetahuan sifatnya tetap karena memang mengetahui itu bukan perubahan tetapi penemuan. Maka, filsafat Islam tentu tidak mengabaikan bahwa tempat berangkat kita meman harus dari diri manusia dahulu, dari dfferensia ini. Makanya setiap kajian filsafat tentu dimulai dengan epistemologi.
Meski tidak menjadikan manusia sebagai sentral, namun epistemologi Islam, atau epistemologi manapun harus beranjak dari epistemologi. Dan, perlu dicatat bahwa epistemologi itu bukan murni filsafat. Epistemologi adalah instrumen untuk mengobjektifkan hal-hal subjektif di ranah metafisik.
Modal melakukan kajian epistemoligis adalah rasio dan empirik. Keduanya harus saling mengoreksi, melengkapi dan mengkonfirmasi. Keduanya puya masing-masing kelebihan dan kekurangan. Penelitian ilmiah mustahil dilakukan tanpa mengandalkan kedua instrumen ini secara seimbang. Penelitian memang adalah sebuah "pengguaan rasionalitas yang ketat serta fakta empiris yang jelas" sebagaimana diungkapkan Dr. Akhyar Lubis.
Lebih jauh, Dr. Lubis mengatakan, Comte adalah orang pertama yang menerapkan aturan ketat untuk riset ilmiah. Kita perlu menentukan memlih sebuah tema atau tentang tokoh. Metodenga juga harus jelas: kualitatif atau kuantitatif. Untuk memutuskan menggunakan metode yang mana, harus dibaca dan dipahami dahulu al yang ingin diteliti, barulah digunakan metode yang sesuai.
Sejak Comte, epistemologi filsafat melepaskan diri dari filsafat dan menjadi instrumen untuk masing-masing bidang tertentu, sosial, sains dan sebagainya. Aliran positivisme menjadi semakin diminati. Ilmu yang bertugas mengkaji esensi setiap disiplin disebut fisafat ilmu. Misalnya fisafat sosial, filsafat ekonomi dan sebagainya.
Dr. Lubis memperkenalkan empat metode yakni dedukti, induktif, dialektika dan abduktif. Dari Dr. Haidar Bagir, kami mengenal metode pragmatis, yakni sebuah teori yang dipercaya sebagai benar bila dianya berguna. Dediktif adalah pernyatan sesuatu dari yang umum: "semua angsa putih". Pernyataan deduktif itu perlu dikonfirmasi dengan mengumpulkan sejumlah angsa dan bila sejumlah angsa yang dikumpulkan itu semuanya putih, maka pernyaaan umum tadi dianggap sah, dan bila ada satu saja angsa bukan bewarna putih, maka pernyataan tadi tertolak.
Sebaliknya sistem induksi mengumpulkan satu persatu angsa dan bila semua angsa terkumpul putih, maka barulah disusun pernyataan "semua angsa putih" dan bila seseorang memperlihatkan angsa hitam, maka pernyataan itu salah.
Sistem dialektika tidak hitam putih, dianya adalah perbandingan antara dua buah pernyataan, lalu ditarik sebuah pernyataan baru. Pernyataan pertama disebut thesis, kedua adalah antithesis dan pernyataan ketiganya sintesis.
Perbedaan signifikan kita dengan Barat adalah mengenai paradima. Paradigma Barat adalah differensia yang terjebak, disorientasi. Karena itu, Islam perlu menganut prinsip paradigma pengetahuannya sendirian bukan merujuk pada Barat.
Sementara metode abduktif adalah menguji coba sesuatu dan menolaknya setelah ditemukan kekeliruan antara pernyataan dengan ujicoba.
Dalam melakukan proses penelitan, peneliti dituntut seobjektif mungkin. Tetapi karena mereka adalah manusia, inspirarasi, rasa dan orientasi tetntunya tidak bisa mereka lepaskan. Ketiga hal tersebut tidak penting secara objektif. Seperti yang diterangkan Dr. Bagir, dengan bersama Abdul Salam dengan Hesseinber menemkan sebuah teori fisika dan meraih nobel. Silahkan saja Salam mengaku diinspirasi oleh Al-Qur'an sementara Hesseinberg sendiri adalah athes, yang penting teori mereka dapat dibuktikan secara objektif.
Dalam krtik ketiga Kant (Critique of Practical Reason) dijelaskan bahwa sealipun rasio dan empiris itu adalah instrumen untuk diobjektifkan, namun citarasa dalam setiap tindak rasio dan indera tetap ada. Dalam karya, karya sufi, kita meemukan citarasa yang kental sekalipun pembahasannya rasional.
Setiap manusia punya ekspektasi dalam setiap karyanya. Lihatlah Einstein yang mencoba membuktikan kepada manusia tentang kebesaran Tuhan melalui teorinya. Lagi-lagi karena sains itu adalah alat dan alat bergantung pada penggunanya, maka einstein terpaksa kecewa karena ternyata karyanya malah dipakai untuk membantai manusia.
Semua metode ini benar dan diterima semua kalangan secara epistemologis. Namun secara paradigmatik, dianya bisa jadi ditolak oleh filsafat Islam. Semua ilmu pasti punya orientasi. Orientasi adalah mengenai persoalan nilai. Orang Barat biasanya mengorientasikan penemuan-penemuan ilmiah untuk kepentingan kapitalismenya. Orang muslim, senantiasa mengorientasikan penemuan-peemuan untuk kesejaheraan manusia dan segenap alam.
Adalah Mulla Shadra yang memperkenalkan pengembalian logika secara tepat dan peran ini adalah salah satu dari sekian kontribusinya dalam dunia filsafat. Shadra merubah "al-insanun maujudun' (human being is exist) menjadi ''al-maujudun insanun" (being is human being). Penjelasannya tentu dapat disiak di atas.
Dengan memperjelas antara spesies dan differensia, dia memperjelas antara wujud dengan maujud. Kontribusi logika ini berimplikasi pada persoalan ontologis. Melalui penerangan ini, kita dapat masuk dan mengeksplorasi cara pandang teologis muridnya Mir Damad ini. Mungkin salah satu faktor yang meyebabkan filsuf muslim, utamanya aliran irfan, dapat menjangkau Realitas Puncak karena mereka menerapkan sistem logika yang tepat sebagaimana dijelaskan di atas.
Shadra adalah top leader dalam aliran filsafat Islam karena dia mampu mensintesiskan antara filsafat gnosis Ibn Arabi dengan peripatetik Ibn Sina. Dia juga dapat meluruskan kritik kaum teolog atas peripatetik dan kritik para penganut kemendasaran esensi. Bahkan sejauh yang saya ketahui beum ada pegkritik Mulla Shadra. Malah, penemuan-penemuan saintifk modern semakin meneguhkan eksistensinya.
Dalam kajian inti filsafat Islam yakni megenai mana yang mendasar antara wujud dan mahiyah, Shadra awalnya mendukung mahiyah sebagai yang lebih mendasar sebagaimana prinsip yang dianut gurunya, Mir Damad dan Syhabuddin Suhrawardi. Namun setelah melalui penyucian diri, dia mengaku mendapatkan ilham dari Allah dan mengganti prinsipnya dengan mengakui wujud lebih mendasar (ashal) dan mahiyah hanya sebagai proyeksi mental (i'tibari).
Sebagaimana sering kita ulang, bila melihat sesuatu, kita terlebih dahulu memunculkan pertanyaan "apa itu". Sesuatu yang kita lihat itu lalu kita bentuk konsepnya di dalam pikiran kita. Maka disebutlah ada dua eksistensi yakni yang di realitas eksternal dan yang di dalam konsep. Pembentukan konsep ini disebut quiditas. Maka dalam pandangan penganut mazhab kemendasaran eksistensi (ashalatul wujud), keapaan sesuatu itu tidak mendasar, yang lebih mendasar adalah ke'ada'annya. Penganut mazhab kemendasaran esensi (ashalatul mahiyah) mengkritik penganut kemendasaran eksistensin kata mereka, tidak ada dualitas eksistensi (eksternal dan konsep). Sebenarnya memang tidak ada dualitas, tetapi karena yang kita adalkan adalah intelek, maka dia bekerja memberi bentuk dan memilah-milah tiap sesuatu dengan menemukan konfimasinya di ruag eksternal supaya dia dapat menyimpan semua kosep dengan baik sesuai karakeristiknya.
Al-Farabi, dalam kutipan oleh Tosihiko Isutzu dalam 'Strutur Metafisika Sabzawari' (Bandung: Pustaka, 2003, h.29-30), mengatakan proposisi "manusia ada" tidak mempunyai predikat dalam cara pandang eksternal semata namun dalam pandangan logika proposisi itu mempunyai predikat. Dalam istilah pengikut setia Mulla Shadra, Haji Sabzawari, 'zawj takbiri': setiap hal yang dtemukan pada realitas eksernal disebut 'mawjud', pada mawjud terkandung dua unsua sekaligus yakni 'quiditas' dan 'wujud'. Quiditas adalah pembeda antara satu hal dengan hal lain sementara wujud adalah hal fundamental yang dikandung setiap mawjud.
Dalam dunia Islam, Al-Farabi adalah orang pertama yang yang mmperkenalkan perbedaan antara quiditas dengan eksistensi. Gagasan ini awalnya telah dimulai Aristoteles dalam mengkritik idealisme Plato. Namun Arstoteles belum menarik dikotomi antara quiditas dan eksistensi. Adalah Al-Farabi pemikir pertama yang memberi penjelasan tentang dikotomi ini. Selanjutnya, Ibn Sina memberi perhatian lebih tentang perbedaan antara quiditas dan eksistensi.
Setelahnya, Ibn Sina banyak dikriti karena sulitnya para pemikir memahami thesisnya. Para pemikir muslim dibagi menjadi dua kelompok yakni yang mendukung wujud sebagai ashil (lebih utama) sementara mahiyah sebagai I'tibar dan yang mendukung mahiyah sebagai ashil sementara wujud hanya I'tibar. Sebenarnya da juga yang mendukug keutamaan keduanya yakni Syaikh Ahmad Ahsa'i. Namun gagasannya kurang populer dan tidak terlalu dipertimbangkan.
Memang terlalu mudah bagi kita untuk mangakui bahwa sesuatu yang kita kenal di alam realitas adalah pemberi makna pada pikiran bahkan pembentuk pikiran. Namun bila kita mau merenung secara mendalam, saya kira kita akan menemukan bahwa ternyata justru realitas eksternal adalah bentukan mental bawah sadar kita meski sering tidak kita sadari. Saya kira orng sufi baru meyakini pernyataan saya ini setelah mereka dikaruniai pandangan tentang hakikat segala sesuatu.
Dalam pandangan ini, semua realitas akan tampak sama semata semuanya. Pembedaan antara satu hal dengan hal lain barulah terjadi ketika menggunakan pandangan melalui intelek. Ketika intelek diandalkan, maka dia akan mengkonfirmasi konsep murni didalam diri dengan realitas eksternal. Dalam perngkonfirmasian ini, maka dikonstruksikanlah sesuatu hal ke dalam pemahaman intelektual. Ketika sesuatu telah dipahami, barulah dia dapat dibedakan dengan sesuatu hal hain yang telah dipahami juga. Di sinlah muncul pemahaman atas realitas eksternal.
Maka muncu pertanyaan inti filsafat Islam: pada suatu hal di realitas eksternal, manakah yang lebih ashal, ke-ada-annyakah, atau ke'sesuatu'annyakah?
Maka kutipan singkat Isutzu (ibid, 59-60) atas pernyataan Mulla Shadra telah cukup bagi kita untuk mendapat penjasan bahwa merujuk pada peryataan saya di atas akan tampak bahwa pada realitas eksternal sebenarnya yang asasi itu adalah eksistensi sementara quiditas hanyalah semacam cermin yang membentuk mawjud.
Tidak ada cara mangungapkan Realitas Eksistensi yang penampakannya melampui intelek. Makanya kaum sufi lebih memiih pendeatan metaforirik. "When in love no body is smart" kata Mario Teguh. Makanya para fiosof postmodern meninggalkan epistemologi (Barat Klasik dan Modern) untuk menjangkau Realitas Eksistensi. Saya (Leonardo Avicenna) bertanya pda Mario "bila rasio tidak berlaku, apa yang kita jadika pegangan saat berada dalam cinta. Mario menjawab adalah kualitas diri. Maka kita harus membiasakan mensuggestikan cinta mekalui perkataan dan perbuatan, saran Mario. (lihat: Youtobe_Mario_Teguh_when_in_love_no_body_is_smart part 5).
Saran Mario identik dengan ajaran Islam yang mengajarkan zikir dan ibadah (syariat) sebagai satu-satunya jalan menjangkau Realitas Eksistensi. Dalam pandangan Realitas Eksistensi, semua mawjud hanyalah (sebagaimana analogi Prof. Carlo yang dipaparkan Isutzu, ibid, h. 89) Seprti potongan-potongan balok es: seuanya air, pembedaan antara satu bakok dengan balok lain hanya tangkapan intelek. Pembedaan itu cuma sebatas I'tibar dan realitas itulah yang ashal .
Capaian para flosof postmodern menurut saya diragukan karena mereka tidak dapat mempuktikan teorinya menurut sistem logika. Sekalipun pemikiran para filosof pahlawi diakui pencapaianya melalui intuisi namun merea mampu mensampaikan pembuktiannya mellui sistem epistemologis. Sebagaimana saya kemukakan di awal tulisan ini, Mulla Shadra terlebih dahulu meluruskan sistem logika supaya capaian metafisikanya dapat dibuktikan. Koreksi Shadra atas logika tentunya untuk meluruskan bagan logika itu sendiri, bukan sebagai alasan mencari perangkat pembenaran teori metafisikanya.
Analogi gradasi adalah sesuai dengan logika murni. Setiap eksistemsi umum tentunya dikadung oleh eksistensi partikular. Matahari bercahaya, lampu bercahaya: keduanya bercahaya; yang mebedaknnya adalah tingkatannya. Analogi gradasi ini tampaknya diambil Mulla Shadra dari Ibn Arabi atau Suhrawardi. Tetapi tanpa kedua orag terakhir inipun, sistem rasio akan membentuk analogi semacam itu. Makanya Mulla Shadra meluruskan proposisi "manusia ada" menjadi "ada manusia". 'Munusia' itu differensia dan 'ada' adalah genus; mustahil differensis mendahului genus. Genus adalah penyebab dan differensia adalah akibat, tentunya sebablah yang mendahului akibat. Makanya Karl Popper menolak sistem induksi. Katanya yang absah hanya sistem deduksi. Ya iya lah..
Menurut Mulla Shadra dan pengikut setianya, Haji Sabzawari, tingka tan wujud it dibagi menjadi wujud bersyarat negatif (bi syarrtil la), wujud tak bersyarat (la bi syart) dan wujud bersyarat karena sesuau (la bi syart). - Leonardo AvicennaAku yakin kerinduan ii suci
Dia selal membangunkanku tiap pertiga malam
Aku yakin kerinduan ini suci
Dia membuatku meneteskan air mata di setiap doa
Dia suci karena membuatku mampu menundukkan pandangan
Dia suci, selalu membimbing ke jalan baik
Rinduku mampu menerobos khaibartanpa perang
Dia merunthan collesoum meski tak ada seorang gladiatorKarena dia suci, tidak akan kulepasMeski sakit dan membuat sesakKarena dia, kupelihara lisan, kujaga perbuatanku2007
*
Bila beban pikiranmu berat sangat
Saat dadamu sesak
Tau rebahkan badan di kasur busa
Sementara aku bahkan tak punya sehelai tikarBila sedang rindu, kamu mematik korek api dan memandanginya melalui bara
Sementara aku tidak punya sebatang korek apiTapi tidak perlu ada yang iba
Aku punya ingatan yang baik
Dapatmenyusun kata dengan benar
Dan punya sebatang pena
Kugubah semua rindu di dalam puisi
Kugelolaan semua rasa menjadi sajak
Nanti, kamu akan tenggelam
Kamu akan tersesat di dalam kepalaku
*
Descartes teralu yakin rasio dapat menjelaskan semuanya. Hume tidak percaya rasio samasekali. Kant menengahi dengan menataan rasio memang tidak dapat menyelsaikan semuanya,tetapi limitasi itu penting, sebab bila tidak, kita tidak dapat mengetahui apapun.
*
Dalam karya sulit filsafat, rasa tidak bisa dibuang begitu saja. Inilah yang menjadi fokus Kant dalam kritik ketiganya.
*
Rasululla Saw. pernah ingat, lalu lupa pada malam apa lailatul qadar. Nabi memita ummatnya mencarinya pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan. Lupanya Nabi adalah hikmah bagi kita supaya fous berada di akhir Ramadhan.
*
Antara akal degan wahyu mustahil bertentangan. Ibn Rusyd mengatakan bila menemukan perbedaan antara wahyu dengan akal, maka itu berarti cara paham kita terhadap wahyu yang keliru.
*
Ada yang menarik dengan untaian kata-kata awal dalam lafadz basmalah. Kata 'bi' yang dilanjutkan dengan 'ismi' maknanya menjadi sebua ikrar penyerahan diri total serta penakuan tanpa secuil keraganpun. Kalau 'bi' langsung dianjutkan pada sasarannya (Allah) tanpa 'ismi', maka 'bi'nya hanya menjadi pernyataan biasa.
Menyatakan dengan 'bi' bahwa Allah sebagai andalan semakin meguhkan keyakinan berbuat sesuatu sebab yang kita andalkanadalah Allah pecipta semesta alam.
'Ar-Rahman' adalah sifat kebaikan Allah yang dicurahka Allah di dunia pada semua makhluknya. 'Ar-Rahim' adalah rahmatNya yang khusus diberkan di akhirat pada makhluk tertentu pilihannya.
* - Leonardo AvicennaKalau ada orang Islam yang melanggar ajaran Islam bukan Islamnya yang salah, tapi muslimnya. 'Kafir' tidak cuma sebutan untuk Kristen, tapi semua yang tidak berikrar Allah sebagai Tuhan dan Muhammad sebagai Rasul. 'Kafir' dalam pandangan Islam tidak selalu negatif imagenya. Kafir dzimmi harus dihormati dengan baik dan kafir harbi wajib di bunuh.
*
Kalau Anda orang yang melampaui Tuhan sehingga bebas menentukan hukum untuk ummat manusia, lebih baik mengharamkan micin daripada rokok.
*
Aku terlalu banyak melupakan jasa baik orang-orang. Orang-orang sangat baik padaku. Ketika senja tiba, aku merindukan mereka. Apa hendak dikata, semua telah terlambat. Mereka semua telah pergi. Cuma sesalku yang tinggal.
*
Metafisika adalah mengenal Allah melalui cara manusa.
*
Membunuh warga negara AS dan warga negara sekutunya yang menganut demokrasi hukumnya wajib: setiap keputusan negara demikrasi adalah suara rakyatnya. Negara-negara itu membunuh kaum muslim di berbagai belahan bumi.
*
Konflik Sunni Syiah di Timur Tengah adalah parang suku berkedok teologi, Arabian dan Persian. Jangan sampai Masyarakat Nusantara terjebak.
*
Bukan mencari selambar memburu selembar ijazah, hanya ingin mengikuti para penddahalu saya seperti Hamzah, syamsuddin, Syarif dan Abdurrauf.
*
Kita rindu
Manusia rindu
Rindu apa tak tahu
Yang dikenang kampung halaman
Teman bermain waktu kecil
Di perantauan kita kesepian
Mencari eman sekampung adalah pelipur lara
Tanpa kalian, dari dulu aku sudah pulang
Bersama kalian adalah obat sejenak
*
Nasib rezeki kita tidak bergantung pada nominal di dalam buku tabungan, tetapi mutlak dalam kuasa Allah. Dan itu rahasiaNya;
Menakjubkan, penuh kejutan:
Kabhi khusyi, kabhi ghum
*
Allah mencptakan kucing. Lalu memisahkannya dari induknya sedari usianya lima hari. Lalu beberapa hari selanjutnya dia hidup dalam dingin, terus-terusan menjerit, kelaparan, lalu mati. Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
* - Leonardo Avicenna"Man arafa nafsahu faqad arafa Rabbahu".
Umumnya, kita memahami hadits ini: siapa yang mengenal dirinya, dia akan mengenal Tuhannya. Namun, penafsiran secara ontologis, setidaknya sebagaimana Dr. Muhsin Labib menjelaskan, maknanya harus dibalik; setidaknya, supaya tidak bertentangan dengan prinsip logika. Maka yang benar adalah: siapa yang telah mengenal dirinya, maka tentunya terlebih dahulu dia telah mengenal Tuhannya. Artinya, siapa yang telah mengenal Tuhannya, maka baru dia dapat mengenal dirinya. Analoginya adalah: bila ada asap, maka tentu telah ada api. Api adalah penyebab dari asap, bukan sebaliknya. Demikian juga Tuhan adalah penyebab manusia, bukan manusia adalah penyebab Tuhan.
Prinsip logika demikian tentu ditolak oleh mayoritas folosof Barat karena mereka meganut prinsip manusia sebagai sentral, bukan Tuhan. Bahkan sebagian mereka mengangap Tuhan hanyalah ciptaan benak manusia. Padahal, bila dilihat secara objktif, keyakinan Barat itu keliru sama sekali karena Tuhan sebagai representasi dari genus dan manusia sebagai bagian dari sejumlah spesies tentunya tidak dapat dijadikan sebagai sentral. Mustahil speses menjadi sebab bagi genus: yang benar adalah sebaliknya.
Dalam prinsip filsafat Barat hal apa saja yang telah dapat dikenali adalah bukan Tuhan. Prinsip ini benar karena memang hal apa saja yang telah dapat dibatasi atau ditemukan perbedaannya dengan hal lain berarti adalah berbatas dan memang Tuhan itu tidak terbatas. Namun, mereka keliru dengan mengatakan hal-hal yang telah menjadi differensia itu lepas sama sekali dari genus. Ini keliru secara logika.
Dalam prinsip filsafat Islam, segala maujud tidak lepas dari wujud. Setiap maujud tentu mengandung wujud. Dan ini benar secara logis setiap spesiesa, tidak boleh lepas dari genus. Dalam kacamata ontologisnya, pengetahuan itu bukanlah suatu konfirmasi antara yang mengetahui dengan yang diketahui. Pengetahuan adalah perubahan menjadi meluas bagi yang mengetahui. Meluas bukan bermakna secara bentuk tetapi secara batiniah (dzihn). Pengetahuan diambil dari 'wujida' yang berarti 'ditemukan'. Maka, pengetahuan itu bukanlah tiada sebelumnya tetapi telah ada.
Kekeliruan epistemologi Barat karena mereka menganggap 'berfikir' terlebih dahulu barulah muncul 'ada'. Prinsip ini tentu saja menimbulkan makna keliru yakni 'ada' adalah akibat dari 'aku yang berfikir'. Dari sini muncul prinsip 'aku' (manusia) sebagai sental, sebagai penyebab utama. Padahal secara sederhana saja prinsip ini keliru karena mana mungkin ada 'aku' bila 'ada' tidak ada terlebih dahulu.
Bisa saja kita berdalih makna prinsip Descartes ini adalah: aku yang berfikir, tentunnya aku telah mengada terlebih dahulu. Namun prinsip ini bukan persoalan semantik, ini adalah persoalan epistemologis, bahkan metafisik. Dari penjelasan Descartes sendiri maupun kaum rasionalis kita dapat menemukan buktinya: bahwa yang dimaksudkan memang hal keliru itu yakni: aku berfikir yang memunculkan ada.
Karena menjadikan manusia yang dianya adalah differensia sebagai sentral maka struktur logikanya harus berkutat terus menerus pada sesama differensia lagi. Konsekwensi ontologis dari epistemologi semacam ini akan melahirkan konsep berjalan di tempat. Misalnya konsep waktu Nietzsche yang spiral.
Dari sini jelas kita menemukan perbedaan epistemologis dan perbedaan paradigma antara Islam dengan Barat. Awalnya kita mengira logika pemaknaan atas hadits di atas adalah pemutarbalikan logika murni, tetapi telah terbukti itu justru pengembalian kepada sistem logika murni.
Filsafat Islam menekankan pembedaan antara emosi dengan pengetahuan. Emosi itu sifatnya beubah. Emosi berasal dari kata 'motion'. Oleh karenanya, emosi tidak dapat djadikan sebagai rujukan pengetahuan, apalagi sebagai referensi untuk bertindak. Pengetahuan sifatnya tetap karena memang mengetahui itu bukan perubahan tetapi penemuan. Maka, filsafat Islam tentu tidak mengabaikan bahwa tempat berangkat kita memang harus dari diri manusia dahulu, dari dfferensia ini. Makanya setiap kajian filsafat tentu dimulai dengan epistemologi.
Meski tidak menjadikan manusia sebagai sentral, namun epistemologi Islam, atau epistemologi manapun harus beranjak dari epistemologi. Dan, perlu dicatat bahwa epistemologi itu bukan murni filsafat. Epistemologi adalah instrumen untuk mengobjektifkan hal-hal subjektif di ranah metafisik.
Modal melakukan kajian epistemoligis adalah rasio dan empirik. Keduanya harus saling mengoreksi, melengkapi dan mengkonfirmasi. Keduanya punya masing-masing kelebihan dan kekurangan. Penelitian ilmiah mustahil dilakukan tanpa mengandalkan kedua instrumen ini secara seimbang. Penelitian memang adalah sebuah "pengguaan rasionalitas yang ketat serta fakta empiris yang jelas" sebagaimana diungkapkan Dr. Akhyar Lubis.
Lebih jauh, Dr. Lubis mengatakan, Comte adalah orang pertama yang menerapkan aturan ketat untuk riset ilmiah. Kita perlu menentukan memlih sebuah tema atau tentang tokoh. Metodenya juga harus jelas: kualitatif atau kuantitatif. Untuk memutuskan menggunakan metode yang mana, harus dibaca dan dipahami dahulu hal yang ingin diteliti, barulah digunakan metode yang sesuai.
Sejak Comte, epistemologi filsafat melepaskan diri dari filsafat dan menjadi instrumen untuk masing-masing bidang tertentu, sosial, sains dan sebagainya. Aliran positivisme menjadi semakin diminati. Ilmu yang bertugas mengkaji esensi setiap disiplin disebut fisafat ilmu. Misalnya fisafat sosial, filsafat ekonomi dan sebagainya.
Dr. Lubis memperkenalkan empat metode yakni dedukti, induktif, dialektika dan abduktif. Dari Dr. Haidar Bagir, kami mengenal metode pragmatis, yakni sebuah teori yang dipercaya sebagai benar bila dianya berguna. Dediktif adalah pernyatan sesuatu dari yang umum: "semua angsa putih". Pernyataan deduktif itu perlu dikonfirmasi dengan mengumpulkan sejumlah angsa dan bila sejumlah angsa yang dikumpulkan itu semuanya putih, maka pernyaaan umum tadi dianggap sah, dan bila ada satu saja angsa bukan bewarna putih, maka pernyataan tadi tertolak.
Sebaliknya sistem induksi mengumpulkan satu persatu angsa dan bila semua angsa terkumpul putih, maka barulah disusun pernyataan "semua angsa putih" dan bila seseorang memperlihatkan angsa hitam, maka pernyataan itu salah.
Sistem dialektika tidak hitam putih, dianya adalah perbandingan antara dua buah pernyataan, lalu ditarik sebuah pernyataan baru. Pernyataan pertama disebut thesis, kedua adalah antithesis dan pernyataan ketiganya sintesis.
Perbedaan signifikan kita dengan Barat adalah mengenai paradima. Paradigma Barat adalah differensia yang terjebak, disorientasi. Karena itu, Islam perlu menganut prinsip paradigma pengetahuannya sendirian bukan merujuk pada Barat.
Sementara metode abduktif adalah menguji coba sesuatu dan menolaknya setelah ditemukan kekeliruan antara pernyataan dengan ujicoba.
Dalam melakukan proses penelitan, peneliti dituntut seobjektif mungkin. Tetapi karena mereka adalah manusia, inspirarasi, rasa dan orientasi tentunya tidak bisa mereka lepaskan. Ketiga hal tersebut tidak penting secara objektif. Seperti yang diterangkan Dr. Bagir, dengan bersama Abdul Salam dengan Hesseinber menemkan sebuah teori fisika dan meraih nobel. Silahkan saja Salam mengaku diinspirasi oleh Al-Qur'an sementara Hesseinberg sendiri adalah athes, yang penting teori mereka dapat dibuktikan secara objektif.
Dalam kritik ketiga Kant (Critique of Practical Reason) dijelaskan bahwa sekalipun rasio dan empiris itu adalah instrumen untuk diobjektifkan, namun citarasa dalam setiap tindak rasio dan indera tetap ada. Dalam karya-karya sufi, kita meemukan citarasa yang kental sekalipun pembahasannya rasional.
Setiap manusia punya ekspektasi dalam setiap karyanya. Lihatlah Einstein yang mencoba membuktikan kepada manusia tentang kebesaran Tuhan melalui teorinya. Lagi-lagi karena sains itu adalah alat dan alat bergantung pada penggunanya, maka Einstein terpaksa kecewa karena ternyata karyanya malah dipakai untuk membantai manusia.
Semua metode yang disebutkan di atas mungkin saja benar dan diterima semua kalangan secara epistemologis. Namun secara paradigmatik, dianya bisa jadi ditolak oleh filsafat Islam. Semua ilmu pasti punya orientasi. Orientasi adalah mengenai persoalan nilai. Orang Barat biasanya mengorientasikan penemuan-penemuan ilmiah untuk kepentingan kapitalismenya. Orang muslim, senantiasa mengorientasikan penemuan-peemuan untuk kesejaheraan manusia dan segenap alam.
Adalah Mulla Shadra yang memperkenalkan pengembalian logika secara tepat dan peran ini adalah salah satu dari sekian kontribusinya dalam dunia filsafat. Dr. Abdulaziz Abbaci menerangkan, Shadra merubah "al-insanun maujudun' (human being is exist) menjadi ''al-maujudun insanun" (being is human being). Penjelasannya tentu dapat dirujuk pada beberapa paragraf-paragraf sebelumya.
Dengan memperjelas antara genus dan spesies, Shadra memperjelas antara wujud dengan maujud. Kontribusi logika ini berimplikasi pada persoalan ontologis. Melalui penerangan ini, kita dapat masuk dan mengeksplorasi cara pandang teologis muridnya Mir Damad ini. Mungkin salah satu faktor yang meyebabkan filsuf muslim, utamanya aliran irfan, dapat menjangkau Realitas Puncak karena mereka menerapkan sistem logika yang tepat sebagaimana dijelaskan di atas.
Shadra adalah top leader dalam aliran filsafat Islam karena dia mampu mensintesiskan antara filsafat gnosis Ibn Arabi dengan peripatetik Ibn Sina. Dia juga dapat meluruskan kritik kaum teolog atas peripatetik dan kritik para penganut kemendasaran esensi. Bahkan sejauh yang saya ketahui belum ada pegkritik Mulla Shadra. Malah, penemuan-penemuan saintifk modern semakin meneguhkan eksistensinya.
Dalam kajian inti filsafat Islam yakni megenai mana yang mendasar antara wujud dan mahiyah, Shadra awalnya mendukung mahiyah sebagai yang lebih mendasar sebagaimana prinsip yang dianut gurunya, Mir Damad dan Syhabuddin Suhrawardi. Namun setelah melalui penyucian diri, dia mengaku mendapatkan ilham dari Allah dan mengganti prinsipnya dengan mengakui wujud lebih mendasar (ashal) dan mahiyah hanya sebagai proyeksi mental (i'tibari).
Sebagaimana sering kita ulang, bila melihat sesuatu, kita terlebih dahulu memunculkan pertanyaan "apa itu". Sesuatu yang kita lihat itu lalu kita bentuk konsepnya di dalam pikiran kita. Maka disebutlah ada dua eksistensi yakni yang di realitas eksternal dan yang di dalam konsep. Pembentukan konsep ini disebut quiditas. Maka dalam pandangan penganut mazhab kemendasaran eksistensi (ashalatul wujud), keapaan sesuatu itu tidak mendasar, yang lebih mendasar adalah ke'ada'annya. Penganut mazhab kemendasaran esensi (ashalatul mahiyah) mengkritik penganut kemendasaran eksistensi. Kata mereka, tidak ada dualitas eksistensi (eksternal dan konsep). Sebenarnya memang tidak ada dualitas di alam eksternal, tetapi karena yang kita adalkan adalah intelek, maka dia bekerja memberi bentuk dan memilah-milah tiap sesuatu dengan menemukan konfimasinya di ruang eksternal supaya dia dapat menyimpan semua kosep dengan baik sesuai karakeristiknya.
Al-Farabi, dalam kutipan oleh Tosihiko Isutzu dalam 'Strutur Metafisika Sabzawari' (Bandung: Pustaka, 2003, h.29-30), mengatakan proposisi "manusia ada" tidak mempunyai predikat dalam cara pandang eksternal semata namun dalam pandangan logika proposisi itu mempunyai predikat. Dalam istilah pengikut setia Mulla Shadra, Haji Sabzawari, 'zawj takbiri': setiap hal yang dtemukan pada realitas eksernal disebut 'mawjud', pada mawjud terkandung dua unsua sekaligus yakni 'quiditas' dan 'wujud'. Quiditas adalah pembeda antara satu hal dengan hal lain sementara wujud adalah hal fundamental yang dikandung setiap mawjud.
Dalam dunia Islam, Al-Farabi adalah orang pertama yang yang memperkenalkan perbedaan antara quiditas dengan eksistensi. Gagasan ini awalnya telah dimulai Aristoteles dalam mengkritik idealisme Plato. Namun Arstoteles belum menarik dikotomi antara quiditas dan eksistensi. Adalah Al-Farabi pemikir pertama yang memberi penjelasan tentang dikotomi ini. Selanjutnya, Ibn Sina memberi perhatian lebih tentang perbedaan antara quiditas dan eksistensi.
Setelahnya, Ibn Sina banyak dikritik karena sulitnya para pemikir memahami thesisnya. Para pemikir muslim dibagi menjadi dua kelompok yakni yang mendukung wujud sebagai ashil (lebih utama) sementara mahiyah sebagai I'tibar dan yang mendukung mahiyah sebagai ashil sementara wujud hanya I'tibar. Sebenarnya ada juga yang mendukug keutamaan keduanya yakni Syaikh Ahmad Ahsa'i. Namun gagasannya kurang populer dan tidak terlalu dipertimbangkan.
Memang terlalu mudah bagi kita untuk mangakui bahwa sesuatu yang kita kenal di alam realitas adalah pemberi makna pada pikiran bahkan pembentuk pikiran. Namun bila kita mau merenung secara mendalam, saya kira kita akan menemukan bahwa ternyata justru realitas eksternal adalah bentukan mental bawah sadar kita meski sering tidak kita sadari. Saya kira orang sufi baru meyakini pernyataan saya ini setelah mereka dikaruniai pandangan tentang hakikat segala sesuatu.
Dalam pandangan ini, semua realitas akan tampak sama semata semuanya. Pembedaan antara satu hal dengan hal lain barulah terjadi ketika menggunakan pandangan melalui intelek. Ketika intelek diandalkan, maka dia akan mengkonfirmasi konsep murni di dalam diri dengan realitas eksternal. Dalam perngkonfirmasian ini, maka dikonstruksikanlah sesuatu hal ke dalam pemahaman intelektual. Ketika sesuatu telah dipahami, barulah dia dapat dibedakan dengan sesuatu hal hain yang telah dipahami juga. Di sinlah muncul pemahaman atas realitas eksternal.
Maka muncul pertanyaan inti filsafat Islam: pada suatu hal di realitas eksternal, manakah yang lebih ashal, ke-ada-annyakah, atau ke'sesuatu'annyakah?
Maka kutipan singkat Isutzu (ibid, 59-60) atas pernyataan Mulla Shadra telah cukup bagi kita untuk mendapat penjasan bahwa merujuk pada peryataan saya di atas akan tampak bahwa pada realitas eksternal sebenarnya yang asasi itu adalah eksistensi sementara quiditas hanyalah semacam cermin yang membentuk mawjud.
Tidak ada cara mangungapkan Realitas Eksistensi yang penampakannya melampui intelek. Makanya kaum sufi lebih memiih pendeatan metaforirik. "When in love no body is smart" kata Mario Teguh. Makanya para fiosof postmodern meninggalkan epistemologi (Barat Klasik dan Modern) untuk menjangkau Realitas Eksistensi. Saya (Leonardo Avicenna) bertanya pada Mario (dengan bahasa yang sudah saya modifikasi di sini: bila rasio tidak berlaku, apa yang kita jadika pegangan saat berada dalam cinta". Mario menjawab adalah kualitas diri. Katanya juga, kita harus membiasakan mensuggestikan cinta melalui perkataan dan perbuatan, saran Mario. (lihat: Youtobe_Mario_Teguh_when_in_love_no_body_is_smart part 5).
Saran Mario identik dengan ajaran Islam yang mengajarkan zikir dan ibadah (syariat) sebagai satu-satunya jalan menjangkau Realitas Eksistensi. Dalam pandangan Realitas Eksistensi, semua mawjud hanyalah (sebagaimana analogi Prof. Carlo yang dipaparkan Isutzu, ibid, h. 89) Seperti potongan-potongan balok es: semuanya air, pembedaan antara satu balok dengan balok lain hanya tangkapan intelek. Pembedaan itu cuma sebatas I'tibar dan realitas itulah yang ashal .
Capaian para flosof postmodern menurut saya diragukan karena mereka tidak dapat membuktikan teorinya menurut sistem logika. Sekalipun pemikiran para filosof pahlawi diakui pencapaianya melalui intuisi namun mereka mampu mensampaikan pembuktiannya melalui sistem epistemologis. Sebagaimana saya kemukakan di awal tulisan ini, Mulla Shadra terlebih dahulu meluruskan sistem logika supaya capaian metafisikanya dapat dibuktikan. Koreksi Shadra atas logika tentunya untuk meluruskan bagan logika itu sendiri, bukan sebagai alasan mencari perangkat pembenaran teori metafisikanya.
Analogi gradasi adalah sesuai dengan logika murni. Setiap eksistensi umum tentunya dikadung oleh eksistensi partikular. Matahari bercahaya, lampu bercahaya: keduanya bercahaya; yang mebedaknnya adalah tingkatannya. Analogi gradasi ini tampaknya diambil Mulla Shadra dari Ibn Arabi atau Suhrawardi. Tetapi tanpa kedua orag terakhir inipun, sistem rasio akan membentuk analogi semacam itu. Makanya Mulla Shadra meluruskan proposisi "manusia ada" menjadi "ada manusia". 'Munusia' itu differensia dan 'ada' adalah genus; mustahil differensis mendahului genus. Genus adalah penyebab dan spesies adalah akibat, tentunya sebablah yang mendahului akibat. Makanya Karl Popper menolak sistem induksi. Katanya yang absah hanya sistem deduksi.
Menurut Mulla Shadra dan pengikut setianya, Haji Sabzawari, tingkatan wujud itu dibagi menjadi wujud bersyarat negatif (bi syarrtil la), wujud tak bersyarat (la bi syart) dan wujud bersyarat karena sesuau (la bi syart). Semua tinkatan ini sesuai dengan baga sistem logika murni: kausalitas: genus, spesies, dfferensia. Untuk mengobjektifkan pengalaman yang murni sujektif ini memang diperlukan instrumen dan instrumenya adalah rasio. Namun untuk mejangkaunya, rasio tidak mampu. Menurutkan, yang mampu adalah etika. Dalam Islam, etika yang dimaksud adalah: semua amal syariat yang sunat dan wajib serta amar makruf nahi mugkar. - Leonardo Avicenna
Juara:
2011: community shield
2012: league cup, primer league, FA Cup, community shield
2013: league cup, primer league, community shield
2014: league cup, primer league, community shield
2015: League Cup, FA cup, primer league, community shield Juara:
2016: community shieldz
2017: league cup, primer league, FA Cup, community shield
2018: FA cup
2019: FA cup, community shield, primer league
2020: -
2021: FA cup, EURO cup, community shield
2022: league cup, primer league
2023: champion league, league cup, primer league, FA Cup, community shield, super cup, word club cup
2024: champion league, league cup, primer league, FA Cup, super cup, word club cupPemikiran Hamzah Fansury sama dengan Ibn Arabi. Tapi dalam gaya bahasa, corak Hamzah hampir menyerupai Jalaluddin Rumi. Dalam pembukaan karya 'Asrar Arifin' sebagaimana dinukil oleh Al- Attas dalam 'The Mysticism of Hamzah Fansury' (Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1970, h.240) Allah bertajalli sesuai dengan sifat-sifatNya yang setiap sifat diberi nama. Ini sejalan dengan pembukaan kitab 'Fushul Hikam' Ibn Arabi yang mensurahkan tajalli Allah pada Adam (Jakarta: Bias Ilu Publishing, 2008, h.17). Maka Adam adalah 'amr' Allah. Selanjutnya melalui Adam, Allah mewujudkan alam semesta. Alam sebagai tajalli Allah bukanlah. Dia sebagai Dzat tetapi dia sebagai Sifat atau 'amr'Nya. Jadi, tuduhan pantheis kepada ulama Wahdatul Wujud adalah sebuah kesalahpahaman. Ajaran ini harus dipelajari secara teliti, bila tidak, bahkan kita dapat terseret kepada teologi Kristen yang sesat itu.
Segala yang tampak oleh indera adalah hijab; indera sendiri adalah hijab. Rasio adalah hijab. Manusia sendiri adalah hijab. Kenal kita akan Allah melalui segala sifat dan asmaNya juga hijab. Jadilah asmaul husna dan sifat wajib Allah adalah hijab akan Allah sendiri.
"Setiap sifat yang kita sifatkan (sematkan) padaNya, maka penyifatan itu adalah esensi diri kita (sendiri) dalam keberadaan (kita sebagai manusia). Kecuali kepastian eksistensi wujud dari segi zatNya" (Arabi, h.23). Maka penciptaan manusia sekaligus bersama sifat dan asmaNya. Makhluk lain termasuk malaikat sendiri mengenal Allah tidak seperti manusia tetapi melalui potensi mereka masing-masing.
Maka saya kira kita menjadi manusia sendiri adalah hijab.
Paham wahdatul wujud tidak begitu mudah untuk dipahami. Dalam pandangan aliran itu, Wujud Allah dengan wujud alam semesta adalah sama. Hamzah (Al-Attas, h. 242) mengibaratkan cahaya bulan dan cahaya matahari yang keduanya berasal dari sumber cahaya yang sama. Ketika kita ingin kembali pada argumen awal bahwa Wujud Allah yang dimaksud adalah Dia sebagai Asma dan Sifatnya, kita akan terhalang dengan argumen Hamzah: "Pada kami Dhat Allah dengan Wujud Allah esa hukumnya." Namun walaupun demikian, Hamzah mengakui bahwa Allah sebagai Dzat tiada sesiapa yang mampu menjangkau termasuk nabi dan malaikat paling tinggi (Al-Attas, h.243)."Orang yang sefaham dengan Anda tidak memerlukan penjelasan Anda, sementara orang yang berseberangan tak akan percaya pada penjelasan Anda." (Komaruddin Hidayat)
*
"Filsafat bukan dianggap ungul karena an kebenaran prediksinya, namun sejauh mana dia mampu menggugah orang." (Michael Hart)
*
"Logat Jawa di siaran teve menjadi simbol keredahan kasta budaya, dijadikan bahan ketawaan, diucapkan buruh atau pembantu" (Emha Ainun Najib)
*
"Kerjakan yang baik di manapun dengan apa atau siapapun. Dipicu dengan rasa syukur dan sangka baik terhadap hari esok sehingga yang kemarin masih kita sangka, hari ini menjadi doa, besok menjelma fakta." (Emha Ainun Najib)
*
"Innamaa asyku bastsi wa huzni ilallah". Sesungguhnya hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku. (QS. Yusuf: 86)
*
"Disebut Cina, Melayu, Turki atau Afghan. Kita ini milik sebuah tama besar. Lahir di musim semi itulah keluhuran. Membedakan warna kulit adalah dosa besar." (Muhammad Iqbal)
*"Orang yang sefaham dengan Anda tidak memerlukan penjelasan Anda, sementara orang yang berseberangan tak akan percaya pada penjelasan Anda." (Komaruddin Hidayat)
*
"Filsafat bukan dianggap ungul karena an kebenaran prediksinya, namun sejauh mana dia mampu menggugah orang." (Michael Hart)
*
"Logat Jawa di siaran teve menjadi simbol keredahan kasta budaya, dijadikan bahan ketawaan, diucapkan buruh atau pembantu" (Emha Ainun Najib)
*
"Kerjakan yang baik di manapun dengan apa atau siapapun. Dipicu dengan rasa syukur dan sangka baik terhadap hari esok sehingga yang kemarin masih kita sangka, hari ini menjadi doa, besok menjelma fakta." (Emha Ainun Najib)
*
"Innamaa asyku bastsi wa huzni ilallah". Sesungguhnya hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku. (QS. Yusuf: 86)
*
"Disebut Cina, Melayu, Turki atau Afghan. Kita ini milik sebuah tama besar. Lahir di musim semi itulah keluhuran. Membedakan warna kulit adalah dosa besar." (Muhammad Iqbal)
*Nisa: Aduh Fat. Si Abang. Bawa motor kencang sangat. Padahal dia kan tahu, aku sakit jantung.Fatma: Wah, kasihan kamu, Nis.Nisa: Iya, Fat. Kalau aku mati di atas motor, aku kan malu.Fatma: Walah Nis. Udah mati kok pakai malu segala.
*
Hmmm.. Wanginya menjagakau beberapa rumah tetangga
Aromanya mengundang kucing-kucing
Tikus-tikuspun tergoda
Oh terasi, dirimu indah dilidah, merana di gusi
*
Malam
DinginZ musim berpelua
ng besar menjadi juara.
*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar