Kamis, 06 Oktober 2011

Karl May

Tidak Ada Rencana Menikah

Di pasar-pasar sekarang lebih mudah mencari celana buat wanita daripada buat laki-laki. Karena telah sangat lelah saya memutuskan membeli celana buat wanita saja. Pertimbangan selain harganya jauh lebih murah, selain itu bagi saya tidak ada yang namanya celana buat wanita, apa lagi celana jeans, ketat pula itu.

Saat pulang dengan Kopaja seorang sopir trip berikutnya menarik cewek bercelana jeans berkerudung hitam dari Kopaja yang kami tumpangi karena perjanjian di antara supir kopaja, kalau busnya sudah bergerak maka sewa tidak boleh naik lagi kecuali sudah di jauh di luar terminal. Tapi tampaknya perempuan yang berjaket jeans itu batat. Dia kembali lagi melompat ke dalam mobil kami meski telah bergerak agak cepat. Saya senyum-senyum saja melihatnya.
     Sedang senyum kagum kepada cewek itu, ternyata dia sempat melihat ke arah saya. PDnya seratus persen membuat saya tersenyum kagum sekali lagi. Ternyata juga dia melihat saya tersenyum di kali kedua itu juga. Sementara saat itu saya sedang memasang perangkat pendengar pribadi HP di telinga. Sambil tersenyum dengan isi senyuman ''gua tau loe kagum sama gua'' dia juga memasang perangkat pendengar pribadi HP bewarna merahnya dengan menyambungkan ke HP yang juga bewarna merah. HPku juga bewarna merah. Kami sama dalam hal warna HP.
      Cewek itu begitu cantik. Kulitnya putih. Ya, wajah orang kota lah.
    Tapi kalau dia menegurku aku akan menjadikannya teman. Namun bila meminta kunikahi, akan kukatakan padanya bahwa aku tidak ada rencana menikah. Bila dia menanyakan alasan kenapa aku tidak ada rencana menikah, akan kukatakan karena perempuan itu adalah candu. Dia akan meminta terus-menerus tanpa memperhatikan kondisi kita.

Hotel Sahid Jakarta, 6 Okt. 2011

Hikmah Aceh 8

    ''Na puu takubah mudah bak ta cok, asai bek dok bak ta jak mita''
    Kata hmah ini perlu dimaknai dengan sangat hati-hati, bila tidak kita dapat menjadi orang yang kikir.
     Sepintais kata hikmah yang berarti ''ada apa disimpan mudak untuk diambil, asal jangan bosan mencari'' bermakna kita harus sekuat mungkin menimbun setiap hasil usaha yang dimiliki sehingga bila kapan saja kita butuh ada yang diambil. Ini akan mengarahkan orang yang kirang memaknai kata hikmah ini dengan benar menjadi semacam penimbun. Apa yang dimiliki akan disimpan serapat mungkin sehingga tadak ada sarana penyucian harta semacam zakat, infaq, wakaf dan shadaqah.
   Manusia modern yang salah memaknai kata hikmah ini akan mengantarkan semua uang ke bank lalu disana uang itu akan dijadikan sarana pemerasan. Ada pula yang akan memaknai sehingga mereka berangkat ke asuransi kaena ketakutan akan kehilanagn harta. Mereka menabung di sana tanpa dapat uangnya diambil kembali kecuali bila ditimpa musibah. Sebab itu ada yang berharap semoga mengalami kecelakaan supaya asuransi mengembalikan uangnya, ada pula yang sengaja menciptakan musibah untuk diri mereka sendiri.
    Ketakutan akan kehilangan harta adalah pangkal utama manusia menabung uang sebanyak-banyaknya. Padahal segala sesuatu akan kita tuai sesuai yang sering kita bayangkan. Bila menabung supaya ada simpanan di masa sakit maka sakit itu niscaya akan datang. Karena itu jalan yang bijak adala proporsional terhadap kebutuhan hidup serta rajin memberi supaya harta yang dimiki semakin berkat.
   Bila kita tidak bijak memaknaik kalimat hikmah ini maka akan tertutup pikiran untuk memepersiapkan bekal-bekal yang sifatnya lebih nyata, lebih ruhaniah.
     Kalimat ini sebagai antithesis bagi sebagian orang yang hanya mau bekerja bila telah tiada kagi yang hendak dimakan atau sedang membutuhkan sesuatu. Kalimat ini memesankan supaya terus bekerja dalam kondisi apapun sebab kita tidak tahu kapan rezeki berhenti.
       Bekal persiapan bila ada apa-apa yang tidak diinginkan berlaku perlu dituruti. Jalannya adalah tetap bekerja walau tidak ada kebutuhannya. Kalau ada penghasilan lebih karena tetap bekerja meski kebutuhan telah terpenuhi maka itulah sarana kita untuk berbagi melalui zakat, sedekah maupun infak. Dalam berbagi itulah rezeki kita semakin terjamin, bukan dengan berasuransi.



Kita tidak bisa bersama karena kita tidak pernah terbang bersama/ namun perlahan kunikmati aroma nafasmu/ kurasakan detak jantungmu melalui dadaku/ aku terkesan lalu terkenang manis senyummu/ sebuah senyum yang  tidak dapat digantikan dengan apapun di dunia ini/ canda tawamu adalah dambaanku yang betahun-tahun kunantika/ ketika kumelihat kau tertawa lepas, kutemukan makna dalam diriku/ aku menemukan makna dari tujuan hidupku/ duduklah sejenak lagi bersamaku/ karena sesaat lagi kita adalah sejarah/ kasih, aku mencintaimu.
Kata hikmah pertama 'Al-Hikam' mengingatkan manusia untuk tidak pernah lupa bahwa segala yang telah dicapai dan segala yang telah dimiliki adalah karena Allah semata' bukan karena sebab usaha kerja kerasnya.

Pernyataan hikmah Syaikh Atha'illah itu membuktikan bahwa dia adalah pengikut aqidah yang meyakini segala perkara yang berlaku hanyalah atas takdir Allah semata. Sementara manusia hanyalah selaku perantara takdir. Sebab hasrat dan keinginan manusia itupun adalah atas kendali Allah semata.

Bila meyakini Allah-lah yang menentukan segala perkara, maka tidak patut bagi si pembuat dosa untuk berputus asa dan berhenti beribadah seta urung bertaubat. Sebab Allah yang menentukan tempat pemberhentian insan di akhirat kelak. Tigas kita adalah senantiasa beribadah dan selalu mengharap yang terbaik dari-Nya.

Bila kita memiliki aqidah seperti ini' maka mudahlah masuk ke faham kita bahwa segala perkara yang telah kita peroleh adalah kehendak Allah. Bahkan kita perlu yakin bahwa timbulnya hasrat-yang baik baik ke dalam pikiran itupun adalah karunia dari Allah sahaja.


Hikmah kedua menegaskan pada kita bahwa Allah Maha Pengatur rizki telah menetapkan jalan rizki setiap hamba dari mana-mana datangnya. Bila seorang hamba telah ditakdirkan Allah menjadi da'i dengan melayani ummat' maka dia harus rela rizkinya dari para masyarakat yang membutuhkan penerangan lagi solusi atas masalah agama. Orang begitu tidak boleh melawan takdir dengan dalih tidak ingin mendapat rezeki dari belas kasih orang lalu bekerja serabutan sehingga menyita waktunya dan dia mensia-siakan amanah Allah dengan mengabaikan ummat yang membutuhkan pencerahan.

Bila alasannya adalah karena kekurangan, maka ketahuilah bahwa yang membuat kita mereka kekurangan adalah nafsu-nafsu yang bergentayangan di dalam pikiran. Nafsu oleh Allah senantiasa diperintahkan untuk meninggalkannya.

Demikian pula seorang kuli bangunan yang memperoleh rezeki dengan mencurahkan segenap tenaga hingga menyiksa badan. Dia tidak boleh melawan takdir dengan berpura-purah sakit atau lemas badan karena malas dan menganggap pekerjaannya lebih menguntungkan orang lain daripada dirinya. Dia harus bekerja dengan ikhlas dengan terus memupuk kesadaran untuk besyukur atas apa saja yang dia miliki termasuk kesehatan dan badan yang kekar.

Kita perlu memiliki kasadaran bahwa rezeki itu tidak hanya hasil kerja yang melimpah. Dipelihara dari bala dan musibah juga adalah rezeki yang terpelihara. Rezeki itu intinya adalah keberkatan, bukan keberlimpahan. Orang yang kaya adalah mereka yang paling sedikit keinginannya, bukan yang paling banyak hartanya.  

Nabi kita juga menegaskan bahwa salah satu jalan kemudahan rezeki adalah konsistensi pada satu jenis pekerjaan. Mereka yang konsisten seperti ini adalah orang yang tidak termasuk orang yang menganggap pekerjaan orang lain lebih enak dan lebih menguntungkan. Mereka tidak termasuk orang yang melihat rumput tetangga senantiasa lebih hijau.

Wallahu'alam

Samalanga, 15 Sept. 2O11

Hikmah Aceh 6

     ''Na payah, na paidah''
    Siapa saja yang tah melakukan sebuah usaha pasti menuai hasil. Kata hikmah lain yang berkaitan dengan uraian hikmah yang bermakna ''Ada payah, ada faedah'' ini adala ''Na heek na hak'' yang berarti ''ada lelah, ada hak.
     Biasanya kalimat itu muncul ketika seseorang yang baru pulang bekerja sementara lelahnya belum juga hilang akan berkata pada temannya ''Capek sekali kerja'' maka temannya akan menjawab ''kalau tidak capek tidak ada hak''. ''Hak'' yang dimaksud itu adalah hasil dari pekerjaannya yang menjadi miliknya, haknya. Dan bagian atau haknya itu hanya ada bila dia telah bekerja, ketika telah lelah.
   Kepayahan yang dirasakannya pasti membawa serta faedah kepadanya. Faedah itu hanya ada bersama datangnya kepayahan.

Hikmah Aceh 7

''Meunyoe ka taboeh bungkoh beuneung, beu ka meuteumeung bungkoh sutra.''
      Semain hari pekerjaan semakin sulit saja didapatkan. Saban hari juga bermacam pekerjaan semakin sulit dijalankan. Butuh kesabaran tingkat tinggi untuk mempertahankan pekerjaan. Perlu peningkatan kualitas diri secara terus-menerus supaya tidak terdepak sebab saingan semakin banyak.
     Janganlah kita selalu melihat ke atas di mana kita menemukan bidang pekerjaan orang lain yang selalu terlihat lebih mudah dari pekerjaan kita. Ini prediksi yang salah. Rumput tetangga memang selalu terlihat lebih hijau. Karena itu jangan pernah melepaskan pekerjaan yang sedang ditekuni hanya karena sebuah iming-iming kecil. Pastikan dulu profesi yang lebih baik telah ada di genggaman dan telah pasti untuk anda. 'Bila telah membuang bungkus benang, harus telah didapatkan bungkus sutra'' dengan pasti, bila tidak saya khawatir kita akan seperti anjing sedang menggenggam tulang dengan mulut melihat ke air lalu berusaha mendapatkan tulang di bayangan air, yang sudang ada hilang, yang baru tak didapatkan.
    Karena itu hendaklah kita selalu mencintai pekerjaan yang sedang digeluti. Bagi saya, satu-satunya cara mencintai pekerjaan adalah kerjakan apa yang dicinta. Namun karena sering kali kita tidak punya pilihan, tidak punya kesempatan menggeluti bidang kerja yang dicintai, maka satu-satunya cara adalah belajar mencintai pekerjaan Anda. Sebab, belajar mencintai itu lebih mulia.

  __/"""'""""""""""?
/_;_|                    |
'-@-""""""""-@@-"




Hikmah Aceh 5

''Meu eek ta ayoen deungen ta antok, dalam bak jok kiteubit nira''
   ''Di mana ada kemahuan pasti ada jalan'' kata pepatah kita. ''Siapa bersungguh-sungguh pasti memperoleh'' kata pepatah Arab. Kincinya adalah kemahuan. Saya menambahkan, kemahuan saja tidak cukup, dianya juga harus memulai gerak. Sebab kemahuan saja tanpa eksekusi, sama saja bohong.
  Di samping itu, diperlukan pula ketepatan langkah. Sebab bila keinginan saja yang dimiliki, maka yang ada adalah tindakan brutal tanpa perkiraan dan perhitungan. Keinginan yang baik adalah keinginan yang turut melahirkan motifasi mencari beberapa perbekalan guna menjadi pembimbing pencapaian tujuan.
  Bila persyaratan di atas telah dimiliki maka ''Bila sanggup kita hayun dengan hantuk, dalam batang enau keluar nira''. Demikianlah ketetapan Allah sebab Dia telah menyediakan rezeki kepada sekaliian makhlukhNya di segenap penjuru. Tinggallah hamba pergi mencari dan gigih mendapatkannya.
    Dalam bekerja kita tidak boleh terlalu memilih, jangan banyak gengsi, jangan merasa diri terlalu hebat hingga menganggap tidak cocok dengan pekerjaan yang telah ada di depan mata.
   Jaman sekarang sangat banyak pemuda yang bila telah menjadi sarjana enggan dengan pekerjaan kasar. Dia menganggap untuk apa kuliah bila harus bekerja kasar. Pemikiran seperti itu berangkat dari paradigma keliru tentang kuliah. Mereka kuliah sama sekali bukan untuk ilmu, mereka menjadikan kuliah sebagai modal mencari pekerjaan. Ketika peluang kerja untuk bidang kuliah mereka tidak tersedia, mereka memilih berpangku tangan. Padahal kalau kita sudah sarjana, sudah punya strata satu tingkat di atas masyarakat biasa, tidak boleh tetap menyimpan pemikiran kolot. Seharusnya sarjana-sarjana itu berfikir bagaimana membuka peluang kerja untuk masyarakat biasa seluas-luasnya, bukan malah mencari kerja, bukan semakin merepotkan orang lain.
   Banyak sarjana kita setelah ayah ibunya mengeluarkan uang ratusan juta untuk kuliahnya, setamat kuliah masih menekan orang tua untuk mengeluarkan uang ratusan juta secara sekaligus untuk dia mendapatkan pejerjaan. Kalau orang tuanya berada, kenapa tidak setamat SMA saja meminta modal buka usaha?
  Mereka tidak mahu! Mereka gengsi untuk jadi pedagang apalagi petani. Paradigma ini perlu dirubah. Padahal tanah kita begitu subur. Bila dua pangkal harkat kita yakni bertani dan menjadi nelayan kita tinggalkan, maka kita harus bersiap-siap menjadi kuli tani dan kuli nelayan.
    Ingatlah hidup ini hanya sementara. Jangan terlalu banyak ulah. Kerjakan apa yang ada, jangan kufur atas rezeki yang banyak yang Allah sedia di mana-mana bidang.


Hikmah Aceh 4

''Meugrak Jaroe, mumet gigoe''
     Kata hikmah yang satu ini begitu unik. Dianya sangat singkat namun begitu dalam maknanya, begitu penting untuk diresapi. Pesan yang dikandung sangat perlu untuk selalu diamalkan.
       ''Bergerak tangan, Bergerak mulut'' adalah pukulan bagi pemalas, sebagai motifasi bagi dia yang gigih dan cambuk untuk dia yang ragu untuk berangkat berjuang. Ketika tangan bergerak untuk bekerja, maka baik banyak atau sedikit, ada yang dihasilkan sehingga dapur dapat diasapi dan mulutpun dapat diisi makanan. dengan begitu bergeraklah mulut mengunyah dan meminum. Semua itu tidak akan bisa kecuali tangan digerakkan untuk bekerja.
      Orang yang hanya berpangku tangan dapat dipastikan tidak ada yang dapat ia makan. Tidak ada cara lain agar mulut bergerak karena makan. Tidak ada hujan emas atau uang. Hanya ada satu cara, menggerakkan tangan: bekerja.

Serdang Bedagai, 02-10-'11



Hikmah Aceh 2

''Hukom dalam kitab, adat dalam nanggroe. Jak neut ngon hareukat,  wat dalam jaroe''

Kalimat pertama dari hikmah ini sebenarnya bukan tujuan dari penyampaian. Kalimat pertama biasanya berguna sebagai penyelaras kata bagi kalimat berikutnya yang merupakan inti pesan. Pengungkapan seperti ini lazim berlaku pada butiran hikmah kita seperti yang berlaku pada pantun Melayu juga. Pantun Melayu yang biasanya empat baris selalu mengungkapkan kata penyelaras pada dua baris pertama untuk baris ketiga dan empat yang merupakan tujuan pengungkapan.
  Kata pengantar atau penyelarasnya mengungkapkan bahwa hukum yang berlaku rujukannya adalah kitab. Kitab itu adalah syarah dari Al-Qur'an dan Hadits. Sementara adat itu berada di sebuah negeri. Sebab adat itu murni lahir dari tindakan, prilaku, kebiasaan dan tata aturan dalam sebuah masyarakat tanpa tertulis namun dijalankan dengan disiplin.
   Hikmah kita yang berarti ''Hukum dalam kitab, adat dalam negeri. Berusaha dan mencari keuntungan, tenaga dalam tangan.'' ini maksudnya Sebagai modal untuk berusaha mencari nafkah atau kebutuhan lain, tenaga kita berada di tangan sendiri. Kita tidak dapat menghapat tenaga dari orang lain untuk kepentingan rezeki kita. Pula, tidak benar kiranya bila kita melihat orang lain bekerja sambil mengharap hasil usahanya untuk kita.
     Hikmah ini sangat tepat kita pakai sebagai modal anti kapitalisme yang berlaku di segala lini seperti sekarang ini. Perbankan adakah lembaga yang paling ditentang hikmah ini karena dia hanya mengharapkan untung dari jerih payah orang lain. 
    Penekanan hikmah ini memesankan pada kita supaya menyadari bahwa masing-masing kita punya potensi, tenaga dan semangat sendiri. Ketiga perkara itu harus kita pergunakan seoptimal mungkin. Di samping itu kita juga perlu menyadari potensi yang kita miliki sepaya kita dapat bekerja cerdas. Cerdas dalam artian efesiansi dan efektifitas, bukan menokohi orang. Dengan begitu hasil yang akan kita tuao juga mencukupi, memuaskan dan menenteramkan.


Hikmah Aceh

''Gaki jak, urat meunari. Na tajak, na raseuki''
     Orang-orang yang telah memcapai kesuksesan adalah mereka yang telah melewati masa-masa sulit untuk menentukan sebuah keputusan atara berangkat atau tidak. Pengalamam ini dirasakan betul oleh Imam Ghazali. Mereka yang telah berangkat telah menuai pencapaian akan cita-cita. Mereka yang urung melangkah telah dilupakan seiring berakhirnya upacara pemakamannya.
    Untuk konteks keseharian kita, sering ditemukan orang-oraang yang ragu lalu urung melangkah untuk memulai usaha. Rasa takut dan kecut mereka Lebih besar daripada impian yang digantungkan. Memutuskan untuk terus berada dalam keraguan telah membuat mereka tenggelam.
  Hikmah yang bermakna ''Kaki ada pergi, urat menari. Ada kita pergi, ada rezeki'' sangat tepat bagi saya sendiri yang bekerja sebagai pedagang keliling. Sering saya ragu ketika hendak melangkahkan kaki, hati sering bertanya ''akan lakukah dagangan di sana''. Bila terus larut dalam pertanyaan itu kaki urung melangkah hingga dapat dipastikan rezeki sama-sekali tidak ada. Tapi kalau langkah telah diayunkan, meski tidak banyak laku, setidaknya rezeki itu ada. Kalaupun tidak ada satupun dagangan yang laku, saya pikir itu lebih baik daripada terus menerus urung melangkah. Terus berada dalam keraguan meninggalkan penyesalan yang lebih besar daripada telah menggerakkan kaki namun urung menuai hasil. Apapun usaha kita, Allah terus mengalirkan pahala dan berkahnya sejak langkah pertama digerakkan, sejak urat-urat di kali mulai menari.

Samudra, 01-10-11




Syaikh Muda Waly

      Sebenarnya yang dicari manusia bukanlah kesenangan duniawi. Ketika kegelisahan yang datang terus-menerus, manusia mencoba mengidentifikasi penyebab kegelisahannya dan menemukan hipotesa bahwa ada suatu keinginan duniawi yang belum dicapai. Manusia lalu mencurahkan segenap potensi untuk mendapatkan keinginan duniawi itu.
   Setelah manusia berhasil mendapatkan keinginan duniawi yang dikiranya sebagai obat bagi kegelisahan yang diderita, dia memanfaatkan pendapatan dunia itu seoptiman mungkin.
   Setelah itu ternyata kegelisahannya menjadi betambah. Kali ini kegelisahan yang semakin parah itu bercampur bingung, bingung kenapa setelah yang dia kejar telah didapatkan namun kesenangan belum ditemukan juga.
   Awalnya kita mengira kegersangan jiwa yang dialami adalah karena kurangnya ilmu. Maka berangkatlah kita ke tempat yang sangat jauh untuk mengumpulkan ilmu-ilmu di sembarang kuliah, ceramah-ceramah dan seminar-seminar. Setelah pundi-pundi pengetahuan kita peroleh, kok, malah yang terasa adalah semakin gelisah.
    Terkenang kita akan Buya Syaikh Muhammad Muda Waly Al-Chalidy yang merasa kegersangan jiwa lalu meminta izin kepada ayahanda tercinta untuk berangkat ke arah Kutaraja guna menurut ajakan ruhani menuntut ilmu kepada alim ulama.
     Setiba beliau di Negeri Raja mulailah beliau mencari sesiapa yang patut dijadikannya guru. Beberapa dayah yang beliau singgah terasa kurang tepat baginya setelah bertemu dengan masing-masing guru besarnya. Mereka meminta Syaikh Muda untuk mengajar saja karena apa saja yang diajarkan di dayahnya telah Syaikh Muda punya kuasa.
     Di dayah Krueng Kale beliau hanya menginap semalam. Abu Krueng Kale merasa Muda patut mencari ilmu di tempat lain saja.          Atas petunjuk Allah Azzawajalla berangkatlah Muda ke Tanah Minang. Di sana beliau mulai belajar berbagai macam ilmu yang diajarkan di sana. Di Sekolah Normal beliau hanya bertahan tiga bulan. Muda merasa beberapa pelajaran yang diajarkan di sana bukanlah ilmu yang beliau cari, bukan ilmu yang mengantarkan pada ketenangan jiwa.
    Terbesit pikiran dari Syaikh Muda untuk kembali ke Tanah Jamu saja. Seorang teman menyarankannya supaya tinggal sekejap lagi, siapa tahu ada beberapa faidah yang datang.    Maka Muda menurut saja pinta temannya dan menetaplah beliau di Minang. Di sana banyak tetamu yang datang meminta petunjuk dan petuah atas perkara agama yang dirasa pelik. Meski usia masih muda ilmu Muda sangatlah dalam. Beliau bisa memuaskan hati sesiapa yang mencari petuah agama.
    Atas pertikaian antara kaum tua dan abangan di Barat Sumatera Syeikh muda mampu melihatnya secara bijak. Betapa tidak, di Negerinya Beliau bahkan selalu menjumpai berbagai pertikauan di bidang agama. Pertarungan pemikiran antara ahli Fiqih denga ahli sufi yang sepanjang abad terjadi sampai kini masih selalu diangkat ke permukaan oleh para ahli perguruan tinggi.
  Karena indah perangai, elok budi pekerti Muda Wali dinikahkan dengan seorang santriwati anak ulama tinggi yang juga dalam ilmu agamanya. Santriwati itu hanya menerima pinangan sesiapa yang mampu menjawab sebuah soalannya di bidang agama di mana pertanyaan itu belum mampu dijawab sesiapa ahli agama baik yang tua maupun yang muda.
 Datanglah Buya menghadap calon istri dan ternyata beliau mampu menjawab soalan itu.Dipersungtinglah seorang gadis Minang yang dalam ilmu agama dan cantik parasnya. Perempuan seperti itu adalah segala kesenangan dunia terbaik yang pernah ada.
    Secara lahiriyah pendidikan Syaikh memang terlihat kurang beraturan. Namun tidak begitu dalam pandangan Allah, Dia tahu ilmu yang layak bagi hamba yang Dia cintai. Jadi Allah sudah tentu mengatur rapi kebutuhan jiwa kekasihnya.
    
   Setelah merasa tiba masanya kembali ke Tanah Jamu, beliau bergegas kembali ke Labuhan Haji. Setiba di kampung halaman Muda Waly mengungkapkan keinginan mendirikan pondok pesantren di tanah kelahiran. Mendengar keinginan itu semua masyarakat mendukung karena keinginan Syaikh itu adalah kebutuhan bagi mereka juga. Maka bergegaslah semua warga membantu apa saja yang mereka bisa guna mewujudkan cita dan hasrat akan ilmu pengetahuan dan hikmah.
   Santri-santri dan warga semua bekerja secara perlahan dan cepat menimbun rawa-rawa dan mencari papan membangun balee dan penginapan untuk pengajian.
      Belakangan di Aceh beredar ''fatwa'' haram hukumnya suami-istri berhubungan badan pada malam rabu. Kita tahu suara sumbang itu tidak punya sumber dalam Al-Qur'an dan tidak pernah pula Rasul ajarkan. Belakangan saya percaya pernyataan itu cara datangnya begini:
   Kebetulan Abuya Muda Waly mengajar kaum ibu di Darussalam pada malam selasa dan kaum ayah diajarinya malam rabu. Semua santrinya yang mengaji malam berhenti belajar dari Abuya hingga malam larut. Lalu santri-santri itu menginap di penginapan komplek dayah yang telah disediakan, tidak pulang ke rumah lagi karena malam sudah larut. Dulu kendaraan masih dapat dihitung jari, penerangan juga belum seperti sekarang ini. Jadi meski sudah punya laki-bini, semua menginap di komplek Darussalam.
   Kita tahu jatah kaum ayah diajari Abuya malam Rabu. Jadi malam Rabu semua kaum ayah menginap di dayah. Kebiasaan Abuya mengajar kaum ayah di malam Rabu dituruti murid-murid beliau yang kini menyebar ke seluruh pelosok Aceh dengan membuka dayah-dayah dan membuka pengajian untuk kaum ayah pada malam Rabu. Karena itu, di Aceh menjadi tradisi kaum ayah mengaji pada malam Rabu. Karena menginap di dayah, maka tidak sempatlah kaum ayah tidur dengan istrinya. Selanjutnya sesiapa yang sempat menyetubuhi istri di malam Rabu berarti dia tidak pergi mengaji. Ini dianggap ganjil waktu itu, menjadi aib. Sebab itu sesiapa yang sempat tidur dengan istri di malam Rabu menuai aib.
    Saat ini pengajian pengajian sering digelar pada malam Rabu menikuti kebiasaan yang turun-temurun itu. Di surau, balee-balee, masjid dan dayah-dayah sampai sekarang kita dapat menjumpai pengajian untuk orang tua-tua. Pembahasannyapun kitab-kitab tinggi semacam Tuhfah. Jangan dikhawatirkan banyak peserta pengajian yang tidak paham karena kebanyakan masyarakat di Aceh yang tua-tua kini adalah alumni dayah, jadi adalah mudah bagi mereka memahami kitab-kitab tinggi. Sesiapa yang yang tidak punya bekal dasar kitab kuning jangan takut turut serta mengaji karena ulama pensyarah sangat komunikatif sehingga pembahasan yang tinggi-tinggi di dalam kitab dapat dipahami sesiapa saja meski tampak berbelit-belit. Berbelit-belit ini adalah bagian dari upaya pensyarah agar analogi dan tamsilan diberikan dapat dipahami jamaah.      
   Seorang murid Syaikh Muda pernah bertanya karena penasaran ingin mengetahui kenapa Syaikh hanya terlihatnya memegang tasbih saja. Muridnya yang sangat dekat dengannya itu mengaku tidak pernah melihat Syaikh memegang benda apapun selain butiran tasbihnya. Dia hanya menemukan Muda Waly tidak menggenggam tasbihnya ketika beliau sedang shalat, makan, mengajar dan mandi.
  Suatu ketika murinya itu memberanukan diri lalu bertanya kepada beliau akan pengalamannya tersebut. Dengan penuh hikmat, Buya Muda Waly memberi jawaban: ''Kalau memegang pena, timpul keinginan untuk menulis, Bila memegang pedang timbul keinginan untuk menebas. Bila memegang tasbih maka teringat selalu akan berzikir.''
   Mengetahui pesan itu saya jadi teringat akan ulama-ulama besar yang menulis kitab tebal-tebal. Pastinya mereka sering memegang pena sehingga menghasilkal karya panjang panjang. Persoalannya adalah apakah mereka terpaksa meninggalkan tasbih untuk memegang pena atau memaksakan diri memegang pena melepaskan tasbih. Bila perkara pertama yang berlaku maka mereka adalah penerus Nabi mengampaikan hikmah pada ummat di zamannya. Bila perkara kedua yang berlaku maka mereka tidak lebih dari politikus di Senayan yang memaksakan segala macam cara untuk terkenal dan disanjung puji.
       Ulama model pertama adalah mereka yang merasa sangat perlu menulis untuk memberikan penerangan bagi ummat. Mereka benar-benar terdesak dari dalam jiwa untuk mengabadikan pesannya, membagi pengetahuan dan hikmah kepada ummat melalui pena.
    Dari tinjauan akademik, ulama-ulama Aceh memang sangat dalam ilmu agamanya, namun mereka menilai budaya tulis-menulis oleh ulama kita sangat kurang. Setelah Syaikh Abdurrauf hampir-hampir kita tidak menemukan lagi karya-karya ulama dari Aceh. Hanya beberapa karangan saja yang dapat kita temui seperti Syair Prang Sabi karya Tgk. Chik Pantee Kulu.
      Lagi pula banyak ulama dahulu yang tidak menulis sendiri karya-karyanya, melainkan kuliah yang disampaikan dicatat muridnya lalu menjadi kitab-kitab mashur untuk zaman sesudahnya. Setahu saya semua syair dan karya agama Jalaluddin Rumi adalah ditulis oleh murid-muridnya. Kadang beliau mendiktekan puisinya, kadang dicatat muridnya atas inisiatif si murid sendiri. 
      Abuya Muda Waly memang meninggalkan beberapa karya tulis, namun itu tidak seberapa dibandingkan segala macam ilmu agama yang sangat mendalam yang beliau kuasai. Keputusan Buya yang seperti itu memberi kesan pada saya bahwa ibadah yang dilakukan secara ikhlas, konsisten dan banyak adalah lebih baik dimata Allah daripada keranjingan menulis.
     Saya juga menemukan dimasa kini kita terlalu banyak mempelajari ilmu namun sangat sedikit yang kita amalkan. Kebanyakan di antara kita kini dilaknat Allah karena banyak tahu namun minim praktik.
   Masyarakat muslim zaman dulu tidak terlalu mendalam penguasaan ilmunya, namun mereka segera mengamalkan apa yang mereka tahu. Kita sekarang ini terlalu keranjingan menutut ilmu namun sangat malas mengamalkannya. Pengetahuan yang banyak yang dimiliki generasi muslin sekarang ini hanya dijadikan sebagai senjata untuk mendebat para alim ulama. Kita sekarang menjadikan pengetahuan yang kita kuasai untuk menundukkan ahli hikmah.
   Bukan begitu, demi Allah sama-sekali bukan seperti itu. Mereka yang punya pengetahuan sangat banyak tentang agama sementara mereka hanya menggunakan ilmu itu semata untuk bahan perdebatan, diskusi dan memantapkan jawaban pada pertanyaan-pertanyaan dari kampus sama sekali tidak berharga dimata Allah. Mereka dilaknat karena ilmu yang mereka miliki. Dalam pandangan Allah dan Rasul, ilmu itu adalah pengetahuan yang diamalkan secara ikhlas. Mereka sama-sekali tidak ada apa-apanya dibandingkan seorang yang awam namun selalu mengamalkan yang sedikit yang mereka ketahui.
    Ilmu yang tidak diamalkan pemiliknya diumpamakan Jalaluddin Rumi persis seperti seorang wanita cantik dimiliki seorang pria impoten. Tidak berguna ilmunya kecuali sebagai modal mencari uang dalam memberi kuliah, mengisi seminar, menulis buku dan lainnya. Mereka persis seperti seorang ''mami'' di rumah bordir.
   Abuya pernah berpesan bila berjumpa alim ulama maka ciumlah tangannya, dengarkan hikmak darinya, jangan mendebat. Pesan ini menyiratkan kepada kita untuk tidak menggunakan pengetahuan yang dimiliki untuk medebat alim ulama. Ulama tidak sama dengan akademisi yang sangat banyak pengetahuannya namun mereka seperti yang saya katakan tadi, pemilik rumah bordir. Ulama adalah ahli hikmah. Segenap ilmu yang mereka miliki dinisbatkan pada Allah, mereka jadikan sarana mendekatkan diri padaNya siang dan malam.   
      Kita mengenal Abuya sebagai sosok yang sangat baik ibadahnya. Beliau duduk ditempatnya tahiyatul akhir pada shalat subuh untuk berzikir dan wirid hingga menjelang siang sampai beliau selesai shalat dhuha.  Dalam keseharian dan pengajian, Abuya selalu dapat memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan para muridnya dengan singkat, bijak, penuh manfaat. Jawaban yang beliau berikanpun sangat mudah dipahami si penanya.    
    Hasrat akan ilmu Syaikh Muda terlihat saat beliau menunaikan ibadah haji. Berbarengan menunaikan rukun Islam ke lima itu beliau menyempatkan diri untuk sering berdiskusi dengan para alim ulama di Makkah dan Madinah serta menimba ilmu dengan mereka.
   Terbesit keinginan Syaikh Muda untuk berangkat ke Mesir untuk menimba ilmu ke sana, namun teringat anak istri yang tidak bisa ditinggalkan serta para santri dan masyarakat di Aceh yang membutuhkan beliau, Syaikh urungkan niat itu. Karena anak adalah ''diri kita yang terlahir kembali'' maka cita-cita itu diteruskan putra beliau Abuya Mudibuddin Waly yang menamatkan Program Doktornya di tanah kelahiran Nabi Musa as itu.
   Putra-putra Muda Waly menjadi penerus beliau mengemban amanah menjadi pencerah ummat. Mereka menjadi ulama yang disegani dan menjadi penerus pelita cahaya agama.
   Kewibawaan dan kebijaksanaan Syaikh terbukti ketika beliau menziahari makan Nabi Besar Muhammad Saw. Kita tahu bahwa orang Arab Saudi yang mengikuti paham Wahabi sangat anti dengan yang ''berbau makam''. Tidak terkecuali dengan makam Nabi, mereka melarang pengunjung untuk dekat-dekat dengan makam Nabi. Sesiapa yang melanggar polisi penjaga akan melibas mereka. Ketika seorang polisi ingin melibas Abuya, dengan menggunakan bahasa Arab yang fasih, beliau diizinkan untuk berlama-lama duduk dekat makam manusia yang paling beliau cintai. Pada saat itu saya membayangkan betapa tersentuhnya hati Abuya berdekat-dengan kekasih hatinya junjungan beliau siang dan malam, shalawat dikirimkan ke atas Nabi. Kita tahu bahwa sesiapa yang mengirim shalawat atas Nabi akan mendapat syafaat beliau kelak di hari kiamat.
      Hal ini yang membuat kita bingung melihat kaum Muhammadiyah yang menentang diadakan maulid memperingati hari kelahiran Nabi di mana di sana banyak dihaturkan puji-pujian dan shalawat atas Nabi. Ah, tampanya mereka bisa memberi syafaat untuk diri mereka sendiri di hari akhirat kelak. Atau, Ahmad Dahlankah yang diharapkan syafaatnya?
   Abuya Muda Waly terlihat tidak suka dengan paham pembaruan Islam. Ternyata saat ini terbukti pembaruan itu tidak memberi manfaat atas kaum muslim dan dunia Islam. Paham pembaruan itulah yang telah merubah paradigma Islam dari agama pengamalan menjadi agama yang sifatnya pemikiran dan perdebatan belaka. Pembaruan Islam telah membuat kita tidak jauh beda dengan kaum orientalis yang mencari tahu sebanyak-banyaknya tentang Islam lalu menggunakannya untuk kepentingan akademis semata.
  ''Kaum pembaru'' itu mengira penyebab kemunduraan Islam karena kaum muslim tidak memahami isi kandungan Al-Qur'an. Mereka sering menuduh kaum santri hanya pandai membaca Al-Qur'an sementara mereka sama-sekali tidak mengetahui artinya. Tuduhan ini mereka lontarkan seiring kader-kader Muhammadiyah yang suka membawa buku ''Al-Qur'an dan Terjemahannya'' ke mana-mana dan mereka sering membaca terjemahannya itu. Meski terlihat jarang membaca Al-Qur'an yang diturunkan Allah dalam bahasa Arab itu,  mereka merasa lebih memahami Islam daripada kalangan santri yang gemar membaca kitab kuning yang mereka anggap kolot itu.
   Mereka menuding kitab-kitab kuning adalah kolot, ketinggalan zaman, tidak relevan untuk zaman modern seperti sekarang. Padahal tuduhan itu hanyalah asumsi dan busuk hati. Mereka tidak tahu bahwa kitab kuning itu membicarakan persoalan Fiqih, Tauhid dan Tasawuf yang tidak mungkin ketinggalan untuk zaman manapun. Lagi pula eksplorasi mereka dangkal. Mereka tidak tahu bahwa kitab-kitab itu ditulis oleh ulama suka mengembara dan telah melihat situasi dan kondisi yang beragam. Kitab-kitab itu juga ditulis di tengah-tengah masyarakat yang metepolis seperti Baghdad abad ke-8 hingga ke 13 dan Kutaraja abad 14-17 di mana kedua kawasan itu adalah sentra kerajaan besar, tempat berlalu-lalangnya aktivitas sosial, ekonomi, politik dan sentra ilmu pengetahuan. Saya kira mempelajara dan mendalami kitab-kitab kuning membuat kita jauh lebih memahami Al-Qur'an dan Hadits daripada sekedar membaca terjemahan Al-Qur'an.      Kalangan yang mengaku pembaharu perlu juga tahu bahwa isi-isi di dalam kitab kuning adalah uraian yang sangat komunikatif bagi masyarakat segala level intelektual atas kandungan Al-Qur'an dan Hadits.  Menjelek-jelekkan orang lain memang telalu lancar pena kita dibuatnya, seperti yang sedang saya lakukan saat ini. Hihihi.
  Tapi setidaknya pembaruan itu akan menyeret kaum muslim pada apa yang dikhawatirkan Nabi yaitu tiba masanya zaman fitnah di mana kita jadi ahli sufi pada pagi hari dan bermaksiat pada senjanya. Fenomena ini telah terlihat di kota-kota besar di mana masyarakat banyak mengikuti majelis zikir dan menjadi ''sufi kota'' namun maksiat dikerjakannya juga.
       Fritjof Chapra (The Tao of Physics, 2009:44) mengatakan pengalaman mistik dan fisika subatomik adalah dua paradoks yang tidak bisa dikomunikasikan dengan bahasa verbal karena telah melampaui batas imajinasi manusia. Tasawuf, dengan segala keunikannya adalah bagian daripada fakta yang dikemukakan Chapra itu. Seorang sufi sama-sekali tidak mampu menjelaskan pengalaman mistiknya melalui kata-kata. Kadang-kadang mereka mengungkapkan hubungan antara sufi dengan Allah melalui perlambangan Hubungan antara sepasang insan yang sedang jatuh cinta. Meski demikian, segala perlambangan dan pengistilahan dari hal-hal yang di luar batas imajinasi dan nalar meski dikiaskan dalam bentuk apapun tetap saja tidak mampu menjadi representasi dari kenyataan yang sebenarnya.  
     Abuya Muda Waly adalah orang yang sangat santun perangai, baik budinya, rajin ibadah dan sangat menghormati orang lain. Beliau adalah pengikut tarikat Naqsyabandiyah. Saya melihat, pembahasaan terbaik daripada pengalaman mistik bukanlah dari penjelasan-penjelasan dengan kata-kata, tapi melalui sikap dan prilaku keseharian. 
        Fisikawan yang juga menghadapi persoalan yang sama dengan kaum sufi yakni kesulitan menginformasikan fakta-fakta subatomik yang mereka lihat dan telusuri dapat membahasakan pengalaman luar biasa itu melalui sikap dan kebijakan mereka terkait ilmu pengetahuan dan alam. Sikap, tingkah laku, keputusan dan kebijakan adalah penentu siapa dan seperti apakah kita sebenarnya.
   Pada kesempatan yang lain saya telah mengatakan bahwa segala sesuatu sesuai dengan tingkah laku dan perbuatannya. Tindakan itu menentukan bentuk, bukan bentuk yang menentukan tindakan? Rene Descarter mengatakan pemikiranlah yang menentukan segalanya. Saya kira pernyataan yang lebih tepat adalah tindakan, bukan pikiran semata.   
     Para wali diberi karamah oleh Allah, misalnya bisa berjalan di atas air, bukan karena pikiran beliau yang merubah air agar tidak menenggelamkan melainkan karena kuatnya ibadah mereka dibarengi hati yang ikhlas. Nabi Ibrahim tidak terbakar api bukan semata pikiran beliau yang selalu mengingat Allah tapi juga karena ibadah serta sikap mulia yang beliau miliki.
     Zaman pembaruan pemikiran sekarang ini terlalu mementingkan isi kepala dan apa yang dipikirkan. Manusia sekarang menganggap remeh perkara yang menyangkut perbutan, norma dan tingkah laku. Mereka terlalu mementingkan pengetahuan yang tinggi, ijazah yang banyak. Padahal jauh hari Nabi telah mengatakan adab itu di atas ilmu.
   Penyebab mundurnya Islam bukan karena ummatnya kurang pengetahuan melainkan karena tidak lagi mengamalkan apa yang mereka ketahui. Mengupayakan kebangkitan kembali Islam bukan menjadikan kepala sebagai septic tank bagi segala macam pengetahuan. Meninggalkan segala perintah serta mengamalkan apa yang Allah perintahkan adalah satu-satunya cara agar ummat Islam kembali berjaya.
    Penyebab kegelisahan hati manusia bukan karena kurang pengetahuannya melainkan karena semakin banyak yang ia ketahui semakin banyak dia ingkar. Yang diperlukan manusia adalah pengamalan yang khusyuk serta konsistensi mengamalkan apa yang telah mereka ketahui dibarengi keikhlasan menjalankannya. Wallahua'lam.

Samudra, 01-10-11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar