Al-Razi had written over a hundred works on a wide variety of subjects. His major works include:
- Tafsir al-Kabir (The Great Commentary) (also known as Mafatih al-Ghayb)
- Al-Bayan wa al-Burhan fi al-Radd `ala Ahl al-Zaygh wa al-Tughyan
- Al-Mahsul fi 'Ilm al-Usul
- Al-Mutakallimin fi 'Ilm al-Kalam
- Ilm al-Akhlaq (Science of Ethics)
- Kitab al-Firasa (Book on Firasa)
- Kitab al-Mantiq al-Kabir (Major Book on Logic)
- Kitab al-nafs wa l-ruh wa sharh quwa-huma (Book on the Soul and the Spirit and their Faculties)
- Mabahith al-mashriqiyya fi 'ilm al-ilahiyyat wa-'l-tabi'iyyat (Eastern Studies in Metaphysics and Physics)
- Matalib al-'Aliya
- Muhassal afkar al-mutaqaddimin wa-'l-muta'akhkhirin (The Harvest of the Thought of the Ancients and Moderns)
- Nihayat al 'Uqul fi Dirayat al-Usul
- Risala al-Huduth
- Sharh al-Isharat (Commentary on the Isharat)
- Sharh Asma' Allah al-Husna (Commentary on Asma' Allah al-Husna)
- Sharh Kulliyyat al-Qanun fi al-Tibb (Commentary on Canon of Medicine)
- Sharh Nisf al-Wajiz li'l-Ghazali (Commentary on Nisf al-Wajiz of Al-Ghazali)
- Sharh Uyun al-Hikmah (Commentary on Uyun al-Hikmah)
Tafsir Ar-Razi: Tafsir Ilmiah Pertama
Oct 31st, 2010 | By admin
| Category: karya santri
Meski dianggap kontroversial oleh kalangan konservatif, kitab tafsir ini menginspirasi ulama tafsir generasi sesudahnya untuk menyusun karya sejenis.
Pada awal perkembangannya, kitab tafsir Al-Quran sangat monoton, yakni hanya berisi keterangan tentang makna ayat berdasarkan keterangan Rasulullah SAW dan para shahabat serta tabi’in. Isinya penjelasannya pun hanya sebatas kandungan hukum atau fakta-fakta sejarah pendukung kebenaran kisah-kisah dalam Al-Quran.
Setelah itu muncul tafsir-tafsir Al-Quran yang memuat juga penakwilan ayat-ayat tertentu yang secara eksplisit tidak mudah ditafsirkan. Meski sudah memperkaya corak, setiap kitab biasanya hanya diperkaya satu ranah pengetahuan saja, seperti tafsir sufistik yang berisi penjelasan seputar ilmu tasawuf atau tafsir ahkam yang menitik beratkan ulasannya dalam perspektif hukum.
Baru beberapa waktu kemudian munculah tafsir generasi berikutnya: tafsir multi dimensi. Disebut multi dimensi karena isinya memuat penjelasan tentang berbagai bidang ilmu yang dianggap mempunyai keterkaitan dengan ayat-ayat Al-Quran yang sedang dibahas.
Pemaparannya bisa mencakup ranah sosial, budaya, hukum, kedokteran bahkan tekhnologi.
Penggagasnya? Siapa lagi kalau bukan sang ilmuwan multi disiplin, Imam Ghazali. Namun sayangnya Al-Ghazali belum sempat menyusun tafsir bercorak ilmiah seperti yang diangankannya. Dan idenya baru direalisasikan oleh ulama generasi berikutnya, Imam Fahruddin Ar-Razy melalui kitab tafsirnya Mafatihul Ghaib atau At-Tafsir Kabir.
Dalam kitab yang cukup kontroversial di kalangan mufassir konservatif tersebut Imam Fahruddin Ar-Razy memaparkan berbagai bidang ilmu pengetahuan yang ia anggap memiliki keterkaitan dengan ayat-ayat Al-Quran. Sayangnya, menurut sebagai ahli tafsir modern, pemaparan itu terlalu dominan sehingga mengalahkan isi tafsirnya sendiri. Bahkan secara ekstrim ada ulama lain yang berkomentar, “Ar-Razi telah memaparkan segala hal dalam buku tafsirnya, kecuali tafsir itu sendiri.”
Sementara bagi ulama lain yang menerima karyanya, Mafatih Al-Ghaib atau At-Tafsir Al-Kabir yang terdiri dari 8 jilid itu justru dilihat memiliki berbagai keistimewaan. Di antaranya dalam penjelasan munasabah atau korelasi (keterkaitan) antar ayat atau antar surah. Dalam menguraikan penafsiran suatu ayat, ia selalu menguraikan pembahasan yang memadai tentang munasabah antar ayat tersebut dengan ayat-ayat lain, bahkan antara surah dengan surah yang lain.
Keturunan Abu Bakar
Imam Fahruddin Ar-Razy yang bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Umar bin al-Husin Al-Taimi Al-Bakri At-Tabaristani Ar-Razi itu lahir di Rayy, Persia, tak jauh dari Teheran, Iran modern, tahun 543 H. Dari garis ayah, nasab ulama ahli falsafah, ilmu aqidah dan faqih madzhab Syafi’i itu kepada Abu Bakar Shiddiq, sahabat dan mertua Rasulullah SAW.
Pengajiannya diawali di rumahnya, ia mengaji ilmu kalam, fiqih dan berbagai pengetahuan umum seperti kedokteran, fisika dan astronomi kepada ayahnya sendiri, Syaikh Dhiyauddin, ulama terkemuka masa itu yang berjuluk Khathib Ar-Rayy. Setelah sang ayah wafat, Ar-Razi meneruskan pengajian kepada beberapa ulama di kotanya seperti Imam Al-Baghawi (ahli tafsir dan hadits), Syaikh Majduddin Al-Jilli (ilmu kalam dan filsafat) dan Kamal Samnani.
Berkat kecerdasannya, dalam usia muda Ar-Razi telah menguasai berbagai cabang ilmu agama dan ilmu-ilmu pengetahuan modern untuk ukuran saat itu. Tak hanya mempelajari, beberapa kitab induk seperti Asy-Syamil karya Al-Juwaini (ilmu kalam), Al-Mustasyfa karya Al-Ghazali dan Al-Mu’tamad karya Al-Basri ia hafalkan di luar kepala.
Kedalaman pengetahuannya dalam fiqih madzhab Syafi’i dan teologi aliran Asy’ariyyah juga sangat terkenal di kotanya. Bahkan belakangan tokoh yang juga dikenal dengan julukan Ibnul Khathib itu termasuk salah seorang ulama terkemuka dua madzhab tersebut.
Ar-Razi kemudian mengembara mencari ilmu ke Khawarizmi. Di setiap tempat yang disinggahinya, orang-orang mengerumuninya untuk menuntut ilmu. Di kemudian hari tempat-tempat yang pernah dikunjunginya ia catat dengan rapi di salah satu bukunya yang berjudul Munzharat Fakhruddin Ar-Razi fi Bilad Ma Wara an-Nahar, lengkap dengan nama murid-murid dan ulama yang pernah disowaninya. Di berbagai tempat itu ia juga bertemu dan berdebat dengan beberapa aliran sesat seperti Mu’tazilah, Syiah dan Qaramithah.
Di masa tuanya, Ar-Razi menetap di Herat, Afghanistan. Di tempat itu ia membangun masjid, mengajar dan menulis beberapa kitab hingga ajal menjemput nyawanya pada tahun 606 H/1209 M. Di kota Herat itu pula jenazah tokoh yang telah menulis tak kurang dari 81 judul kitab itu dimakamkan.
Meski pernah menulis karya tafsir yang sangat terkenal, Ar-Razi lebih dikenal sebagai ahli fiqih dan filosof. Beberapa karya di bidang filsafatnya ialah Syarih al-Isyarat, yang berisi komentarnya mengenai kitab Al-Isyarat wa At-Tanbihat karya Ibnu Sina. Sedangkan di bidang ushul fiqh karya besarnya berjudul Al-Mahshul fi ‘Ilmi Al-Ushul, yang merangkum empat kitab besar dalam madzhab Syafi’i dan pendapat para ahli ilmu kalam.
Sementara karya tafsirnya, Mafatihul Ghaib, belakangan menginspirasi beberapa mufassir lain seperti Al-Baidhawi (w. 691 H), Nizhamuddin Al-Qummi An-Naisaburi (w. 728 H) dan Az-Zarkasyi (w. 794 H).
Luar biasa!
(Rayy,
Iran, 1149 – Herat, Afganistan, 1209). Seorang Musafir, mutakalim, ahli usul
fikih dan pengamat perkembangan pemikiran, sosial dan kehdupan masyarakat. Nama
lengakapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Umar bin Husain at-Tamimi
al-Bakri. Fakhruddin ar-Razi dikenal juga dengan nama ar-Razi atau Imam
Fakhruddin.
Pendidikan awal diterima dari orangtuannya yang bernama Dauddin, seorang ulama dan pemikir yang dikagumi masyarakat Rayy. Selanjutnya ia belajar kepada ulama-ulama besar lainnya. Filsafat dipelajarinnya dari dua ulama besar bernama Muhammad al-Bagawi dan Majdin al-Jilli. Ilmu kalam dipelajarinya dari Kamaluddin as-Samani. Kecerdasanya mennjadikannya ahli dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, baik agama maupun umum, seperti kedokteran, matematika, fisika, bahkan, astronomi.
Kematangan pengetahuan Fakhruddin membuatnnya berani berdialog dengan para tokoh ditanah kelahirannya dan dibeberapa daerah lain. Dialog pertama terjadi dengan kaum *Muktazilah di Khawarizmi (Asia Tengah) dan dengan para ahli agama lainnya, seperti seorang pendeta besar yang dikagumi pengetahuannya oleh masyarakat Kristen. Dialognya dengan Pendeta ini ditulis dalam buku al-Munazarat bain an-Nasara.
Fakhruddin kemudian meninggalkan Khawarizmi menuju Transosania (Asia Tengah). Disini ia disambut hangat oleh penguasa Dinasti Guri, Giyatuddin, dan saudaranya, Syihabuddin. Akan tetapi keadaan, itu hanya berjalan sebentar, karena ia kemudian mendapat serangan-serangan tajam dari golongan *Karamiah. Akibatnya, ia meninggalkan Transaksonia menuju Gazna (kini di Afganistan). Sebagaimana di Transoksania, pengusa Khawarizmsyah di Gazna, Alaaddin, menyambutnya dengan penuh kehormatan dan mendirikan sebuah perguruan baginya. Ke situ berdaangan para pencari ilmu dari berbagai daerah, baik dari daerah yang telah dikuasai Islam maupun dari luarnya.
Beberapa bulan setelah kitabnya yang berjudul al-Matalib al-Aliyah (kitab Teologi dan Filsafat) selesai ditulis, Fakhruddin ar-Razi meninggal dunia dalam usia 60 tahun.
Dalam bidang fikih Fakhruddin menganut Mazhab *Syafi’i. Ia juga termasuk salah seorang yang gigih mempertahankan pemikiran yang dikembangkan kaum *Asy’ariyah. Sebagai seorang yang mendalami teologi, kajian-kajian teologi dikembangkanya melalui pendekatan filsafat. Karena pendekatanya itu, ia dianggap sebagai seorang *Muktazilah. Namun konsep dasar Muktazilah pun tidak luput dari kajian dan kritiknya.
Peranan Fakhruddin ar-Razi dalam pengembangan cakrawala pemikiran umat Islam tak dapat dilepskan dari perhatian yang diberikan penguasa. Kemunduran semangat intelektualitas dalam Islam sebagai akibat jatuhnya Dinasti *Abbasiyah ke tangan bangsa Tartar dalam aspek politik, agama maupun peradaban sangat parah, khususnya di daerah-daerah yang dikuasai kaum Suni. Keadaan semacam inilah yang mendapat perhatian dari Fakhruddin. Keterputusan pemikiran filsafat dalam dunia Islam dicoba untuk dihubungkan kembali.
Fakhruddin dinyatakan sebagai tokoh reformasi dunia Islam pada abad ke-6 H, sebagaimana tokoh Abu Hamid al-*Gazali pada abad ke-5 H. Bahkan ia dijuluki tokoh pembangun sistem teologisnya mengambil bentuk yang berbeda dari tokoh-tokoh teologi sebelumnya. Tema-tema teologis dikaitkan dengan tema-tema cabang pengetahuan lainnya. Sayyid Husein an-Nasr, seorang penulis Iran dan pemikir mistik modern, menjelaskan bahwa dalam risalah yang berjudul Asrar at-Tanzil, Fakhruddin mengawinkan tema etika dengan pembahasan teologis.
Permasalahan manusia dan kebebasannya, yang merupakan ajang perbedaan pendapat yang tak berkeputusan di kalangan kaum mutakalim, mendapat pembahasan yang berbeda dari Fakhruddin. Menurut pandangannya, manusia, dalam melakukan perbuatan atau tidak melakukannya, sangat terkait dengan keyakinan terhadap perbuatan akibat yang dilakukannya, baik maupun buruk. Keyakinan tersebut oleh Fakhruddin diistilahkan dengan ad-da’iyat, dorongan melakukan perbuatan dan as-sarifat, dorongan meninggalkan atau tidak melakukan perbuatan. Ad-da’iyat dan as-sarifat, dalam mewujudkan perbuatan, tidak dapat berdiri sendiri; keduanya membutuhkan suatu daya yang disebut al-qudrat. Ketiga unsur tersebut adalah ciptaan Tuhan yang diberikan kepada manusia, karena itu perbuatan yang dilakukan manusia adalah perbuatan manusia.
Mengenai masalah penilaian baik dan buruk, Fakhruddin membaginya ke dalam dua bentuk. Pertama, yang menyangkut kesenangan dan kepuasan manusia sangat bergantung pada manusia sendiri. Kedua, yang menyangkut hukum, apakah suatu perbuatan harus dilaksanakan atau terpaksa harus ditinggalkan, syariatlah yang harus menentukannya. Dalam hal terakhir manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk mengaturnya.
Sebagaiman permasalahan manusia dan perbuatannya, dalam permasalahan sifat Tuhan, Fakhruddin sepakat dengan kalangan Asy’ariyah. Ia mengakui adanya sifat-sifat Tuhan. Akan tetapi sifat Tuhan itu berjumlah delapan sifat, sebagaimana dikembangkan oleh Imam Syafi’i yaitu wahdaniyat (esa), al-hayah (hidup), al-I’lm (berilmu), al-qudrah (berkuasa), al-Iradah (berkehendak), as-Sam’u (mendengar), al-bashar (melihat) dan al-kalam (berkata).
Dalam mengahadapi ayat-ayat yang berkonotasi tasjim dan tasykhis (antropomorfis) bagi Tuhan, Fakhruddin memahaminya dengan ayat-ayat majasi (kiasan), yang perlu ditakwilkan dan dipahami secara metafora. Tuhan menurutnya adalah Maha Suci dari semua penyerupaan dan penyamaan. Tuhan tidak berjisim, karena yang berjisim memerlukan ruang dan waktu, serta memerlukan adanya dimensi. Setiap yang berdimensi adalah terbatas, dan setiap yang terbatas bukanlah Tuhan. Tuhan, menurutnya, adalah Wajib al-Wujud li zatih (Wajib adaNya karena Zat-Nya) dan Ia mempunyai beberapa keistimewaan, yaitu: la yatarakkab min Gairih (Tidak tersusun dari unsur lain); la yatarakkabu ‘anhu gairuh (selainya bukan berasal dari Zat-Nya); la yakunu wujuduh za’idan ‘ala mahiyatih (wujud-Nya bukan di luar Hakikat-Nya); dan la yakunu musytarikan bain al-isnain (ia bukan kombinasi dua unsur).
Dalam masalah fikih, pemikiran yang dikembangkan Fakhruddin melalui karya-karya tafsirnya yang berjudul Mafatih al-Gayb (Pembuka yang Gaib) sejalan dengan pendapat dan pemikiran kaum as-Syafi’iyah pada umumnya. Namun dalam permasalahan usul fikih, menurutnya, *istinbat hukum tidak perlu ditempuh melalui pendekatan analogi (*kias).
Fakhruddin lebih kurang menghasilkan seratus karya tulis dalam berbagai aspek pengetahuan yang berkembang di zamanya. Semua karya tersebut dapat dipilih dalam beberapa bidang.
Dalam bidang tafsir Al-Qur’an, terdapat karya monumental, yaitu kitab Mafatih al-Gayb (16 Jilid beredar hampir ke seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia), Tafsir Surah al-Fatihah, dan Tafsir Surah al-Baqarah.
Dalam bidang Ilmu Kalam, karya tulisnya mencakup beberapa buku, di antaranya: (1) Al-Matalib al-‘Aliyah min al-‘Ilm al-Ilahi, terdiri dari 9 jilid, terbitan pertama oleh Dar al-Kutub al-‘Arabi, Beirut, tahun 1987, tahqiq (diedit) oleh Dr. Ahmad Hijazi as-Saqa; (2) Asas at-Taqdis (Dasar-Dasar Penyucian), terbitan pertama oleh Mushtafa al-Halabi, Mesir, tahun 1935; (3) Al-Arba’in Fi Ushul ad-Din (Tentang empat puluh pokokagama), terbitan pertama oleh Dar al-Ma’arif Heydrabat, tahun 1952; (4) Muhassal Afkar al-Mutaqaddimin wa al-Mutaakhirin min ‘Ulama’ wa al-Hukama’ wa al-Mutakallimin, diterbitkan oleh Maktabah al-Kulliyah al-Azhariyat.
Dalam bidang tasawuf karya-karyanya antara lain Kitab Irsyad an-Nazar ila Lata’if al-Asrar dan Kitab Syarh ‘Uyun al-Hikmah. Dalam bidang Filsafat, antara lain Kitab Syarh Qasim al-Ilahiyyat min al-Isyarah li ibn Sina dan Lubab al-Isyarah. Dalam bidang sejarah, antara lain Kitab Manaqib al-Imam as-Syafi’i dan Kitab Syarh Saqt al-Zind li al-Mu’ri. Dalam bidang usul fikih, antara lain al-Mahsul fi ‘Ilm Ushul al-Fiqh (terbit tahun 1979).
Di samping kitab-kitab tersebut, masih terdapat banyak manuskrip lain tulisan Fakhruddin, baik dalam tulisan Arab maupun dalam tulisan Persia.
Pendidikan awal diterima dari orangtuannya yang bernama Dauddin, seorang ulama dan pemikir yang dikagumi masyarakat Rayy. Selanjutnya ia belajar kepada ulama-ulama besar lainnya. Filsafat dipelajarinnya dari dua ulama besar bernama Muhammad al-Bagawi dan Majdin al-Jilli. Ilmu kalam dipelajarinya dari Kamaluddin as-Samani. Kecerdasanya mennjadikannya ahli dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, baik agama maupun umum, seperti kedokteran, matematika, fisika, bahkan, astronomi.
Kematangan pengetahuan Fakhruddin membuatnnya berani berdialog dengan para tokoh ditanah kelahirannya dan dibeberapa daerah lain. Dialog pertama terjadi dengan kaum *Muktazilah di Khawarizmi (Asia Tengah) dan dengan para ahli agama lainnya, seperti seorang pendeta besar yang dikagumi pengetahuannya oleh masyarakat Kristen. Dialognya dengan Pendeta ini ditulis dalam buku al-Munazarat bain an-Nasara.
Fakhruddin kemudian meninggalkan Khawarizmi menuju Transosania (Asia Tengah). Disini ia disambut hangat oleh penguasa Dinasti Guri, Giyatuddin, dan saudaranya, Syihabuddin. Akan tetapi keadaan, itu hanya berjalan sebentar, karena ia kemudian mendapat serangan-serangan tajam dari golongan *Karamiah. Akibatnya, ia meninggalkan Transaksonia menuju Gazna (kini di Afganistan). Sebagaimana di Transoksania, pengusa Khawarizmsyah di Gazna, Alaaddin, menyambutnya dengan penuh kehormatan dan mendirikan sebuah perguruan baginya. Ke situ berdaangan para pencari ilmu dari berbagai daerah, baik dari daerah yang telah dikuasai Islam maupun dari luarnya.
Beberapa bulan setelah kitabnya yang berjudul al-Matalib al-Aliyah (kitab Teologi dan Filsafat) selesai ditulis, Fakhruddin ar-Razi meninggal dunia dalam usia 60 tahun.
Dalam bidang fikih Fakhruddin menganut Mazhab *Syafi’i. Ia juga termasuk salah seorang yang gigih mempertahankan pemikiran yang dikembangkan kaum *Asy’ariyah. Sebagai seorang yang mendalami teologi, kajian-kajian teologi dikembangkanya melalui pendekatan filsafat. Karena pendekatanya itu, ia dianggap sebagai seorang *Muktazilah. Namun konsep dasar Muktazilah pun tidak luput dari kajian dan kritiknya.
Peranan Fakhruddin ar-Razi dalam pengembangan cakrawala pemikiran umat Islam tak dapat dilepskan dari perhatian yang diberikan penguasa. Kemunduran semangat intelektualitas dalam Islam sebagai akibat jatuhnya Dinasti *Abbasiyah ke tangan bangsa Tartar dalam aspek politik, agama maupun peradaban sangat parah, khususnya di daerah-daerah yang dikuasai kaum Suni. Keadaan semacam inilah yang mendapat perhatian dari Fakhruddin. Keterputusan pemikiran filsafat dalam dunia Islam dicoba untuk dihubungkan kembali.
Fakhruddin dinyatakan sebagai tokoh reformasi dunia Islam pada abad ke-6 H, sebagaimana tokoh Abu Hamid al-*Gazali pada abad ke-5 H. Bahkan ia dijuluki tokoh pembangun sistem teologisnya mengambil bentuk yang berbeda dari tokoh-tokoh teologi sebelumnya. Tema-tema teologis dikaitkan dengan tema-tema cabang pengetahuan lainnya. Sayyid Husein an-Nasr, seorang penulis Iran dan pemikir mistik modern, menjelaskan bahwa dalam risalah yang berjudul Asrar at-Tanzil, Fakhruddin mengawinkan tema etika dengan pembahasan teologis.
Permasalahan manusia dan kebebasannya, yang merupakan ajang perbedaan pendapat yang tak berkeputusan di kalangan kaum mutakalim, mendapat pembahasan yang berbeda dari Fakhruddin. Menurut pandangannya, manusia, dalam melakukan perbuatan atau tidak melakukannya, sangat terkait dengan keyakinan terhadap perbuatan akibat yang dilakukannya, baik maupun buruk. Keyakinan tersebut oleh Fakhruddin diistilahkan dengan ad-da’iyat, dorongan melakukan perbuatan dan as-sarifat, dorongan meninggalkan atau tidak melakukan perbuatan. Ad-da’iyat dan as-sarifat, dalam mewujudkan perbuatan, tidak dapat berdiri sendiri; keduanya membutuhkan suatu daya yang disebut al-qudrat. Ketiga unsur tersebut adalah ciptaan Tuhan yang diberikan kepada manusia, karena itu perbuatan yang dilakukan manusia adalah perbuatan manusia.
Mengenai masalah penilaian baik dan buruk, Fakhruddin membaginya ke dalam dua bentuk. Pertama, yang menyangkut kesenangan dan kepuasan manusia sangat bergantung pada manusia sendiri. Kedua, yang menyangkut hukum, apakah suatu perbuatan harus dilaksanakan atau terpaksa harus ditinggalkan, syariatlah yang harus menentukannya. Dalam hal terakhir manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk mengaturnya.
Sebagaiman permasalahan manusia dan perbuatannya, dalam permasalahan sifat Tuhan, Fakhruddin sepakat dengan kalangan Asy’ariyah. Ia mengakui adanya sifat-sifat Tuhan. Akan tetapi sifat Tuhan itu berjumlah delapan sifat, sebagaimana dikembangkan oleh Imam Syafi’i yaitu wahdaniyat (esa), al-hayah (hidup), al-I’lm (berilmu), al-qudrah (berkuasa), al-Iradah (berkehendak), as-Sam’u (mendengar), al-bashar (melihat) dan al-kalam (berkata).
Dalam mengahadapi ayat-ayat yang berkonotasi tasjim dan tasykhis (antropomorfis) bagi Tuhan, Fakhruddin memahaminya dengan ayat-ayat majasi (kiasan), yang perlu ditakwilkan dan dipahami secara metafora. Tuhan menurutnya adalah Maha Suci dari semua penyerupaan dan penyamaan. Tuhan tidak berjisim, karena yang berjisim memerlukan ruang dan waktu, serta memerlukan adanya dimensi. Setiap yang berdimensi adalah terbatas, dan setiap yang terbatas bukanlah Tuhan. Tuhan, menurutnya, adalah Wajib al-Wujud li zatih (Wajib adaNya karena Zat-Nya) dan Ia mempunyai beberapa keistimewaan, yaitu: la yatarakkab min Gairih (Tidak tersusun dari unsur lain); la yatarakkabu ‘anhu gairuh (selainya bukan berasal dari Zat-Nya); la yakunu wujuduh za’idan ‘ala mahiyatih (wujud-Nya bukan di luar Hakikat-Nya); dan la yakunu musytarikan bain al-isnain (ia bukan kombinasi dua unsur).
Dalam masalah fikih, pemikiran yang dikembangkan Fakhruddin melalui karya-karya tafsirnya yang berjudul Mafatih al-Gayb (Pembuka yang Gaib) sejalan dengan pendapat dan pemikiran kaum as-Syafi’iyah pada umumnya. Namun dalam permasalahan usul fikih, menurutnya, *istinbat hukum tidak perlu ditempuh melalui pendekatan analogi (*kias).
Fakhruddin lebih kurang menghasilkan seratus karya tulis dalam berbagai aspek pengetahuan yang berkembang di zamanya. Semua karya tersebut dapat dipilih dalam beberapa bidang.
Dalam bidang tafsir Al-Qur’an, terdapat karya monumental, yaitu kitab Mafatih al-Gayb (16 Jilid beredar hampir ke seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia), Tafsir Surah al-Fatihah, dan Tafsir Surah al-Baqarah.
Dalam bidang Ilmu Kalam, karya tulisnya mencakup beberapa buku, di antaranya: (1) Al-Matalib al-‘Aliyah min al-‘Ilm al-Ilahi, terdiri dari 9 jilid, terbitan pertama oleh Dar al-Kutub al-‘Arabi, Beirut, tahun 1987, tahqiq (diedit) oleh Dr. Ahmad Hijazi as-Saqa; (2) Asas at-Taqdis (Dasar-Dasar Penyucian), terbitan pertama oleh Mushtafa al-Halabi, Mesir, tahun 1935; (3) Al-Arba’in Fi Ushul ad-Din (Tentang empat puluh pokokagama), terbitan pertama oleh Dar al-Ma’arif Heydrabat, tahun 1952; (4) Muhassal Afkar al-Mutaqaddimin wa al-Mutaakhirin min ‘Ulama’ wa al-Hukama’ wa al-Mutakallimin, diterbitkan oleh Maktabah al-Kulliyah al-Azhariyat.
Dalam bidang tasawuf karya-karyanya antara lain Kitab Irsyad an-Nazar ila Lata’if al-Asrar dan Kitab Syarh ‘Uyun al-Hikmah. Dalam bidang Filsafat, antara lain Kitab Syarh Qasim al-Ilahiyyat min al-Isyarah li ibn Sina dan Lubab al-Isyarah. Dalam bidang sejarah, antara lain Kitab Manaqib al-Imam as-Syafi’i dan Kitab Syarh Saqt al-Zind li al-Mu’ri. Dalam bidang usul fikih, antara lain al-Mahsul fi ‘Ilm Ushul al-Fiqh (terbit tahun 1979).
Di samping kitab-kitab tersebut, masih terdapat banyak manuskrip lain tulisan Fakhruddin, baik dalam tulisan Arab maupun dalam tulisan Persia.
Tahun ini, FRC mengambil tajuk “Membentuk Generasi Ulama-Intelek”. Satu tajuk yang sejatinya menggambarkan konsep ilmu dalam Islam yang tak mengenal dikotomi. Karena karena ternyata di tengah-tengah umat Islam sikap dikotomis dalam memandang dan mengamalkan ilmu masih begitu menyengat aromanya. Padahal, Imam Fakhruddin Ar-Razi (543 H/1148 M-606 H/1209 M) sendiri adalah model “ulama-intelek” yang menolak dikotomi ilmu. Dalam kamusnya tidak ada istilah ilmu umum dan ilmu agama. Anehnya, sedikit yang merasa bahwa istilah ilmu umum dan ilmu agama adalah istilah yang keliru dan rancu. Karena kata “umum” biasanya dihadapkan dengan “khusus”. Sehingga “agama” lebih tepat dihadapkan dengan “filsafat”.
Sebagai model ulama-intelek yang dimiliki oleh Islam, Imam Fakhruddin Ar-Razi membuktikan bahwa memang tidak boleh ada dikotomi. Dalam cabang ilmu Fiqh dan Ushul al-Fiqh, Imam Ar-Razi mengarang buku tebal al-Maḥṣūl fī ‘Ilm al-Uṣūl; dalam Tafsir dan Ilmu-ilmu Al-Qur’an dia mengarang al-Tafsīr al-Kabīr yang disebutnya dengan Mafātīḥ al-Ghaib, ‘Ajā’ib al-Qur’ān; Asrār al-Tanzīl wa Anwār al-Ta’wīl; Tafsīr Sūrat al-Ikhlāṣ; Tafsīr Sūrat al-Fātiḥah atau Mafātīḥ al-‘Ulūm; dan Risālah fī al-Tanbīh ‘alā Ba‘ḍ al-Asrār al-Muwadda‘ah fī Ba‘ḍ Āyāt al-Qur’ān al-Karīm
Dalam Ilmu Kalam, Imam Ar-Rāzī menulis banyak buku penting, seperti: Ajwibat al-Masā’il al-Najjāriyyah; al-Arba‘īn fī Uṣūl al-Dīn; Irsyād al-Naẓā’ir ilā Laṭā’if al-Asrār; Asās al-Taqdīs; al-Isyārah fī ‘Ilm al-Kalām; al-Bayān wa al-Burhān fī al-Radd ‘alā Ahl al-Zaigh wa al-Ṭughyān; Taḥṣīl al-Ḥaqq; al-Jabr wa al-Qadar; al-Jawhar al-Fard; Ḥudūts al-‘Ālam; al-Khalq wa al-Ba‘ts; al-Khamsīn fī Uṣūl al-Dīn; al-Zubdah fī ‘Ilm al-Kalām; Syarḥ Asmā’ Allāh al-Ḥusnā aw Lawāmi‘ al-Bayyināt fī Syarḥ Asmā’ Allāh al-Ḥusnā wa al-Ṣifāt; ‘Iṣmat al-Anbiyā’; al-Risālah al-Kamāliyyah fī al-Ḥaqā’iq al-Ilāhiyyah; al-Mabāḥit al-‘Imādiyyah fī al-Maṭālib al-Ma‘ādiyyah; al-Maḥṣūl fī ‘Ilm al-Kalām; Risālah al-Ma‘ād; al-Ma‘ālim fī Uṣūl al-Dīn; Risālah fī al-Nubuwwāt; dan Nihāyat al-‘Uqūl fī Dirāyat al-Uṣūl.
Dalam Logika dan Filsafat, Imam Ar-Rāzī mengarang: al-Āyāt al-Bayyināt fī al-Manṭiq; Ajwibat Masā’il al-Mas‘ūdī; al-Akhlāq; Aqsām al-Dzāt; Ta‘jīz al-Falāsifah; Risālah fī Ziyārat al-Qubūr; Syarḥ al-Isyārāt wa al-Tanbīhāt dan Syarḥ ‘Uyūn al-Ḥikmah karya Ibn Sīnā; Lubāb al-Isyārāt; al-Mabāḥits al-Masyriqiyyah; al-Mulakhkhaṣ fī al-Ḥikmah wa al-Manṭqi; Mabāḥits al-Wujūd wa al-‘Adam; al-Manṭiq al-Kabīr; Fī al-Nafs wa al-Rūḥ; dan al-Hudā fī al-Falsafah.
Beberapa buku penting dalam Dialektika (al-Jadal) juga dikarang oleh Imam Ar-Rāzī, seperti: al-Jadal; Syifā’ al-‘Ayy wa al-Khilāf; al-Ṭarīqah al-‘Alā’iyyah fī al-Khilāf; dan Fī al-Khilāf wa al-Jadal.
Kemudian dalam Fiqh dan Uṣūl al-Fiqh, beberapa buku penting lahir dari ketajaman mata penanya, seperti: Ibṭāl al-Qiyās; Iḥkām al-Aḥkām; al-Barāhīn al-Bahā’iyyah; Syarḥ al-Wajīz karya Imam al-Ghazālī; al-Maḥṣūl fī ‘Ilm al-Uṣūl; al-Ma‘ālim fī Uṣūl al-Fiqh; Muntakhab al-Maḥṣūl fī Uṣūl al-Fiqh; dan al-Nihāyat al-Bahā’iyyah fī al-Mabāḥits al-Qiyāsiyyah.
Dalam Bahasa Arab dan Sastra, Imam Ar-Rāzī menghasilkan dan mewariskan beberapa kitab penting, yaitu: Syarḥ Saqṭ al-Zand karya Abū al-‘Alā’ al-Ma‘arrī; Syarḥ Nahj al-Balāghah; dan al-Muḥarrar fī Ḥaqā’iq aw Daqā’iq al-Naḥw; Nihāyat al-Ījāz fī Dirāyat al-I‘jāz. Kemudian ada dua buku penting yang ditulisnya dalam bidang sejarah, yakni: Faḍā’il al-Ṣaḥābah dan Manāqib al-Imām al-Syāfi‘ī.
Dalam Matematika, Falak dan Kedokteran, Imam Ar-Rāzī menghasilkan banyak karya penting, seperti: al-Handasah; Risālah fī ‘Ilm al-Hai’ah; al-Ṭibb wa al-Farāsah; al-Asyribah; al-Tasyrīḥ min al-Ra’s ilā al-Ḥalq; Syarḥ al-Qānūn fī al-Ṭibb karya Ibn Sīnā; al-Ṭibb al-Kabīr atau al-Jāmi‘ al-Kabīr; dan Risālah fī ‘Ilm al-Farāsah.
Selain karya-karya di atas, Imam Ar-Rāzī juga menulis buku seputar sihir dan perbintangan (astronomi). Karya-karya dalam bidang ini adalah: al-Aḥkām al-‘Alā’iyyah fī al-A‘lām al-Samāwiyyah; al-Sirr al-Maktūm fī Mukhāṭabat al-Syams wa al-Qamar wa al-Nujūm; dan Muntakhab Durj Tnkuloncha aw Dnkuloha.
Selain itu semua, Imam Ar-Rāzī memiliki banyak karya penting, seperti: I‘tiqādāt Firaq al-Muslimīn wa al-Musyrikīn; Jāmi‘ al-‘Ulūm; Ḥadā’iq al-Anwār; al-Riyāḍ al-Mūniqah fī al-Milal wa al-Niḥal; al-Laṭā’if al-Ghiyātsiyyah; Munāẓarāt Fakhr al-Dīn al-Rāzī; al-Waṣiyyah; Tahdzīb al-Dalā’il wa ‘Uyūn al-Masā’il; Jawāb al-Ghailānī; al-Ri‘āyah; Risālah fī al-Su’āl; al-Risālah al-Ṣāḥibiyyah; al-Risālah al-Majdiyyah; dan Naftsat al-Maṣdūr.
Dari sekian banyak karya yang ditinggalkan dan diwariskan oleh Imam Ar-Rāzī tampak nyata bahwa dikotomi ilmu tidak ada dalam kamusnya. Seluruh ilmu sumbernya satu, Allah Subhanahu Wata'ala. Dan ilmu-ilmu itu, selama tidak bertentangan dengan syariat-Nya, harus dipelajari. Fakhruddin Ar-Razi Competition sejatinya ingin memicu dan memacu para pelajar Muslim untuk meneladani Imam Ar-Rāzī sebagai sosok ulama-intelek. Wallāhu a‘lamu bi al-ṣawāb!
Penulis adalah pengajar di Pondok Pesantren Ar-Raudlatul Hasanah, Medan, Sumatera Utara. Penulis buku “Salah Paham tentang Islam: Dialog Teologis Muslim-Kristen di Dunia Maya” (2012)
Fakhruddin al-Razi Dan
Kitab Tafsirnya (Mafatih al-Ghayb)
Fakhruddin
al-Razi Dan Kitab Tafsirnya (Mafatih al-Ghayb)
Banyak
yang menganggap bahwa filsafat Islam menjadi stagnan setelah al-Ghazali menulis
taha>fut al-Fala>sifah. Banyak pula yang menganggap bahwa
kala>m dan filsafat adalah dua ilmu yang tidak pernah bisa akur. Untuk
membuktikan kesalahan asumsi ini perlu diungkapkan seorang tokoh muttakalim
yang sekaligus juga filosof yang hidup setelah zaman al-Ghazali. Tokoh tersebut
adalah Muhammad Ibnu ‘Umar al-Ra>zi> al Tabrasta>ni> al Quraanaknya
da’i) atau ibn Khatib al-Rayy (anaknya da’i dari Rayy) karena ayahnya adalah
penceramah ulung di Mesjid Rayy. Beliau dijuluki juga al-Imam karena menguasai
usul fiqh dan kalam dengan sangat mendalam. Beliau digelar juga sebagai
Fakhruddin (kebanggaan agama dari Rayy) karena penguasaannya yang sangat
mendalam tentang berbagai disiplin keilmuan menyebabkannya berbeda dengan para
tokoh pemikir muslim yang berasal dari rayy. Di Hera>t, julukan beliau
adalah Saikh al-Islam karena otoritas keilmuan yang beliau miliki dalam lintas
disiplin ilmu seperti al-Qur'an, al-Hadits, tafsir, fiqh, ushul fiqh, sastra
Arab, perbandingan agama, filsafat, logika, matematika, fisika dan kedokteran.
Beliau
lahir di Rayy pada bulan Ramadhan 544 H bertepatan dengan tahun 1149 M.[1]
Sepuluh abad yang lalu, Rayy, yang lokasinya sekarang berada di Teheran,
merupakan sejumlah sebuah kota besar berada di daerah Jibal, tenggara
Teheran.[2] Dari Rayy ini telah lahir banyak tokoh pemikir muslim terkenal
diantaranya: Abu Bakr Muhammad Ibnu Zakariya al-Razi[3] (m. 311 H/923 M),
Abdurrahman Ibnu Abi Hatim al-Razi[4] (m. 327 H/938 M), Abu al-Husayn Ahmad Ibn
Faris ibn Zakariya al-Razi[5] (m. 395 H/1004 M), Abu Bakr al-Razi al-Jassas[6]
(m. 370 H), Muhammad ibn Abi Bakr ibn “Abdul Qadir” al-Razi[7] (m. 691 H/1291
M), dan Qutbuddin al-Razi[8] (m. 766 H), dan Fakhruddin al-Razi (m. 606 H/1210
M). Namun, dari tahun kelahiran dan wafatnya Fakhruddin al-Razi hidup sejaman
dengan beberapa tokoh intelektual muslim seperti Ibn Rushd (520/1126 –
595/1198)[9], Ibn ‘Arabi (560/1165 – 638/1240).[10] Syaifuddin al-Amidi
(551/1156 – 631/1233)[11] dan al-Suhrawardi (549/1154 - 587/1191)[12].
Latar
belakang pendidikan dan keluarga
Karena
al-Razi merujuk pada nama tempat kelahiran, maka ia tidak dapat dipakai untuk
menentukan identitas.[13] Oleh karena itu perlu diungkapkan latarbelakang
pendidikan dan keluarganya. Fakhruddin al-Razi mendapatkan pendidikan awal dari
ayahnya. Pendidikan tersebut sangat berkesan pada dirinya. Pada saat itu dia
“al-Din” Umar, ayah Fakhruddin al-Razi adalah seorang tokoh ulung Rayy.
Sebagaimana diakui oleh Fakhruddin al-Razi sendiri, ayahnya adalah murid dari
Abu al-Qosim Sulaiman ibn Nasir al-Ansari murid kepada Imam al-Haraimain Abu
al-Ma’ali (m. 478/1085), murid kepada Abu Ishaq Asfara ini (m. 418/1027), murid
kepada Abu al-Hasan al-Bahili, murid Abu al-Hasan “Ali Ibn” Isma’il al-Ash’ari.
Selain teologi, ayahnya juga menguasai fiqih. Ayahnya adalah murid kepada Abu
Muhammad al-Husan ibn Mas’ud al-Fara’ al-Bagawi (m. 510/1116), murid kepada
al-Qodi Husain al-Marmazi, murid kepada al-Qaffal al-Marwazi (m. 417/1026),
murid kepada Abu Yazid al-Marwai, murid kepada Abu Ishaq al-Marwazi, murid
kepada Abu al-Abbas ibn Suraij, murid kepada Abu al-Qasim al-Anmati, murid
kepada Abu Ibrahim al-Muzani (m. 264/877), murid Imam al-Shafi’i.[14]
Pengetahuan
Fakhruddin al-Razi, tentang teologi dan fiqh, sebagaimana ia akui sendiri,
berasal dan berawal dari ayahnya sendiri.[15] Dalam beberapa karyanya, ia
menggelar ayahnya sebagai al-Syaykh al-Walid, al-Ustadh al-Walid dan al-Imam
al-Said.
Ayahnya
memiliki berbagai karya diantaranya Ghayat al-Maram fi ‘Ilm al-Kalam (Puncak
kedambaan dalam Teologi).[16] Menurut al-Subki buku tersebut termasuk buku Ahli
Sunnah yang paling berharga dan sangat lugas (min anfus kutub ahl-Sunnah wa
ashadduha tahqiqan). Dalam pandangan al-Subkhi ayahnya memiliki kefasihan
bahasa, hafalan yang kuar, pakar dalam fiqh, usul fiqh, teologi, shufi,
ceramah, hadith, sastrawan yang prosanya sangat baik, keindahan, kecantikan
serta sajak yang memukai dari ucapannya mengingatkan kembali kepada Maqamat
al-Hariri.[17]
Setelah
ayahnya meninggal pada tahun 559 H, Fakhruddin al-Razi, yang saat itu berusia
15 tahun, merantau ke berbagai daerah. Beliau pertama kali merantau ke Simnan
dan mendalami fiqh kepada al-Kamal al-Samnani. Beliau kemudian kembali lagi ke
Rayy dan berguru kepada Majduddin al-Jilli,[18] dalam masalah teologi dan
filsafat. Ketika al-Jilli berpindah ke Maraghah[19] untuk mengajar di sana,
Fakhruddin al-Razi ikut menemani gurunya. Salah seorang teman seperguruannya di
Maragha adalah Shihabuddin al-Suhrawardi, seorang filosof yang menengalkan gagasan
filsafat alternatif terhadap filsafat Aristoteles yang pada saat itu cukup
berpengaruh.
Di
samping memiliki guru yang memang pakar dalam bidangnya, Fakhruddin al-Razi
sendiri termasuk seorang yang pintar, cerdas dan otodidak. Fakhruddin al-Razi
mengatakan: “Aku seorang pecinta ilmu, oleh sebab itu aku tetap menulis segala
sesuatu dengan tidak memperhatikan kuantitas dan metodologinya baik itu benar
atau salah, sedikit ataupun banyak”. (Kuntu rajulan muhibban li al-‘ilm
fakuntu aktubu fi kull shay’in shay’ an la aqifu ‘ala kammiyyatihi wa
kayfiyatihi sawa’un akana haqqan aw batilan aw qhaththan aw saminan).[20]
Selain
itu, Fakhruddin al-Razi kemampuan menghafal yang luar biasa. Konon ia telah
menghafal karya al-Shamil fi Usul al-Din, karya Imam al-Haramain, al-Mu’tamad
karya Abu al-Husain al-Bashri dan al-Mustafa Zaid karya
al-Ghazali.[21]
Perjalanan
karir intelektualnya
Setelah
menguasai berbagai disiplin keilmuan, Fakhruddin al-Razi merantau ke berbagai
daerah untuk meluaskan wawasannya. Ia merantau ke Khawarzm dan berdebat di sana
dengan tokoh-tokoh Muktazilah, yang saat itu sangat berpengaruh. Selain
berdebat dengan tokoh-tokoh Muktazilah, Fakhruddin al-Razi juga berdebat dengan
teolog Kristen. Dalam perdebatan tersebut, beliau menunjukkan berbagai kesalahan
mendasar dalam dogma-dogma Kristiani serta mempertahankan kemurnian ajaran
Islam.[22] Perdebatan dengan tokoh-tokoh Muktazilah akhirnya menyebabkan
Fakhruddin al-Razi meninggalkan Khawarzm. Akhirnya, ia kembali ke Rayy.
Pada
usinya yang ke 35 tahun (pada tahun 580/1184), Fakhruddin al-Razi merantau lagi
ke Transoxiana (al-Bilad ma wara’a al-nahr) dan menetap kurang lebih dua tahun
di sana. Perjalannya ke Tranxonia, ia bertemu dengan seorantg dokter bernama
Abdurrahman ibn Abdulkarim al-Sarkhsi. Dalam pertemuan tersebut, Fakhruddin
al-Razi, yang pada saat itu juga menguasai ilmu-ilmu kedokteran, menerangkan
kepada dokter tersebut al-Qanun, sebuah magnum opus Ibn Sina
dalam bidang kedokteran.[23] Dari Sarkhes, Fakhruddin al-Razi menuju Bukhara.
Selanjutnya ia melanjutkan safari intelektualnya ke Samarqand, Khujand,
Banakit, Ghaznah dan (Barat) India.[24] Selama dalam perjalanan tersebut, ia
aktif berdialog dan berdebatan dengan para tokoh-tokoh setempat.
Di
Bukhara, Fakhruddin al-Razi berdialog dengan sejumlah ahli-ahli fiqh dan mazhab
Hanafi seperti ar-radiyy al-Nisaburi dan Bakr al-Sabuni. Sesekali ia berkunjung
ke Ghaznah dan kembali lagi ke Bukhara untuk meneruskan dialognya dengan para
pakar fiqh dari mazhab al-Hanafi. Setelah merasa cukup lama tinggal di Bukhara,
Fakhruddin al-Razi melanjutkan safari intelektualnya ke Samarqand, beberapa
karyanya seperti al-Mubahiths al-Muashriqiyyah (Penelitian Timur), Sharh
al-Isharat wa al-Tanbihats (Komentar terhadap Anotasi dan Peringatan) dan
Mulakhkhas (Sinopsis), sudah beredar di sana. Sehingga ketiak ia datang
masyarakat sedikit banyak telah mengenalnya.
Dari
Samarqand, Fakhruddin al-Razi berkunjung ke Ghur. Di sana ia mendapat
perlindungan dari Raja Ghaznah, Shihab al-Din al-Ghuri (m. 602H)[25] dan
saudaranya Ghiyath al-Din. Fakhruddin al-Razi berhasil mengubah keyakinan
Ghiyath al-Din, dari doktrin Karramiyyah[26] yang saat itu sangat dominan di
Ghur kepada Ahli Sunnah. Usaha Fakhruddin al-Razi tersebut membuat pengikut
Karramiyyah sangat marah kepadanya. Lebih marah lagi ketika Fakhruddin al-Razi
mengkritik tokoh mereka, Ibn Qudwah, di depan publik. Amir al-Din, sepupu
sekaligus menantu dari Ghiyath al-Din, menolong Ibn Qudwah dan selanjutnya
mengusir Fakhruddin al-Razi. Akhirnya, ia terusir dari Ghur.[27]
Akhirnya,
Fakhruddin al-Razi kembalii ke Heart dan mendapat perlindungan dari Sultan
Khurasan ‘Ala al-Din Khawarazam shah Tukush (m. 596 H). Ia menjadi pengajar
kepada anak Sultan. Ketika pangeran tersebut mewarisi tahta pada tahun 5996 H,
Fakhruddin al-Razi, mendapatkan kondisi dirinya lebih baik.
Disebutkan
bahwa ketika berada di Heart, lebih dari 300 orang murid dasn pengikutnya
menemaninya ketika ia berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Ia menetap di
Heart sehingga akhir hayatnya. Ia meninggal di desa Muzdakhan, Heart, pada
tahun 606 H/Maret 1210, pada usianya yang ke 62 tahun.
Sekalipun
jasadnya telah terbang, pemikiran-pemikirannya akan terus dikenang. Ibn Athir
(555/1160 - 626-28/1228-31), seorang sejarawan Muslim terkemuka, yang hidup
sejaman dengan Fakhruddin al-Razi, berpendapat bahwa beliau adalah seorang ahli
fiqh dari Mazhab Shafi’i, penulis karya-karya terkenal di dalam fiqh, usul
al-fiqh dan lain, dan beliau adalah tokoh dunia pada zamannya.[28] Seorang
sejarawan muslim lainnya, Ibn Khallikan (608/1211 -681/1282) menganggap setiap
karya Fakhruddin al-Razi memuskan. Bahkan karya-karyanya yang tersebar ke
berbagai Negara itu memberi kebahagiaan yang mendalam. Yang menarik setelah
masyarakat mengkaji karya-karyanya mereka menolak buku-buku sebelumnya. Beliau
adalah orang pertama yang mengenalkan susunan yang sistematis dalam
karya-karyanya, yang sebelumnya belum seorangpun pernah melakukannya. Ia
berceramah dengan sangat mengesankan, baik dalam bahasa Arab maupun Persia.
Siapapun yang pernah mendengar ia berceramah ia akan menangis. Jika beliau
menggelar acara-acara diskusi di Kota Heart, maka para cendekiawan dan tokoh
akan menghadiri acanya. Mereka bertanya mengenai berbagai persoalan dan
mendengar darinya jawaban-jawaban spektakuler. Oleh sebab itu banyak pengikut
Karramiyyah dan pengikut Ahli Sunnah. Tak heran jika di Heart, ia digelari
Shaykh al-Islam.[29] Bagi sejarawan al-Subki (727-771 H) Fakhruddin al-Razi
adalah seorang pakar teologi yang menguasai lintas disiplin ilmu.[30] Pujian
ini memang wajar dilabelkan kepada Fakhruddin al-Razi, sebab ia seorang
filosof, teolog, pakar logika, matematika, fisika, kedokteran, sastra Arab,
fiqh, usul al-fiqh, tafsir, sejarah dan perbandingan agama. Sekalipun puluhan
karyanya telah diterbitkan, namun sehingga kini diterbitkan, namun
sehingga kini, masih banyak karyanya yang dalam bentuk karya-karyanya yang
sehingga kini masih belum diketahui keberadaannya.
Seorang
Mufassir
Fakhruddin
al-Razi menulis berbagai karya berkaitan dengan Al-Qur'an. Diantaranya Asrar
al-Tanzil wa Anwar al-Ta’wil; Khalq Al-Qur'an; Tafsir Surah al-Fatihah (manuskrip);
Tafsir Surah al-Baqarah, Tafsir Surah al-Ikhlas (manuskrip); At-Tanbih ‘ala
ba’d al-Asrar al-Mawdi’ah fi ba’d Ayat Al-Qur'an (manuskrip). Dalam studi
Al-Qur'an, maqnum opus dari pemikiran Fakhruddin al-Razi adalah Mafatih
al-Ghayb (at-Tafsir al-Kabir). Bukut tafsir tersebut ditulis kurang
lebih selama 8 tahun, yaitu dari tahun 595 sampai 603. Ketika menulis buku
tafsir terserbut, ia mengulangi seraya memodifiksai apa yang telah ditulisnya
di berbagai buku sebelumnya seperti asas al-Taqdis, Nihayat al-Ijaz fi
Dirayat al-Ijaz, Lawami al-Bayyinat fi Sharh Asma al-Husna, Ismat al-Anbiya’,
Asrar al-Tanzil wa Anwar al-Ta’wil dan beberapa karya lainnya.[31]
Selain
itu, dalam menulis karya tafsir tersebut, Fakhruddin al-Razi banyak
memanfaatkan karya-karya para mufassir sebelumnya seperti Tafsir al-Qaffal
al-Kabir, karya Muhammad ibn ‘Aliyy ibn Isma’il (m. 365 H); Tanzib
Al-Qur'an al-Mata’in, karya ibn ‘Abd al-Jabar ibn Ahmad ibn ‘Abd al-Jabbar
al-Hamadani (m. 415 H); Tafasir al-Wahidi, karya Muhammad ibn ‘Umar ibn
Muhammad al-Zamaksharari (m. 532 H).[32]
Fakhruddin
al-Razi, menafsirkan Al-Qur'an dengan menggunakan berbagai lintas disiplin
ilmu. Ia juga membahas berbagai persoalan dengan sangat mendalam. Oleh sebab
itu, karya tafsirnya termasuk unik dibanding dengan karya tafsir yang lain.
Banyak dari pembahasannya yang tidak terdapat di dalam buku-buku tafsir
sebelumnya. Mungkin, disebabkan itu, Ibn Khallikan berpendapat bahwa karya
tafsir Fakhruddin al-Razi memuat di dalamnya segala yang aneh-aneh (jama’a
fihi kullu gharib wa gharibah). Senada dengan Ibn Khallikan, Muhammad
‘Abduh berkomentar: “Fakhr al-Razi telah menambah bentuk lain dari Al-Qur'an
dengan memasukkan ke dalam tafsirnya ilmu-ilmu matematika, fisika dan lainnya
dari ilmu-ilmu modern yang ada pada zamannya seperti ilmu astronomi Yunani dan
yang lain.[33]
Meski
karya tafsrinya mendapat pujian para ulama dan pakar sejarah, namun ada juga
yang memberikan komentar sinis. Ibn Taimiyyah dan Abu Hayyan al-Andalusi
misalnya berpendapat bahwa tafsir Mafatih al-Ghayb (al-tafsir
al-kabir) memuat segala sesuatu kecuali tafsir (fihi kullu syai’ illa
al-tafsir). Tapi komentar sinis ini pun segera dibantah oleh Tajudin
al-Subki. Baginya di dalama al-Tafsir al-Kabir karya Fakhruddin
al-Razi itu terdapat segala sesuatu sekaligus tafsir (inna al-Tafsir
al-Kabir fihi kullu shai’ ma’a al-tafsir). Perbedaan pendapat seperti itu
terjadi disebabkan pendekatan Fakhruddin al-Razi tidak terbatas kepada
pendekatan tata bahasa dan riwayat saja. Ia menafsirkan Al-Qur'an dengan
menggunakan berbagai pendekatan lintas disiplin ilmu. Dalam pandangan
Fakhruddin al-Razi, Al-Qur'an diturunkan supaya bermanfaat dan
rahasia-rahasianya tersingkap, bukan untuk tujuan dari sisi tata bahasa dan
khabar saja tanpa menggunakan berbagai disiplin keilmuan yang justru
menunjukkan kekuasaan Tuhan.[34]
Dalam
pandangan Fakhruddin al-Razi, Al-Qur'an merupakan mukjizat Nabi yang paling
penting. Iman kepada syari'ah berdasarkan iman kepada Allah SWT. siapa yang
tidak mengenal para Nabi beserta kitab-kitab. Allah SWT telah menganugerahkan
akal supaya mengenal-Nya. Al-Qur'an banyak sekali memuat bukti-bukti akal yang
menunjukkan tauhid kepada-Nya, hari kebangkitan, kenabian dan keterangan
tentang sifat-sifat Allah yang tidak ada di dalam kitab-kitab lainnya.
Menegaskan pentingnya akal, Fakhruddin al-Razi mengatakan bahwa manusia
diciptakan untuk mengetahui. Manusia diajak untuk berpikir dan merenungi untuk
mengetahui hakikat sesuatu. Dalam pandangan Fakhruddin al-Razi, ilmu tafsir
adalah termasuk ilmu agama yang bermanfaat. Ilmu tafsir akan menggiring kepada
pengetahuan tentang Allah SWT beserta sifat-sifat-sifat-Nya,
perbuatan-perbuatan-Nya dan hukum-hukum-Nya. Mengetahui Allah SWT beserta
sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya dan hukum-hukum-Nya adalah ilmu yang
paling mulia.
Mengenai
problem al-Muhkam dan al-Mutashabbih, sebuah persoalan yang ada
di dalam ilmu tafsir, Fakhruddin al-Razi berpendapat bahwa beberapa kelompok
ummat Islam memiliki kepentingan-kepentingan tertentu dalam membahas persoalan
ini. Jika ada ayat-ayat Al-Qur'an yang sesuai dengan dengan suatu mazhab
tertentu, maka ayat-ayat tersebut dianggap muhkam. Sebaliknya, jika ada
ayat-ayat Al-Qur'an yang sesuai dengan musuh suatu mazhab, maka ayat-ayat
tersebut dianggap sebagai mutasabbih. Untuk mengatasi masalah tersebut,
Fakhruddin al-Razi memberikan solusi dengan meletakkan hukum universal (qanun
kulliyy).[35]
Pendekatan
yang dilakukan oleh Fakhruddin al-Razi ketika menafsirkan Al-Qur'an dengan
menggunakan lintas disiplin ilmu merupakan sebuah usaha yang perlu dihargai.
Apalagi, usaha beliau itu sama sekali tidak meninggalkan pendekatan al-tafsir
bi al-ma’thur. Beliau juga sangat concern dengan disiplin bahasa ketika
menafsirkan Al-Qur'an. Beliau dengan sangat mendetil menggunakan kaidah-kaidah
bahasa ketika menafsirkan al-Fatihah. Karena pendekatannya yang mengagumkan,
maka karya tafsirnya dijadikan rujukan oleh para mufassir pada generasi
berikutnya. Pengaruh tersebut, misalnya tampak jelas dalam karya tafsir
‘Abdullah ibn ‘Umar ibn Muhammad ibn ‘Ali al-Baydawi (m. sekitar tahun 685 H), Anwar
al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil. Bahkan menarik juga untuk diketahui bahwa
pengaruh tafsirnya tersebut juga telah sampai ke Nusantara. Al-Nawawi
al-Bantani (m. 1897), seorang ulama di Mekkah, berasal dari Banten, menulis
buku tafsir berjudul Marah Labid. Hampir 70 persen kandungan buku tafsir
tersebut diambil dari buku tafsir Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghayb.[36]
Seorang
Teolog dan Filosof
Selain
pakar dalam bidang tafsir, fiqh dan usul al-fiqh, Fakhruddin al-Razi juga pakar
dalam bidang teologi dan filsafat. Karyanya dalam masalah-masalah teologis dan
filosofis sangat banyak. Dalam teologi misalnya, ia menulis al-Arba’un fi
Usul al-Din; Asas al-Taqdis fi ‘Ilm al-Kalam; al-Khamsun fi Usul al-Din;
al-Ma’alim fi Usul al-Din; al-Kamaliyah fi Haqa’iq al-Ilahiyyah; al-Jabr wa
al-Qadr (al-Qada wa al-Qadr); Nihayat al-Uqul fi Dirayat al-Usul; Sharh Asma
Allah al-Husna aw lawami al-Bayyninat. Selain itu, masih banyak lagi
karyanya dalam teologi yang masih dalam bentuk manuskrip seperti Al-Jawhar
al-Fard; Huduth al-‘Alam; Al-Isharah fi ‘ilm al-Kalam; Al- Zubdash fi ‘Ilm
al-Kalam; Al-Khalq wa al-Ba’tahun; ‘Ismat al-Anbiya’ dan lain. selain karya
yang telah disebutkan, ada beberapa karyanya dalam bidang teologi yang telah
hilang seperti Tahsil al-Haq fi Tafsil al-Farq dan lain-lainnya.
Karya
Fakhruddin al-Razi dalam bidang filsafat juga banyak. Diantaranya: al-Matalib
al-‘Aliyah (9 jilid); al-Mabahith al-Mashriqiyyah (2 jilid); Sharh
al-Isharat wa al-Tanbihat; Muhassa Afkar al-Mutaqaddimin wa al-Mutakkhirin.
Selain itu, masih banyak lagi yang masih dalam bentuk manuskrip seperti Ta’jiz
al-Falasifah (ditulis dalam bahasa Persia); al-Mantiq al-Kabir; al-Ayat
al-Bayyinat fi al-Mantiq (al-Kabir), Masa’il al-Hudud (fi
al-Mantiq) dan lain-lain.
Menerik
untuk diketahui bahwa pemikiran-pemikiran filosofis Fakhruddin al-Razi sangat
maju pada zamannya. Konsepnya mengenai waktu, misalnya, banyak yang pararel
dengan pemikiran Newton dan bahkan mendahuluinya. Fakhruddin al-Razi membahas
mengenai konsep waktu secar mendetail dalam al-Matalib al-‘Aliyah. Dalam
karyanya yang sudah tercetak itu, pembahasan mengenai konsep waktu menghabiskan
sebanyak 100 halaman. Dalam pandangan Fakhruddin al-Razi, pada dasarnya waktu
adalah substansi eternal, tanpa terkait dengan sesuatu yang eksternal dan
coraknya selalu sama. Waktu mengalir dari tidak bermula ke tidak berakhir.
Eksistensinya tidak tergantung kepada akal manusia dan esensinya tidak
tergantung kepada gerak. Ia selalu bisa dipersepsikan sekalipun gerak tidak ada
bersamanya. Waktu adalah eksistensi aktual karena secara ontologis ia adalah
absolut dan tidak bisa dianggap sebagai suatu yang tidak ada.[37] Fakhruddin
al-Razi juga mengatakan bahwa akal manusia terbatas untuk memahami rahasia
esensi waktu (‘uqul al-khalqi qisiratun ‘an al-ihatah bi-kunbi mahiyatihi).[38]
Pendapat
Fakhruddin al-Razi mengenai ketebatasan akal manusia memahami rahasia esensi
waktu digemakan kembali sekitar 475 tahun kemudian oleh Isac Newton (m. 1727
M), yang menulis The Mathematical Principles of Natural Philosophy, pada
tahun 1685.[39] Dalam pandangan Newton, waktu yang absolut tidak tergantung
kepada aspek kognitif. Akal manusia adalah ‘asymptote’ terhadap waktu
yang absolut.[40] Selain itu, Newton berpendapat bahwa waktu yang absolut
adalah tidak terbatas, homogen, entitas yang bersambung, sama sekali tidak
bergantung kepada obyek yang dapat diindera atau gerak yang dapat diukur. Waktu
mengalir abadi dari abadi ke abadi.[41] Tampaknya, studi komparatif antara
Fakhruddin al-Razi dan Newton tentang hakikat waktu menarik dan belum pernah
dikaji baik dari cendekiawan Muslim ataupun Non-Muslim. Oleh sebab itu, kajian
seperti itu akan sangat banyak manfaatnya.
Karya-karya
yang Lain
Fakhruddin
al-Razi adalah penulis yang sangat produktif. Masih banyak lagi karyanya
yang belum disebutkan. Ia membahas berbagai persoalan secara mendalam. Ia
menulis mengenai sastra bahasa Arab, kedokteran, matematika, perbandingan agama
dan sekte dan lain-lainnya. Sebagian dari karya-karya sudah dicetak. Namun,
masih banyak yang dalam bentuk manuskrip dan seperti disebut di atas ada yang
sudah hilang. Dalam sastra Arab, karyanya yang sudah diterbitkan ialah Nihayat
al-Ijaz fi Dirayat al-I’jaz. Sedangkan yang masih dalam bentuk manuskrip ialah Sharh
Saqt al-Zand li Abi al-‘Ala al-Ma’ari; Sharh Nahj al-Balaghah li al-Imam ‘Ali
ibn Abi Thalib dan Al-Muharrar fi Haqa’iq al-Nahw.
Fakhruddin
al-Razi juga menulis dalam bidang kedokteran seperti Sharh al-Qonun (li
Ibn Sina) (manuskrip); al-Tibb al-Kabir (manuskrip); Masa’il fi
al-Tibb (manuskrip). Ia juga menulis mengenai sejarah, matematika,
astrologi, dan lain-lain. Selain itu, sebagian dari buku-bukunya masih belum diketahui
isinya, seperti: Tahdzib al-Dalail wa ‘Uyun al-Masa’il; Jawab al-Ghaylani;
al-Ri’ayah; Risalah fi al-Su’al; al-Risalah al-Sahabiyyah; ar-Risalah
al-Majdiyyah dan Nafthat al-Masdur. Selain itu juga, masih ada seratus buku
lebih yang diragukan, namun dinisbatkan kepada Fakhruddin al-Razi. Untuk
mengetahui apakah karya-karya tersebut karyanya atau bukan, maka
manuskrip-manuskrip dari segala buku yang diragukan tersebut perlu diedit.[42]
Sebagai kesimpulan, Fakhruddin al-Razi adalah salah seorang tokoh intelektual
besar dalam sejarah pemikiran lintas ruang dan waktu. Kajian yang mendalam
terhadap pemikiran-pemikirannya masih sangat perlu dilakukan.
Semoga
Allah SWT memberi pahala atas usaha dan upayanya, Amin, ya Rabb.
[1]
Ada juga yang mengatakan Fakhruddin al-Razi lahir pada tahun 543 H.
Bagaimanapun, Muhammad Salib al-Zarkan setelah membahas secara mendetail
mengenai perbedaan tahun dan tanggal kelahirannya, beranggapan bahwa mengenai
kelahiran Fakhruddin al-Razi adalah pada tahun 544 H. lihat Muhammad Salih
al-Zarkan, Fakhrudin al-Razi, 15-16.
[2]
Mengenai perkembangan kota Rayy, lihat lebih detil V. Minorsky, “al-Rayy”,
dalam The Enclycopedia of Islam (Leiden: E.J. Brill: 1995), Jil. 8,
471-73, selanjutnya diringkas The Enclycopedia of Islam.
[3]
Beliau adalah seorang filosof dan pakar kedokteran. Di Barat, iala dikenal
sebagai Rhazes. Karyanya sangat banyak. Ia ahli dalam bidang kedokteran. Karya
madnum opusnya adalah Buku Besar tentang Medis (Kitab al-Jami’
al-Kabir). Karnya dalam bidang Ginjal dan Kandung Kemih (Kitab al-Hasa
fi al-Kula wa al-Mathana), dan Buku tentang Cacar dan Campak (Kitab
al-Djadari wa al-Hasba). Buku Rhazes tersebut adalah buku pertama tentang
masalah cacar dalam kedokteran. Buku tersebut diterjemahkan lebih dari 12 kali ke
dalam bahasa Latin dan bahasa-bahasa Eropa lainnya. Lihat lebih lanjut L. E.
Goodman, “al-Razi”, The Enclyclopedia of Islam, Jil. 8: 474-77.
[4]
Beliau lahir pada tahun 240 h/854 M. beliau adalah seorang ahli Hadits. Di
antara karyanya dalam bidang Hadits adalah Kitab Jarh wa al-Ta’dil, 8
jilid (Hydrabad: 1952-1953); Kitab Marasil fi al-Hadith (Baghdad: 1967);
Tatimmat Bayan Khata al-Bukhari fi Taikhihi (Hydrabad: 1961); dan beberapa
karya yang lain. Lihat lebih lanjut mengenai karya beliau dalam Eerik Dickinson,
The Development of Early Sunnite Hadith Criticisme (Leiden: E. J. Brill:
2001).
[5]
Beliau adalah seorang pakar bahasa. Beliau banyak menulis tentang berbagai
persoalan yang berkaitan dengan sastra dan tata bahasa Arab. lihat lebih lanjut
koleksi karya-karyanya yang sudah diterbitkan, H. Fleisch, “Ibn Faris, The
Enclyclopedia of Islam, Jil. 3: 764-65.
[6]Nama
beliau sebenarnya adalah Ahmad ibn ‘Ali. Beliau lahir pada tahun 305 H. Seorang
ahli fiqih dari mazhab Hanafi. Karyanya banyak, diantaranya adalah Ahkam
Al-Qur'an, Sharh al-Jami al-Saghir (li al-Shaybani) dan
lain-lain.
[7]Beliau
adalah pakar Bahasa. Karya-karyanya banyak, diantaranya: Mukhtar al-Sihah,
al-Amthal wa al-Hikam, Rawdat al-Fasahah fi ‘Ilm al-Bayan, Ma’ani
al-Ma’ani, Kunuz al-Bara’ah fi sharh al-Maqamat al-Haririyyah dan masih
banyak lagi karya lainnya.
[8]
Seorang pakar logika, komentator terhadap ar-Risalah al-Shamsiyyah karya
al-Qazwani (m. 493 H).
[9]
Menurut Leon, Fakhruddin al-Razi pernah ke Mesir dengan niat selanjunya
ke Cordoba untuk berjumpa dengan Ibn Rushd. Bagaimanapun, tidak ada seorang pun
dari sejarawan Muslim yang pernah menyebutkan bahwa Fakhruddin al-Razi pernah
ke Mesir, apalagi berniat ke Cordoba untuk bertemu dengan Ibn Rusyd. Muhammad
Salih al-Zarkan menolak pendapat Leon. Lihat Muhammad Salih al-Zarkan, Fakhruddin
al-Razi, 21.
[10]
Ibn ‘Arabi pernah mengirim surat kepada Fakhruddin al-Razi. Di antara isi surat
tersebut adalah pujian kepada pemikiran Fakhruddin al-Razi seraya mengajaknya
supaya masuk tasauf. Lihat Risalah al-Shaykh Muhy al-Din ibn ‘Arabyy ila
al-Shaykh Fakhruddin al-Razi, Editor Muhammad Mustofa, (Kairo: Dar
al-Tiba’ah al-Muhammadiyah, 1987, cet.I), selanjunya diringkas Risalah.
[11]
Belum ada informasi yang menyebutkan beliau pernah bertemu dengan Fakhruddin
al-Razi. Menurut Hsan al-Shafi’i, mantan Rektor Universitas Internasional
Islamabad, al-Amidi mengkritik secara khusus karya Fakhruddin al-Razi, al-Matalib
al-‘Aliyah wa Naqduhu (al-Ma’akhiz). Isi al-Ma’akhiz, yang sehingga kini masih
dalam bentuk manuskrip, persis mengikuti isi al-Matalib al-‘Aliyah, karya
Fakhruddin al-Razi. Lihat Hasan al-Shafi’i, al-Amidi wa Ara’uhu al-Kalamiyyah
(Kairo: Dar al-Salam, 1998). Cet pertama, 99-102. penting juga untuk disebutkan
bahwa al-Amidi pernah bertemu dengan al-Suhrawardi di Aleppo (Halab), Syria.
Lihat 35-36.
[12]
Beliau adalah Shihabuddin Yahya ibn Hasabh Ibn Amirak al-Suhrawardi, teman
seperguruan dengan Fakhruddin al-Razi ketika belajar bersama-sama dengan
Majduddin al-Jilli di Maraghah. Beliau adalah pendiri filsafat Cahaya (Hikmat
al-Isgraq), sebuah aliran filsafat yang menolak aliran filsafat Aristoteles,
yang saat itu dominan.
[13]
Lihat Muhammad Salih al-Zarkan, Fakhruddin al-Razi wa Arauhu al-Kalamiyyah
wa al-Falasifiyyah (Kairo: Dar al-Fikr, 1963), 11-12, selanjutnya diringkas
Fakhruddin al-Razi.
[14]
Ibn Khallikan, Wafayat al-‘A’yang wa Anba’u Abna’i al-Zaman, Editor
Ihsan ‘Abbas (Qum: Mansyurat al-Razi, 1346 H), cet, kedua, Jil. 4, 252,
selanjutnya diringkas Wafayat al-‘A’yan.
[15]Hal
ini diungkapkan oleh Fakhruddin al-Razi di dalam karyanya Tahsil al-Haq.
Sangat disayangkan, karya tersebut sehingga kini masih belum diketahui
keberadaannya.
[16]
Dalam pandangan Hasan Mahmud ‘Abd al-Latif, judul buku Sayfuddin al-Amidi
adalah pinjaman dari judul buku ayah Fakhruddin al-Razi. Lihat Sayfuddin
al-Amidi, Ghayat al-Maram fi ‘Ilm al-Kalam, Editor Hasan Mahmud ‘Abd
al-Latif (Kairo: 1971), 14.
[17]Al-Subki
mengatakan: Fasih al-lisan qawiyy al-janan faqihan usuliyyan mutakalliman sufiyyan
khatiban muhaddithan, adiban lahu nathrun fi ghayat al-hasan tahki alfa zuhu
maqmaat al-hariri min husnihi wa halawatihi wa rashaqatihi saj’ihi, Lihat
Fakhruddin al-Razi, al-Mabahith al-Mashriqiyyah fi ‘Ilm al-Ilahiyyat wa
al-Tabi’iyyat, Editor Muhammad al-Mu’tasim Billah al-Baghdadi (Beirut: Dar
al-Kitab al-‘Arabi, Cet pertama, 1990), 2 jilid, 1: 32, selanjutnya disingkat
al-Mabahith al-Mashriqiyyah. Abu Muhammad al-Qasim ibn ‘Ali ibn Muhammad ibn
‘Uthman ibn al-Hariri al-Basri adalah seorang filolog dan sastrawan Arab
terkemuka. Ia terkenal dengan karya-karyanya Maqamat. Pertama kali
diterjemahkan ke bahasa Latin pada tahun 1056, oleh Golius. Setelah itu
diterjemahkan berulang kali ke berbagai bahasa Eropa lainnya. Lihat D.S.
Margoliouth-Ch. Pellat, The Encyclopedia of Islam, Jilid 3: 221-222.
[18]
Ia adalah teman dari pada Muhammad Ibn Yahya, muridnya al-Ghazali.
[19]
Dulu Maraghah merupakan Ibukota dari Azebaijan.
[20]
Ibn Abi Usaybi’ah, ‘Uyun al-Anba’ fi Tahaqat al’Atibba’, Editor
Nizaral-Rida (Beirut: Mansyurat Dar Maktabah al-Hayah), 467.
[21]
Fathalla Kholeif, A Study on Fakrr al-Din al-Razi and His Controversies in
Transoxiana (Beyrouth: Dar el-Marcheq aditeurs: 1966), selanjutnya
disingkat Controbersies.
[22]Lihat
lebih lengkapnya mengenai perdebatan dalam Fakhruddin al-Razi, Munazarah fi
al-Radd ‘ala al-Nasara, Editor ‘Abdul al-Majid al-Najjar (Beirut: Dar
Al-Gharb al-Islami, 1986).
[23]
Muhammad Salih al-Zarkan , Fakhruddin al-Razi, 19.
[24]
Fathalla Kholeif, Controversies, 29.
[25]
Ia adalah Muhammad ibn Sam, penguasa Ghaznah dan India. Ia suka dengan ilmu.
Keompok al-Batiniyyah membunuhnya ketika sedang sujud. Lihat Risalah,
15.
[26]
Mereka adalah pengikut Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Karram. Mereka meyakini bahwa
Allah SWT adalah antropomorphis. Mereka juga terbagi lagi menjadi berbagai
kelompok. Lihat lebih lanjut, Fakhruddin al-Razi, I’tiqadat Firaq
al-Muslimin wa al-Mushrikin (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1986), cet
pertama.
[27]
Fathalla Kholeif, Controversies, 19.
[28]
Ibn Athir menulis: “Al-faqih al-Shafi’i Sahib al-Tasanif al-mashurah fi
al-fiqh wa al-usuliyyin waghayruhuma, wa kana Imam al-dunya fi ‘asrihi”.
Lihat Ibn Athir, al-Kamil fi al-Tarikh (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1987),
cet. Pertama, Jil. 10: 350.s
[29]Ibn
Khallikan menulis: “Wa kullu kutubibi mumta’ah, wantasharat tasanifuhu fi
al-bilad wa razaqa fiha sa’adah zimah fainna al-nass ishtaghalu biha wa rafadu
kutub al-mumtaqaddimin, wa huwa awwal man ikhtara’a hadha al-tartib fi kutubihi
wa ata fiha bima lam yasbuq ilayhi. Wa kana lahu fi al-wa’z al-yad al-bayda, wa
ya’iz bi al-lisanayni al-‘arabi wa al-‘ajami, wa kana yulhiquhu al-wajd fi hal
al-wa’z wa yakthutu al-buka’u, wa kana yahduru majlisuhu bi madinat Heart, arbab
al-madhahin wa al-maqalat, wa yas’alunahu wa huwa yujibu kulla sa’il bi ahsana
ijabah, wa raja’a bi sababihi khalq kathir min al-taifah al-Karramiyyah wa
ghairihim, ila madhab ahl sunnah, wa kana yulaqqab bi Heart Shaykh al-Islam“,
Lihat Ibn Khallikan, Wafayat al-A’yan, 249-250.
[30]
Lihat lebih detil pujian al-Subki kepada Fakhruddin al-Razi. Tajudin al-Subki,
Tabaqat al-Shafi’iyyah al-Kubra, Editor ‘Abdul Fatah Muhammad al-Jalw dan
Mahmud Muhammad al-Tinahi (Kairo: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah), Jil. 9:
81-82.
[31]
Samih Dahlim, Mawsu’at Mustalahat al-Imam Fakrh al-Din al-Razi (Beirut:
Maktabah Lubnan Nashiruna Sharmal, 2001), selanjutnya diringkas Mawsu’ah.
[32]
Fakhr al-Din al-Razi, al-Tafsir al-Kabir, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabiyy,
Cet. 3, 1999), Jil. 1: 5.
[33]Zada
al-Fakhr al-Din Sarifan Akhar ‘an al-qur’an bima Awradahu fi Tafsirihi min
al-‘Ulum al-Riyadiyyan wa al-Tabi’iyyah wa ghayruha min al-‘Ulum al-Hadithah fi
al-Millah ‘ala ma kanat ‘alayhi fi ‘adhihi kalhay’ah al-falakiyyah wa ghayruha.
Lihat Samih Daghim, Mawsu’ah, xx.
[34]
Ibid., xxi.
[35]
Mengenai Qanun Kulliyy, lihat lebih detilnya dalam Fakhruddin al-Razi, Asas
al-Taqdis fi ‘Ilm al-Kalam (Beirut: Muassasah al-Kutub al-Thaqafiyyah, 1995),
Cet. Pertama 1995.
[36]
Mengenai pengaruh Fakhruddin al-Razi terhadap al-Nawawi al-Bantani, lihat lebih
lanjut Anthony H. Johns, “On Qur’anic Exegesis: A Case Study in Transmisiion
of Islamic Learning“, di dalam buku Islam: Essays on Scripture, Thought adan
Society: A Festchrift in Honour of Anthony H. Hohns, editor Peter G.
Riddell and Tony Street (Leiden: E. J. Brill, 1997), 3049.
[37]
Fakhruddin al-Razi, al-Matalin al-‘Aliyah min al-‘Ilm al-Ilahi, editor
Ahmad Hijazi al-Saqa, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi), 9 jilid.
[38]
Ibid., 5: 79.
[39]
Newton menulis karyanay dalam bahasa Latin pada tahun 1685 dengan judul The
Mathematical aPrinciples of Natural Philosophy.
[40]J.E.
McGuire, Existence, Actuality and Necessity: Newton on Space and Time, Annals
of Science 35 (1978), 507. istilah asymptote digunakan oleh Leibniz
untuk menunjukkan bahwa akal manusia hanya dapat mengamati
karakteristik-karakteristik yang tidak terbatas.
[41]
E. A. Burtt, The Metephysical Foundations of Modern Physical Science (New York:
Humanities Press Atlantic Highlands, 1932), 209-312.
[42]
Fakhruddin al-Razi, al-Mubahith al-Mashriqiyyah, 1:
52.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar