Sabtu, 30 Juni 2012

GErak Substansi


Indonesia
Intro

Gerak substansial mulla shadra telah memiliki pembuktian tak terbantahkannya melalui sains modern. Hegel juga tidak kalah. Sejarah Idenya juga telah memiliki bukti: ampuh: dalam pergerakan sosial melalui tangan Marx. Kedua gerak beyond matter ini punya kekuatan yang luar bisa. Pemikiran Besar Shadra belum menemukan perlawanannya dalam filsafat Islam Demikian juga di Barat, gerak substansinya juga masih menjadi referensi para pemikir barat hingga kini.

Ada orang baik perangainya, tapi tidak baik pikirannya, ada orang baik pikirannya, tapi hatinya tidak. Ada orang baik hatinya tapi darahnya busuk. Ada orang baik darahnya tapi rohnya buruk. Orang yang rohnya buruk tapi baik darahnya adalah bohong. Orang yang busuk darahnya tapi baik hatinya itu si Pendendam. Ada yang baik darahnya tapi hatinyanya buruk itu orang yang tidak beruntung. Yang baik pikirannya tapi tidak baik perangainya dia belum beruntung.

Gerak Substansial

'Dunia' yang dimaksutkan di sini bukanlah semata yang tampak oleh mata dan tersentuh oleh kulit, dunia yang kita maksud adalah dunia sebagai keseluruhannya, tidak peduli kita mampu menjangkaunya ataupun tidak, tak mau tahu kita memahaminya atau tidak. Apa... yang dapat diketahui, melalui alat bantu sekalipun, tidak sama dengan apa yang sejatinya. Nihilisme tidak mempercayai apapun, apa saja yang dipertanyakan ''apa itu''' mereka menolaknya. Sains modern telah merumuskan teori pengembangan semesta. Stephen Hawking, antropolog masyhur itu percaya. Tapi semua yang masuk dalam ruang kaji Hawking juga dapat ditunjuk, dapat masuk ke dalam intelek. Jadi semua objek Hawking itu cuma sebatas yang dapat dijangkau akal manusia. Semua yang meruang dan mewaktu ditolak Netzshe. Filsuf Jerman itu hendak mengatakan bahwa segala yang meruang dan mewaktu hanyalah persepsi pikiran. Segala hal yang meruang telah mewaktu, yang waktu tersebut adalah alat pikiran untuk menciptakan ruang. Akal diproduksi oleh kesadaran adalah bergerak. Segala yang telah mewaktu pasti bergerak, karena ada yang bergerak, pasti ada yang berubah. ''Tidak mungkin ada waktu bila tidak ada yang berubah'' kata McTaggart, karena syarat perubahan adalah waktu. Tapi bagaimana dengan akal yang melampaui waktu?
Kesadaran manusia, yang dibelakangnya tidak memiliki waktu tidak berubahkah? Akal, atau intelek dibentuk oleh gerak. Gerak ini aktif secara terus menerus. Gerak yang terus menerus ini mengilhami intelek melalui jiwa hingga membentuk kesadaran. Kesadaran inilah yang kemudian mewujudkan ruang dan waktu secara bersamaan. Jadi, akal manusia, adalah bagian dari Akal Utama yang mengada melalui perantara jiwa (soul). Intelek manusia melalui ruang-waktu mewujudkan badan atau materi-materi lainnya. Masalahnya, akal kita secara apriori tidak menerima adanya gerak tanpa ada perubahan: Setiap yang bergerak pasti akan berubah, demikian konsepsi murni pikiran.
Iqbal dalam menyelesaikan masalah ini membagi waktu ke dalam dua bagian. Waktu pertama adalah bentukan intelek kita, waktu yang kedua ini adalah yang mengada bersama gerak yang melampaui pikiran. Boleh saja perubahan berlaku bagi alam yang dibawahi akal menurut gerak yang dikonsepsikan berbarengan dengan waktu yang dikonsepsikan. Dengan ini kita harus menerima bahwa perubahan itu juga adalah bentukan pikiran.
Pemikir sebelum Mulla Shadra tidak berani menerima gerak yang melampaui akal, atau gerak substansial karena menganggap hal substansial tidak berubah sebab kalau dia berubah, maka dia tidak lagi dapat disebut findasi atau substansi. Tetapi di sini kita menemukan bahwa perubahan hanya bentukan pikiran semata. Gerak substansi tidak meniscayakan perubahan. ''Dahulu, sebelum Tuhan menciptakan apapun, Tuhan demikian. Kini, setelah Tuhan menciptakan semua ini, dan setelah semua ini berakhir, Tuhan tetap demikian' Kalimat murid Bayazid Bistami sejauh yang dapat saya ingat itu mensinyalkan hal substansial tidak berubah. Perubahan memang senyatanya pergerakan menuju ke lebih baik. Karena yang substansi adalah sempurna, maka dia tidak akan berubah. Substansi yang bergerak terus menerus salah satu dari tak terhingga efeknya adalah aktifnya akal manusia. Inilah tampaknya yang dimaksudkan dalam Al-Qur'an: ''Setiap saat Dia dalam kesibukan (QS. 55:29). Segenap isi jagad raya bergantung pada Substansi itu: ''Allah adalah Tuhan, bergantung padaNya segala sesuatu'' (AS. 112: 2), segala aksiden, bergantung pada substansi. Iqbal bahkan mengatakan pada dimensi yang dipersepsikan setelah dimensi dunia ini, manusia tetap juga bergerak karena diakibatkan substansi yak terus bergerak.
''Dunia ini raksasa energi, tanpa awal, tanpa akhir, sebuah besaran daya yang kukuh, kuat, Yang tidak membesar atau mengecil, yang tidak memperluas dirinya sendiri melainkan hanya mengubah dirinya sendiri; secara keseluruhan...'' (Friedrich Nietzsche). Ucapan filsuf Jerman itu benar bila diamati dengan baik. untuk dirinya sendiri perubahan memang tidak berlaku, perubahan hanya berlaku bagi pengamat. Maksud 'mengubah' beda dengan 'berubah'. 'Berubah' itu menurut pengamat, sementara 'mengubah' itu menurut subjek sendiri. Maka mengubah ini sama dengan 'bergerak'.
Bagi subjek, karena itu yang diperlukan adalah terus bergerak. Gerak ini muncul secara apriori, dia lebih azali daripada akal itu sendiri. gerak ini adalah keniscayaan. Tegak ini memunculkan kesadaran (akal) untuk menunjang gerak itu sendiri. Ketika akal bersama serta, maka muncullah kategori-kategori. Kategori-kategori ini menjadi barometer menentukan kita berangkat dari kekurang baikan menuju lebih baik.
Individu punya fitrah yang sama untuk hal ini, penilaian kekurang baikan dan kebaikan adalah sama sebab dia berasal dari akal murni. Karena itu, adalah tugas tiap individu mengingatkan individu yang lain untuk tetap konsisten dalam akal murni itu sehingga secara bersama kita dapat bergerak membentuk karakter.
Pembentukan karakter penting menurut Kant. Bagi Kant, banyak hal noumena yang tidak terjangkau akal praktis, akal praktis hanya mempu menundukkan segilintir. Substansi tidak terjangkau akal. ''Bila kamu ditanya tentang Ruh, katakan 'Ruh dari urusan Tuhanku', dan tidak diberikan kamu pengetahuan kecuali sedikit'' (QS. Al-Isra': 85). Hal-hal yang tidak terjangkau akal dapat diapresiasi melalui prilaku. Karena itu, Kant meminta sepaya etika dilepaskan dari segala kecenderungan-kacenderungan hal-hal yang tunduk (terpersersi) oleh akal.
Kesadaran murni perlu ditanamkan sejak dini supaya kesadaran itu muncul. Kesadaran disini tidak cukup sebatas mengada Heideggar, tetapi kesadaran akan adanya Sang Ada yang menyebabkan kita mengada sangat perlu. Kesadaran seperti ini membuat kita paham bahwa kita tidak boleh berhenti bergerak walaupun sejenak. Kesadaran seperti ini juga penting agar kita sadar bahwa Sang Ada itu bukan objek kita, tapi kita hanya segelintir manivestasi dari gerak substansial Sang Ada. Kesadaran Ada-nya Heidegger tampaknya tetap saja antroposentris.
Sebagai individu dan masyarakat, gerak kita adalah membentuk karakter sebagaimana disebutkan di atas. Jalan yang kita tempuh adalah melalui pembentukan intelek yang berisi, memiliki keahlian menguasai hukum berfikir benar dan tepat menurut kaidah fitrah intelek. Membentuk intelek yang demikian adalah perlu sebab kesadaran itu, saat kita telah berada pada ruang dan mewaktu, inteleklah yang bertama muncul. Intelek yang ahli dan berisi dapat mengantar pada kepekaan yang tinggi yang dengan itu membentuk rasa. Rasa ini diapresiasi melalui etika murni, etika yang tidak berbatas pada sebab akibat semata, tetapi melampaui hukum buatan akal.
Bila ini diterapkan secara sadar dan baik, maka noumena itu akan berinteraksi dengan kita walau akal tidak mampu menjelaskan. Spiritualitas akan menyatu dengan kita. Inilah harapan kita. Kebersatuan spiritualitas dengan diri secara langsung melahirkan karakter yang cerdas emosionalnya. Inilah harapan kita. Dan bila ini terwujudkan, kita telah mengikuti hukum gerak substansial. Pengingkaran terhadap hukum gerak substansiallah yang menyebabkan kerutuhan moral individu dan kehancuran sebuah peradaban. Pencapaian hukum geraksubstansial baru tercapai bila kita melaksanakannya secara kolektif. Oleh sebab itu pembentukannya harus dimulai dari membentuk karakter masyarakat intelektual.
Adapun konsentrasi masyarakat intelektual yang cerdas emosional dan cerdas spiritual adalah melalui advokasi media informasi. Kita telah menguraikan setumpuk persoalan kebangsaan, salah satunya adalah kebablasan media dan penggringan opini untuk kepentingan kapital segelintir kalangan. Koordinator Pusat Brigade PII dikonsenterasikan menjadi badan otonom PII yang mampu membentuk Kader PIi yang mampu merespon media massa secara bijak demi menyelamatkan bangsa dapi penggiringan opini ke arah yang telah kita ketahui.


Mulla shadra
Seorang filosof akan besar bila kehadirannya mampu memberi solusi atas persoalan pelik sedang dihadapi ummat. Persoalan pelik itu tak kunjung tersolusi sehingga dialah yang mampu mencairkan semua. Kehadirannya itu berbeda dengan turunnya seorang Rasul yang praktis harus bersentuhan dengan umatnya. Dia juga datang bukan seperti superhero yang menolong kebutuhan temporer lalu terbang lagi. Filosof tidak seperti mereka semua itu. Tapi menurut sejarah, kita dapat mencirikan mereka, setidaknya sebagai berikut: awalnya dibenci, dimaki, ditolak, lalu setelah lama waktu berlalu, dia akan dicari, dipuja dan mdiakui tanpanya mereka akan merana: meski kala itu sang filsuf telah pergi. Masyarakatnya, atau lebih tepatnya, seseorang atau beberapa orang, perlu ditunggu kelahirannya supaya sang filosof dapat dipahami. Filosof bukan pahlawan pada zamannya. Demikian juga seorang Mulla Shadra.

       Mulyani ''Azzam'' telah menjadi teman yang baik ketika dia mampu memberi penjelasan yang dapat saya pahami mengenai makna 'ashlahatul wujud' dan 'ashlahatul mahiyah'. Kata Azzam, pemikiran ashlahatul wujud lebih rumit dan mendalam daripada ashlahatul mahiyah. Ashlahatul mahiyah sudah berhenti pada ketika sebuah kuiditas terbentuk. Terbentuknya kuiditas dalam sebuah pemahaman adalah kebenaran itu sendiri. Demikian menurut kaum ashlahatul mahiyah, kata Azzam. Tetapi apakah Yang kita pahami itu adalah kebenaran itu sendiri? Menurut kaum ashlahatul wujud, apa yang kita pahami itu bukanlah kebenaran sebagaimana adanya. Apakah lahit biru sebagaimana saya lihat pada siang yang cerah itu benar-benar bewarna biru?
     Sains modern, kata Azzam, benar-benar telah berpihat pada ashlahatul wujud. Sebab, ternyata apa yang kita apa yang kita inderai bukanlah seperi apa adanya. Namun semakin sains mampu membongkar misteri objek pengamatan, semajin tampak kita tidak tidak memahami apapun, semakin kita dibuat bingung. Lagi pula, kacamata sains bukanlah standar kebenaran murni, obserfasi miksoskop subatom juga membuat limitasi dan sudut pandang tertentu sesuai kemampuannya, cara kerja ini juga sama seperti cara kerja manusia. Pengetahuan perspektif saian berarti juga menganut ashlahatul mahiyahnya sendiri.
      Penjelasan Azzam lagi, ashlahatul wujud lebih unggul daripada ashlahatul mahiyah karena dia berada pada fitrah manusia yang lebih dalam. Mengutip penjelasan Musa Kazim, Azzam mencontohkan seorang bayi yang sudah mampu menangkap dan menyimpan bentuk (form) dalam benaknya tetapi belum dapat menangkap makna di dalam benaknya. Argumen ini tampaknya dijadikan alasan bahwa bentuk lebih esensial daripada makna dikandungnya. 
     Menurut kaum ashlahatul wujud, sesuatu yang lebih esensial adalah wujud. Wujud sifatnya ada dengan sendirinya, apriori, lebih dari itu, dia bersifat badhihi. Misalnya seorang bayi, dia mampu membedakan antara ada dan tiada secara langsung. Sebeb, menurut argumen kaum ashlahatul wujud, wujud itu tidak perlu diferivikasi. Banyak hal yang membutuhkan pembuktian, tapi 'ada' itu ada tidak perlu dibuktikan.
     Namun dapatkah kita berpegagng pada argumen seperti ini? Setiap wujud itu pastinya mengandung mahiyah, demikian sebaliknya. Tetapi mengenai mana di antara dua itu yang lebih esensial, itulah yang diperdebatkan kaum filosof. 
     Mulla Shadra sering dituding sebagai plagiator karya filsafat. Alasan mereka karena melihat karya Shadra Adalah nukilan daripada karya para filosof sebelumnya. Sering Shadra tidak menyebut nama tokoh yang dikutipnya. Untuk etika ilmiah hari ini, kata para pengkritiknya, tindakan seperti ini sangat terlarang. Namun para pembelanya, utamanya mereka yang di Hawzah Ilmiyyah, Qumm, Shadra tidaklah menyusun karya filsafat dari kutipan karya filosof sebelumnya semata, tetapi banyak buah pikir orisinilnya di dalamnya. Misalnya, seperti pendapat Murtadha Mutahhari dalam 'Filsafat Hikmah' (Bandung: Mizan, 2002, h. 77-78) mengatakan (1) karena yang dikutip adalah argumen yang sudah tidak baru lagi dan sudah populis, seperti cara Al-Ghazali dalam 'Tahafut al-Fasasifah', (2) lagi pula Shadra mengaku semua isi dalam karyanya bukan argumennya secara keseluruhan, jadi Shadra tidak mengklaim bahwa semua isi adalah argumentasi prinadinya, ini penting sebab umumnya, kerja plagiator adalah berusaha menyembinyikan nukilannya adalah milik pribadinya, dalam hal ini, Shadra tidak begitu, (3) Muthahhari menjelaskan karya Shadra ini adalah karya filsafat, jadi karya filsafat, sama seperti sains, bukanlah dibentuk dari kekosongan atau rintisan melainkan mengkonstruksi argumen-argumen atau penemuan sebelumnya, (4) bebrbeda dengan karya sastra yang dibangun secara personal, subjektif dan terpisah dari selainnya. Muthahhari juga menjelaskan, kata 'Hikmah Muta'aliyah'  yang identik dengan Shadra, bukanlah dicetus oleh Shadra melainkan Ibn Sinalah yang memulainya, dan ini diakui Shadra sendiri.
     Sama seperti Ibn Sina, Shadra adalah filosof beraliran Ashlahatul Wujud. Sebelumnya, Shadra lebih cenderung kepada gurunya, Mir Damad, yang lebih cenderung kepada Ashlahatul mahiyah. Sebagaimana yang pernah kita singgung di atas mengenai eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah). Dalam pandangan saya, setiap wujud menjadi wujud (menjadi ada) pastilah telah melalui mahiyah, dan setiap wujud mewujud, pastilah meniscayakan mahiyah kembali untuk mengadakan wujud, demikian seterusnya tanpa berhenti sehingga tampaknya memang sulit bagi kita untuk menentukan manakah yang ashlahatul, wujud atau mahiyah. Karena itu, Mutahhari (h. 82) mengatakan kaum Peripatetik yang percaya pada kehakikatan eksistensi dan kaum Illuminasionis yang percaya pada kehakikatan esensi tidaklah memiliki landasan yang cermat. Dalam karya Mulla Shadra, yang diangap sebagai penengah antara perseteruan Peripatetik dan Illuminasionis, Mutahhari (h. 83) mengaku tidak menemukan hal yang bertolak belakang akan antara kedua aliran ini(?)
      Mengenai kemanunggalan wujud, Muthahhari dibuat bingung dalam hal ini. Dia sulit mengidentifikasi berbagai pendapat mengenai eksistensi sebagai idenya siapa. Dalam satu argumen dikatakan eksistensi adalah penampakan yang tidak sebagaimana adanya. Ada yang menuding ini adalah argumennya Suhrawardi. Ada argumen bahwa eksistensi itu manunggal, tidak majemuk, Muthahhari menduga itu argumen miliknya kaum 'arif. Bahwa eksistensi majemuk itu yang  univokal, sementara secara ekuivokal pastinya manunggal, tampaknya ini argumentasinya Peripatetik. Sementara paham eksistensi itu beragam sekalugus manunggal yang bergradasi itu miliknya Pahlawi, aliran filsafat Persia kuno. Tapi, Muthahhari sendiri mengaku bahwa setiap cara pandang ini tidak bisa digeberalisir milik aliran tertentu saja karena kebercampuran cara pandang oleh masing-masing aliran. Misalnya kaum Peripatetik juga memiliki pemikiran yang hampir sama dengan kaum Pahlawi. Gradasi tampaknya dianut oleh aliran Peripatetik, Illuminasionis dan Ibn Arabi, tetapi perbedaannya cuma pada pemakaian istilah. Benarkah demikian? Jawabannya: tidak sepenuhnya benar dan tidak juga keliru.   
     Ciri khas filsafat Islam adalah begitu memberi peluang pada mental yang mana mental tampaknya memang adalah cara bagi kita untuk memperoleh pengetahuan, baik dengan menginderai, bernalar dan mungkin intuisi juga melibatkan mental.
     Sepanjang sejarah filsafat, penolakan dan pembelaan atas empirisme dan rasionalisme terus saja bergulat. Kaum pembela rasionalis menunjukkan argumennya yang tajamm terhadap kelemahan empirik dan keunggulan rasio, sebaliknya kaum empirisme memberikan penjelasan yang kiat terhadap keunggulan pengalaman daripada rasio, demikian terus berlangsung. Henry Bergson baru-baru ini menawarkan argumentasi baru mengenai keunggulan intuisi. Menurutnya, rasio dan pengalaman keduanya tidak bisa dijadikan landasan karena sama-sama memiliki kelemahan. Karena itu, dia menawarkan bahwa hanya intuisi saja yang tidak bisa diragukan keunggulannya.
    Saya melihat antara empirik, rasio dan intuisi adalah satu proses linear, bukan hal yang harus diperdebatkan. Sebuah pemahaman adalah satu keyakinan yang tidak terbantahkan bagi diri si pemaham. Kondisi seperti inilah yang mungkin dimaksudkan Bergson. Tapi walau bagaimanapun, untuk menuju sebuah pemahaman, mustahil dianya ada dengan sendirinya: (sim salabin atau abrakadabra). Di samping itu, paham Illuminasionis yang mengaku segala cerapan indera cuma penyingkapan dari apa yang sudah dipahami hanyalah asumsi semata. Kalaupun dianya benar, maka dia tidak akan bertentangan dengan apa yang ingin kita sampaikan.
    Bahwa untuk menuju intuisi, awalnya adalah pengalaman indera menangkap realitas. Dalam hal ini kita harus bertumpu pada keyakinan Empirisme. Rasio juga tidak bekerja secara sim salabin atau abrakadabra. Rasio itu baru dikonstruksi setelah adanya pengalaman empirik. Bahkan tidak mungkin saya dapat berfikir ataupun mengakui diri saya ada tanpa pernah saya menginderai apapun. Mustahil. Padahal kita mengaku bahwa yang membuat kita berfikir adalah apa yang kita inderai. Hasil pengolahan hasil pengalaman empirik oleh rasio hingga matang dengan baik itulah yang disebut intuisi.  'Karena itulah Bergson sendiri mengatakan intuisi adalah intelek tingkat tinggi (lihat: Iqbal, Yogyakarta: Jalasutra, 2002, h. 17). Memperdebatkan antara keutamaan empirik, rasionalitas dan intuisi adalah hal konyol.  
    Hal selanjutnya yang akan kita kemukakan yakni mengenai sebab-akibat. Sebab akibat, seperti kaya Yazdi dalam 'Buku Daras Filsafat Islam': sebab itu perlu berhenti pada Sebab Utama yang tidak lagi membutuhkan penyebab. Demikian juga akibat, harus berakhir pada akibat terakhir yang tidak dapat menjadi sebab bagi suatu akibat lagi. Sesuatu dijadikan akibat dari sesuatu sebelumnya adalah cara kerja rasio dalam mengolah data empirik. Jadi, eksistensi sebab-akibat adalah produksi intelek. Sekali lagi, yang memicu intelek berkonstruksi adalah pengelaman empirik juga. Pemikir yang menolak eksistensi sebab-akibat adalah kaum Empirisme seperti Hume. Sebab, mereka tidak mengakui keunggulan rasio.
    Ketika Yazdi (Yazdi, 2010) mengatakan harus ada sebab utama yang memunculkan akibat pertama, berarti akibat pertama ini memberi batas pada sebab pertama sehingga dia diakui sebagai sebab pertama (Iqbal, 2002, h. 65). Bila sang sebab pertama mampu menimbulkan akibat pertama, maka kualitas sebab pertama haruslah sama dengan akibat pertama. Dengan begitu, tidak ada alasan untuk menolak kemampuan akibat pertama juga mampu memunculkan sebab pertama. Demikian pula akibat terakhir yang disebutkan tidak mampu menimbulkan sebab baru tanpa alasan. Sekali lagi, hukum sebab akibat itu semata bentukan pikiran. Bila Sebab Utama itu sering dianggap sebagai Tuhan, maka argumen yang mengatakan Tuhan hanyalah bentukan akal semata.
   Muthahhari (h. 92-93) menjelaskan, yang pertama adalah sebab, yang kedua adalah akibat dan yang ketiga, yang muncul dari keduanya adalah eksistensi atau wujud. Eksistensi dari sebab-akibat itu hanyalah pada benak kita saja, realitasnya tidaklah seperti itu. Benak menjadikan sebab dan akibat adalah hal rang terpisah, tapi menurut Muthahhari, sejadinya akibat yang dimunculkan oleh sebab adalah identik dengan sebab itu sendiri.
   Sebagaimana kita ketahui, intelek itu bekerja dengan mengkonsep hal-hal fisika. Pengkonsepan hal fisika ini disematkan oleh akal sebagai cara mengenal hal-hal metafisik. Karena itu, dalam intelek, hal fisik dan hal metafisik tampak seolah-olah indentik. Akal, dengan segala kelebihan dan kekurangannya menyeret hal-hal metafisik ke dalam hukum kausalitas.   
     Tampaknya memang intuisi adalah hal yang lebih patut diandalkan sebagaimana tawaran Iqbal. Tapi bagaimana menjadikan intuisi itu objektif sebab dianya tidak dimiliki secara umum dan dianya sangat relatif untuk masing-masing yang memiliki? Serta, bagaimana intuisi itu dapat dipercayai secara mutlak, bukankah dianya juga adalah dari indra lalu intelek yang diragukan itu: bagaimana kita dapat meyakini sesuatu yang dianya adalah dari hal-hal yang diragukan.
     Persoalan selanjutnya yang dibahas Shadra adalah mengenai perubana. Iqbal menurut Leaman prinsip utama realitas adalah perubahan terus-menerus ('Pengantar Filsafat Islam, Bandung: Mizan, 2001, h. 36). Bahkan menurut Iqbal di akhirat sekalipun manusia masih terus bergerak untuk bangkit berusaha mengenal siapa dirinya. Saya teringat satu khutbah Iedul Fitri yang mengatakan satu saat penghuni surga akan dapat melihat Wajah Allah secara langsung. Dan inilah kenikmatan puncak. Ini mengisyaratkan penghumi surga terus berproses menuju kenikmatan puncak itu. Demikian pula penghuni surga juga berproses menuju ke sana dengan melalui fase-fase yang disebut siksaan.
       ''Alam materi melakukan gerak substansial, evolusioner'' kata Muthahhari  (h. 99). Pemikiran Iqbal ini serupa dengan Shadra. Sebagaimana dijelaskan Muthahhari (h. 97), bagi Shadra, substansi dan keseluruhan aksidennya mengalami gerak yang terus menerus, tidak ada satupun benda di alam yang bersifat mandek. Ibn Rusyd menurut Leaman (h. 37) mengatakan alam adalah keseluruhan, maka mustahil alam tercipta dalam waktu. 
    Dalam 'Filsafat Shadra' (Bandung: Pustaka, 2000, h. 25), Fazlur Rahman menerangkan bahwa Mulla Sadra menganut konsep Harakah Jauhar. Konsep ini maksudnya gerakan itu berasal dari gerakan nonmaterial yang berimplikasi kepada gerakan materian. Para filosof sebelum Shadra tidak berani melahirkan konsep seperti ini karena mereka berpikir bahwa hal non material tidak dapat dianggap bergerak, karena kalau bergerak maka pasti berubah (sesuai pemahaman merrka tentang pengalaman materi), berubah menurut mereka pastilah menuju kesempurnaan, bila masih menuju berarti belum sempurna; Tuhan juga nonmateri, jadi mustahil non materi berubah karena Tuhan itu telah sempurna adanya.
            Pada kategori substansi dalam makkulatul sani falsafi Suhrawardi hanya menerima body, soul dan intellect. Menurutnya form dan telah terkandung dalam matter dan mattter adalah kandungan daripada body. Penolakan inilah yang membuat teori gerak Suhrawardi henya bersifat Aksidental. Sementara Mulla Shadra menegaskan Form dan Matter adalah ketegori penting yang perlu dibahas secara terpisah dan perlu dijelaskan masing-masingnya sehingga pemikiran ini membuat Suhrawardi adalah pemikir pertama yang menemukateori gerak substansial.:
      Gerak adalah perubahan dari satu bentuk ke bentuk yang lain. Perubahan itu adalah dari potensi (quwah) ke aktualisasi (fi'li). Perubahan dari potensi ke aktualisasi meniscayakan empat elemen yakni (1) mutaharriq (menggerakkan), (2) mutaharrih (bergerak, (3) musafah (jarak), dan (4) zaman (waktu).   
            Menurut analogi Kerwanto, mengenai perbedaan antara konsep gerak Periptetik dengan Filsafat Hukmah adalah seperti orang yang memakai baju lalu membukanya dan memakai baju lagi untuk Peripatetik dan pakai baju lagi dan lagi tanpa menanggalkan baju yang lama untuk Hikmah. Saya kagum dengan konsep gerak substansial karena sinergi dengan teori kuantum yang dipopulerkan oleh Hessenberg.
    Cara pikir yang sempit para filosof sebelum Shadra boleh juga akibat tekanan para teolog. Tapi mereka juga keliru dengan menganggap Tuhan itu statis. Lagi pula non materi yang bergerak hingga mempengaruhi gerak materi belum tentu adalah Tuhan; non materi bukan Tuhan saja. Padahal sebagaimana diinformasikan Al-Qur'an: Tuhan sendiri selalu dalam kesibukan.    
  Untuk mudah memahami gerak, kata Pak Musa Kazim (penyuting buku-buku Seri Filsafat Islam Mizan), terlebih dahulu kita harus menganalisa elemen-elemen gerak itu. Pertama ada subjek yang bergerak, kedua ada posisi awal (atau potensi), selanjutnya ada fase-fase gerak menuju aksi (bentuk setelah berubah) dan ada bentuk setelah berubah itu sendiri.
    Fase atau durasi itu dalam kacamata si pengamat disebut waktu. Jadi waktu itu sendiri dalam hal ini, relatif bagi si pengamat. Tapi subjek, potensi dan aksi nyatanya adalah satu zat. Lalu karena waktu di sini adalah hal dimensi keempat yang relatif, maka adakah proses gerak itu? Karena proses itu sendiri berlaku dalam waktu. Karena waktu relatif, maka gerak itu relatif pula.
     Artinya gerak itu adalah juga termasuk limitasi oleh akal. Akal meniscayakan kausalitas dan membatasi posisinya untuk mengenal perubahan. Baik wujud potensi maupun wujud aksi juga adalah sama-sama wujud yang artinya adalah pengenalan indera dan akal. Sekali lagi, indera dan akal terhadap alam adalah persepsinya melalui limitasi.
      Untuk membuktikan harakah jauhariyah, bahwa pada alam non materi juga ada gerak yang dibuktikan dengan adanya waktu di sana, kita dapat melihat bahwa di sana juga berlaku durasi. Teks suci kita mengatakan seribu tahun di sina, satu hari di sana. Wallahu alam.

Sejarah Nalar Hegel 

Hegel adalah termasuk ''catatan kaki'' Plato. Dia memaksakan harus nalarlah yang membentuk sejarah. Dia mengemukakan kekecewaannya pada Anaxagoras yang mengatakan alamlah yang membentuk sejarah (Hegel, 'Nalar Dalam Sejarah', Jakarta: Teraju, 20' h. 20). kita tahu bahwa pemahaman manusia sebelum Plato tidak berpusat pada manusia, bahkan jauh sebelum filsuf alam Yunani, manusia mengaku takluk pada alam. Ini tidak sepenuhnya sebab di beberapa bagian di Timur, senyatanya manusia tidak dikendalikan oleh alam tapi bersahabat dengannya. Tetapi sebelum Thales atau beberapa filsuf sebelumnya, terutama di Barat, mengaku alam punya kekuatan yang luar biasa sehingga manusia harus tunduk penuh dan bahkan ada yang menyembah alam. Barulah seelah Thales atau beberapa filsuf sebelumnya mencoba mengenal alam dengan baik dan sampai pada kesimpulan bahwa alam ini adalah benda mati. Berdasarkan kesimpulan ini, oleh Plato dan fisuf setelahnya mendeklarasikan manusia lebih unggul daripada alam. Dengan itu manusiapun menjadikan dirinya sendiri sebagai sentral.
Kesimpulan filsuf alam tidak sepenuhnya benar, alam tidaklah benar-benar mati. Dia hidup seperti manusia juga. Hegel yang termasuk filsuf yang menganut paham manusia sebagai pusat tapi dengan mengaku pengendali sejarah adalah seseatu di atas manusia yaitu ruh sebagian mengingkari pernyataannya sendiri ketika menolak alam punya kendali terhadap sejarah. Hegel benar ketika mengaku ruh yang mengendalikan sejarah, tetapi dia keliru ketika menafikan peran alam. Sebab ruh itu tidak hanya melampaui manusia tapi juga melampaui alam. Mungkin tepatnya adalah, ruh itu adalah kumpulan yang melampaui manusia sekaligus alam. Apatis terhadap alam di zaman ini semakin besar ketika kita meyakini bahwa alam ini cuma persepsi akal kita saja. Ini menghantarkan pada kesimpulan bahwa alam ini mutlak di bawah kendali (akal) manusia. 
Ketika mendeklarasakin superioritasnya atas apaun, maka manusia, melalui akalnya, terntunya diklaim mengatur alam ini. Bila dilihat, ini memang benar adanya, nalar, atau akal menaklukkan sehingga mengendalikan apapun yang perentangannya adalah mengendalikan sejarah. Tapi, sepenuhnyakah demikian? Mari kita lihat. Akal sendiri adalah konstelasi dari pengaruh-pengaruh. Yang paling mempengaruhi manusia adalah alam. Maka di sini, ternyata akal hanya alat atau perantara saja, yang sebenarnya mengendalikan sejarah adalah alam. Tetapi bila benar alam ini cuma persepsi akal semata, maka alam adalah cermin saja bagi akal untuk melihat dirinya sendiri. Berarti benar yang mengendalikan sejarah adalah akal. 
Apakah ada hal lain di luar akal yang ikut menentukan sejarah, atau, kalau alam cuma persepsi akal, maka benarkah akal, sesuatu yang asing, kesepian, tunggal sendiri ini yang menetukan bagian kecil dari dirinya sendiri yang disebut 'sejarah'. Hegel mengatakan ada sesuatu dari luar nalar yang menentukan sejarah yakni Tuhan (Hegel: 2005: 21). Dia mengakui agama sebagai instrumen di luar nalar yang ikut menentukan sejarah. Tetapi benarkah agama adalah sesuatu di luar akal? Untuk menjawab pertanyaan itu kita perlu sedikit menelisik tentang agama. Agama adalah dibawa oleh seorang manusia utusan yang katanya pesan dari Tuhan melalui malaikatnya bernama Jibril (as). Dapat saja kita menerima Tuhan sebagai sesuatu yang melampaui nalar, tapi Jibril sendiri tampaknya adalah Nalar itu sendiri meskipun dalam kapasitas dan kondisi yang agak berbeda. Di samping itu, pengikut nabi pilihan telah menerima pesan dari transnalar tidak bisa tidak menurut nalarnya, tidak lebih. Dengan itulah sejarah dibentuk. Maka di sini kemungkinan sejarah dibentuk oleh nalar adalah benar. Dan kemungkinan dianya adalah turut dipengaruhi oleh sesuatu transnalar adalah benar juga. Nalar adalam ambigu. Dianya tidak bunya batas, Tuhan itu sendiri kadang dapat disebut nalar pula. Tingkat nalar manusia tidak terbatas dan tidak berbatas.
Hegel adalah pemikir yang sangat rejilius, itu kata dosen saya. Dia ingin supaya pesan agama yang di atas nalar itu mampu diterapkan secara objektif. Tampaknya hal ini adalah masalah bagi lingkungan agama Kristen yang pemahaman serta penafsirannya sangat beraneka ragam dan sulit disatukan. Objektivitas agama diperlukan supaya dapat dipahami secara bersama supaya menjadi bagian nalar sehingga dapat diterapkan supaya menjadi bagian dari sejarah. 
Dalam alam roh, Hegel mengatakan manusia bisa menemukan kebebasannya. Kebebasan yang ia maksudkan di sini sangatlah abstrak, karena memang alam ruh nya itu sendiri rancu, tidak jelas. Alam ini tampak hampir sama dengan Ada-nya Heidegger. Alam ini adalah kegelapan dan ketidakjelasan. 
Kebebasan manusia, atau free will hanya ada dalam pikirannya atau ruang ide yang universal itu. Pada alam materi, tidak ada yang namanya kehendak bebas. Setiap tindakan yang ingin dilakukan harus mengukuti pada keterbatasan dan ketentuan hukum alam materi. Boleh jadi yang dihayalkan dalam benak kecil tapi justru yang tejadi besar, atau sebaliknya. Yang jelas Kebebasan itu hanya ada dalam ide, individu sifatnya. Bahkan tampaknya kebebasan yang ada dalam ide itu sendiri dipengaruhi atau paling kurang diinspirasi oleh alam materi. 
Lihatlah segala produk manusia, diambil dari gejala-gelala dan realitas alam. Pesawat diinspirasi burung, kapal selam diinspirasi ikan. Perlu ada segolongan manusia yang punya otoritas mewujudkan ide-ide. Selayaknya mereka adalah yang punya ide-ide paling baik yang berguna dan paling bermanfaat bagi semua tanpa merugikan apapun dan siapapun. Tapi sayangnya, Hegel (h. 66) membiarkan individu subjek sejarah ini sama dengan melakukan keburukan-keburukan dan dia tahan melakukan itu dengan alasan kuatnya tujuan dan cita-citanya. Pernyataan Hegel itu tidak sepenuhnya keliru. Masalahnya adalah apakah seseorang yang mengaku menerima pesan dari Roh Absolut adalah memang benar dari Roh Absolut itu. Semua mengaku yang ia perjuangkan adalah murni dari Roh Absolut, tetapi apakah memang cara penerapan saja yang bertentangan, atau memang salah satu atau beberapa dari itu sebenarnya hanya mengira saja bertemu dengan Roh Absolut.
Roh Absolut punya kekuatan supaya IdeNya dapat direalisasikan dalam dunia partikular. Realisasi ini adalah melalui pewujudan semua partikular olehNya. Khususnya bagi manusia, mereka punya tingkatan tertentu dalam hal ini: Manusia yang lebih dekat dengan roh absolut adalah mereka yang memiliki hasrat dan keinginan mewujudkan Ide Absolut ke dalam realitas partikular. Mereka yang dekat itu boleh jadi gagal mewujudkan keinginannya itu karena banyak halangan dari mereka yang jauh dari Ide Roh Absolut. Berhasil atau tidaknya mereka tidaklah menjadi soal, yang penting mereka berusaha dan konsisten sebab Roh Absolut bisa menerapkan sendiri Ide Absolutnya. 
Yang tidak absolud seperti jasad punya keterbatasan-keterbatasan dalam memperjuangkan tercapainya Ide Absolut. Karena itu jasad berganti jasad terus menerus, melanjutkan ide-ide sebelumnya untuk mencapai Ide Absolut. Setiap jasad malah sengajad memperbaharui dirinya dengan dirinya yang baru supaya produktivitas memperjuangkan yang Absolut menjadi semakin efisien.
Hasrat mewujudkan Ide Absolut adalah potensi bawaan sebab manusia itu sejatinya adalah manifestasi dari Ide itu. Hegel mengatakan pewujudan itu melalui etika yang tampaknya ini untuk mewujudkan Ide Absolut dalam sejarah. Konsep ini tampaknya diinspirasikan dari ide Kant. Kant mengatakan hal-hal metafisik didak dapat dijelaskan melalui filsafat tetapi diapresiasi melalui etika. 
Karena merupakan manivestasi Ide Absolut, manusia punya beban tanggung jawab dalam mewujudkan Ide Absolut. Pengingkaran terhadap tujuan ini menyebabkan manusia mengingkasi fitrah Ide yang mewujudkannya. Tapi fitrah ini untuk diterapkan punya banyak penghalang dalam realisasinya. Oleh karena itu, negosiasi antar ide adalah niscaya. Hegel mengatakan orang yang lebih tua usianya cenderung lebih setuju untuk bernegosiasi dibandingkan yang muda yang lebih idealis. Tampaknya ini karena yang tua sudah banyak mengalami kegagalan idenya direalisasi sehingga mereka memilih bernegosiasi daripada tidak sedikitpun ideanya terealisasi.
Kalau memang hanya segelintir person saja yang membonceng Ide Absolut untuk direalisasikan, maka kita cenderung menganggap Ide Absolut tidak terealisasi di realitas eksternal, tapi sebenarnya segala yang terjadi di alam, segalanya bahkan setitik hujan dan sedesir angin adalah Idea Absolut jua. 
Dalam pandangan Hegel, negara adalah sarana atau wadah untuk merealisasikan Ide Absolud. Tetapi saat berhimpun dalam negara, yang terealisasi bukanlah Idea milik satu individu, dalam negara, masing-masing Idea bertemu dan tidak satupun mulik indovidu yang menyeluruh, semuanya adalah sintesis dari masing-masing Idea. Kelihatan konstitusi negara adalah abstraksi dari ide segenap warga negara: Diharapkan seluruh warga menjadi patuh dan taap terhadap aturan itu karena secara konsep adalah buatan si penurut hukum itu. Menurut Hegel, hukum yang objektif itu adalah hal rasional yang layak diamalkan segenap warga.
Tapi bagaimana mungkin warga yang puluhan juta jumlahnya bisa berkontribusi atau dapat dianggap idenya telah tercover dalam konstitusi itu? Ini tampak musykil. Karena itu pemikir-pemikir setelah Hegel tertarik membahas masalah ini. Seperti Foucoult misalnya, dia beriktikat supaya pengetahuan itu sekaligus menjadi kekuatan supaya pengetahuan itu dapat diterapkan. Dalam hal ini, Imam Khomaini menerapkan sebuah strategi cemerlang. Beliau menjadikan beberapa orang yang paling punya pengetahuan yang dihimpun dalam Wilayatul Faqih utuk membuat konstitusi negara.
Parahnya di mayoritas negara, hukum itu dibuat untuk menurut kepentingan beberapa orang saja. Hukum wajib dipatuhi milyaran orang, mereka harus tunduk demi kepentingan beberapa orang yang berorientasi materi, harta kekayaan. Milyaran manusia digiring untuk menyokong tercapainya kepentingan beberapa orang korporat, mereka tidak bisa mengelak: menghondarinya dianggap melanggar hukum.
Ketika mengatakan negara adalah realisasi kebebasan, Hegel tidak bersalah. Dia memang menghayalkan sebuah organisasi di mana masing-masing anggotanya saling melindungi dan masing-masing dapat merealisasikan kebebasannya. Masyarakat masa itu adalah masyarakat yang bekerja untuk tuan, baik itu untuk tuan tanah maupun raja. Di sini Hegel menegaskan kekesalannya pada institusi agama yang dimanfaatkan untuk kepentingan tuan tanah dan raja. Masyarakat dibius dengan teks-teks agama yang ditafsirkan sedemikian rupa untuk mengibuli masyarakat. Masyarakat yang tertindas yang memang tidak punya pilihan lain memang suka dengan obat bius itu dan malah dengan sengaja membius diri mereka sendiri. 
Berangkat dari trauma pengalaman ini, banyak pemikir menganjurkan supaya dalam negara tidak dibawa konsep-konsep agama. Negara harus murni merupakan kebijakan rasional. Dalam negara diharapkan semua keputusan dan kebijakan diambil secara objektif. Sebuah negara memiliki tujuan supaya segenap masyarakat terbebas dari segala bentuk penindasan sekalipun berdalih pada alasan apapun. 
Negara memang demikian tujuannya. Tapi pada masa sekarang kelas itu justru berdasarkan tingkatan kolektif yakni negara. Rakyat dari negara-negara kuat menindas rakyat dari negara yang lemah, negara kuat berhasi berhimpun untuk mensejahterakan rakyatnya. Tetapi yang berlaku bagi masyarakat negara lemah, organisasi bernama negara ini menghimpun masyarakat untuk ditindas secara konstitusional, penindasan yang legal. Konstitusi dan hukum disusun oleh segolongan orang dari negara kuat melalui agennya dari negara lemah yang juga warga negara lemah itu. Segala produk konstitusi dan hukum dibangun berdasarkan keinginan demi kepentingan korporat dan rakyat negara kuat. Inilah model penjajahan, kolonialisme gaya baru.
Sekalipun banyak pemikir yang putus asa dengan kehadiran agama dalam negara, Hegel tidak demikian. Dia menolak sekularisme dan meyakinbah bahwa agama dan negara punya hubungan yang sangat mendalam. Agama memang jantung dari nurani manusia, Bagaimana bisa negara dipisahkan dari manusia, demikian pula bagaimana bisa manusia dipisahkan dari agama. Maka sekularisme adalah ide yang paling tidak masuk akal. Tetapi tampaknya agama yang dimaksudkan Hegel bukan semacan Kristen maupun Protestan yang terkonstitusi itu, tetapi agama dalam pandangan Hegel lebih mirip dengan apa yang dikatakan gurunya, Immanuel Kant, yakni suatu kondisi fitrah alami manusia yang mengada bersama manusia itu sendiri. 
Menurut Hegel (2005: 98), negara yang baik adalah yang belandaskan agama. Manusia tidak punya loyalitas dan kepatuhan murni pada hal-hal yang partikular. Segolongan orang mungkin akan setia pada hal-hal yang bersifat rasional karena beberapa alasan, tetapi rasionalitas ini sifatnya temporal dan dan relatif. Penginkaran terhadap sesuatu yang bersifat rasional sangat mungkin terjadi. Manusia hanya akan setia pada Tuhan, terhadap lembaga keagamaan tidak. Karena itu makna religius tidak boleh dikait-kaitkan dengan aliran-aliran agama atau mazhab tertenti yang sudah dikukuhkan. Mazhab dan aliran adalah agama yang telah dimodifikasi oleh rasionalisasi-rasionalisasi. Negara yang tidak berlandas pada Tuhan semata akan terlaksana dengan baik karena manusia hanya punya loyalitas dan kesetiaan sejati yakni pada Tuahan saja. Negara-negara yang berlandaskan pada selain Tuhan akan runtuh dengan mudah. Keruntuhan sebuah agama adalah kerugian yang tak terkira besarnya. Dalam menuju keruntuhannya, sebuah negara pastinya telah mengorbankan nyawa dan rasa aman jutaan orang. Dalam membangun sebuah sistem baru negara butuh waktu yang tidak sedikit. Darah, lagi-lagi dapat tumpah. 
Hegel rupanya menjadikan agama sebagai fondasi dan esensi negara. Dia (h.102 mengatakan hanya dengan agama negara dapat terbentuk dan tanpa negara, katanya, seni dan filsafat tidak dapat terbentuk. Dia megakini Roh Dunia itu senantiasa beergerak. Efek pergerakan ini membentuk pribadi-pribadi yang memiliki kesadaran bahwa mereka tidak boleh melanggar prinsi Roh Absolut. Setiap gerak langkahnya harus mengikuti Gerak Absolut yang substansi ini.
Friedrick Nietzsche mengatakan alam ini merupakan ruang yang tetap, diam, kaku, statis(Graham Higgin, 'Antologi Filsafat', Yogyakarta: Bentang, 2004:166). Iqbal 2002: 190) menyebut waktu milik Nietzsche adalah serial pengulangan. Ternyata pemikiran Nietzsce ini adalah semangat yang dieariskan Hegel. ''Tidak ada yang baru dibawah terik matahari'' kata Hegel (h.105). Dunia memang bergerak, tetapi tidak ada yang berubah. Semuanya menuju kesempurnaan yang mustahil. Dunian ini ''...tanpa tujuan, kecuali jika lingakaran kegembiraan itu sendiri sebagai tujuannya; tanpa kehendak, kecuali lingkaran yang merasakan kehendak baik terhadap dirinya sendiri'' Kata Nietzsce. Iqbal langsung memvonis konsep waktu Nietzsche itu keliru yang dengan itu sekaligus menolak Hegel. Tapi kedua filosof Barat ini memaksudkan waktu serial yang diproduk oleh akal kita, bukan ''Waktu'' yang melampaui akal (kalau itu memang ada). Hegel dan Nietzsche sepakat bahwa kesempurnaan memang takkan terjangkau, dan energi waktu memang berbatas. Tetakopi doktrin yang ingin dibela Iqbal itu tidak juga tertolak, alam ini memang berbatas, akal tak mampu menjangkau hal diluar alam dimensi ini. Tapi gerak substansilah yang terus menglhami akal untu membentuk dimensi baru yang lebih baik, yang tampaknya memang tidak dipersepsikan dengan akal kita sekarang sekalipun mungkin saja disebut pengembangan akal ini (badingkan dengan bagian 'Gerak Substansi'). 
Hegel mengatakan roh itu merasuk ke dalam materi. Tapi bagi saya materi itu adalah semacam himpunan roh yang membentuk energi, lalu energi membentuk sub atom, sub atom membentuk atom dan atom membentuk benda-benda. Konstelasi ini terjadi karena gerak ruh yang terus menerus. Ini tampaknya dapat disebut gerak substamsi.
Karakteristik geraksubstansi menjelma dalam realitas. Realitas tertinggi itu ada pada intelektualitas manusia. Manusia-manusia yang mempunya ras unggu adalah puncak tertinggi dari realitas. Kita tahu bahwa negosiasi antar individu tidak bisa dielakkan. Karena itu, dalam interaksi antar manusia, antar budaya dan atar peradaban akan dimenangkan oleh individu dan masyarakat yang lebih unggul, yang lebih baik penjelmaan ruh pada dirinya. Abdul Hadi WM dalam 'Falsafah India' mengatakan bahwa bangsa India telah ditaklukkan oleh bangsa Persia sehingga agama api dari Persia lestari di sana. Selanjutnya orang Persia lagi yang mewariskan Hindu sehingga sekarang Hindu identik dengan India sekalipun agama tua itu sendiri telah ditinggalkan orang Persia sendiri. Dengan itu, ajaran-ajaran yang berlaku di Cina dan Nusantara juga berarti adalah warisan Persia sekalipun orang-orang mengetahuinya dari India. Karakter mistik diwariskan Persia untuk Timur. Untuk Barat, Persia membawa sisten intelektualitas yang kencang. Melalui berbagai penaklukannya ke Romawi Timur, orang Persia selanjutnya mampu mengkader para filosof alam yang daftar nama-nama mereka resmi lestari hingga kini. Para folosof alam itu boleh saja dikenal sebagai orang Yunani. Tetapi sejatinya mereka berasal dari Turki yang memperoleh kebebasan menyampaikan gagasan di tempat yang relatif jauh dari perang fisik yakni Yunani. Selanjutnya para filosof kemanusiaan dari Plato juga adalah metamarfosisis filsafat alam.
Setelah Islam datang, bangsa Arab hanya bisa menerapkan konsep secara parsial. Penerapan agama dengan cara seperti ini hampir mirip dengan alat perekam yang mampu menampilkan dengan baik tapi tidak memahami. Setelah Islam sampai kepada orang Persia, barulah agama ini memperoleh kesadaran yang baik. Islam melalui orang Persia menemukan keselarasannya antara kitab alam dengan kitab Jibril. Pertemuan ini melahirkan puncak kejayaan gemilang yang sulit ditandingi sampai kapanpun. Nama-nama ilmuan besar muslim juga hampir semuanya adalah orang persia. Kaum Ahlul Bayt seperti Al-Ghazali dan banyak ilmuan lainnya boleh saja berhasil dalam menyebarkan ajarannya, tetapi sekalipun mereka keturunan Arab, tanpa percampuran dengan darah Persia, maka merekaakan tetap seperti unta di lembah-lembah gurun jazirah. 
Para penyebar Islam hingga Nusantara sekalipun Ahlul Bayt tetapi pasti mereka menempuh jalur Perisia yang itu artinya mereka telah bercampur dengan darah Persia yang kaya intelektualitas. Konon menurut warga Aceh, Islam pertama dibawa oleh Salma Al-Farisi ke Nusantara. Syarif Hidayatullah, seorang keturunan Nabi Saw. Juga berdarah Persia sebelum beroleh darah Pasai (Muhammad Said, 'Aceh Sepanjang Abad' Vol. I). 
Para Rasul selalu muncul dari kalangan Israil, tetapi orang Persia semuanya adalah ''nabi''. Kalau para Rasul yang dari Israil itu didatangi tamu Jibril melalui otaknya, maka Jibril itu sendiri mengalir di setiap darah orang Persia. Persia campuran tidak terlalu baik, tapi perpaduan antara Jibril di langit dengan Jibril di bumi dalam diri seorang Ahlul Bayt adalah luar biasa untuk beberapa sisi.
Orang Jerman yang terkenal paling cerdas di Barat itu adalah orang Persia yang berhijrah, sama seperti dilakukan orang Persia lainnya ke Romawi, Nusantara dan lainnya. Jerman dan Iran adalah sama-sama bangsa paling unggul, bangsa Arya. Ini bukan masalah doktrin Hitler. Si hina dari Nusantara ini melihatnya sendiri, bukan cuma dengan mata, tapi semua saya, baik yang terlihat maupun tidak. Maka disini saya katakan: Bila orang Jerman membabat habis Israil, maka Israil pasti akan melirik Iran untuk balas dendam pada Arya. Bila seorang anak yang masih tangguh perkasa Jerman masih mengaku sebagai Arya, maka bila Iran bertegang dengan Israil dan anaknya Amerika, Jerman wajib membela Iran. 
Dalam sejarah, hanya orang Persia saja si Timur yang menguasai Barat. Semua kekuatan dan intelektualitas Barat hari ini adalah mulik Timur. Orang Barat sejatinya berbapak pada orang Timur. Penjajahan Barat Atas Timur beberapa Millenia belakangan adalah adalah sebuah kisah pembunuhan seorang anak terhadap ayahnya. Atau bisa dilihat juga sebagai pengkhianatan akal pada hati.
Sayangnya Hegel memberi kriteria aneh terhadap sesuatu yang disebut 'sejarah'. Dalam kriterianya, sejarah harus sebuah sintesis dari tesis dan antitesis yang berimbangan. Naginya, India tidak memiliki sejarah sekalipun punya aksara yang luar biasa, alasannya India adalah suatu sistem kasta yang baku. Di sana kekuasaan hanya milik kasta Brahmana, merekalah yang mengatur seluruh sendi. Tidak ada kompetisi disana, kekastaan itu statis, begitu terus menerus. 
Padahal Naquib Al-Attas lebih mengutamakan aksara sebagai indikator tertinggi yang menandakan tingginya sebuah peradaban. Mungkin dengan indikatornya, Hegel dapat menyanggahnya dengan mengatakan itu bukan sejarah. Sejarah bagi Hegel haruslah suatu gerak aktif yang merupakan penjelmaan dari gerak substansi. TKalau demikian, maka sejarah itu tidak akan pernah ada. Sebab, tidak akan ada pergesekan seimbang. Setiap peradaban atau kebudayaan yang seimbang tidak akan pernah ada. 
Hukum alam membuat konfluk dan pertentangan selalu muncul. Pertentangan ini berhenti ketika ada sesatu yang memenangi. Maka ada satu yang mengungguli yang lain adalah sebauh sejarah karena telah melewati satu pertikaian. Karena itu, kita harus mampu membedakan antara 'sejarah' dan 'gerak sejarah'. Gerak sejarah adalah proses, sementara sejarah adalah hasil petikaian itu. Suatu kasta adalah sejarah. Tapi dianya tidak benar-benar 'sejarah' sebab yang kalah terus bergerak untuk mengalahkan dan yang menang juga tetap bergerak untuk mempertahankan. 
Hingga hari ini, sampai kapanpun sejarah tetap bergerak. Hari ini beberapa korporasi besar yang mapan adalah penguasa. Tidak ada yang mampu mengusik. Bila mengikut konsep Hegel, maka sejarah terus berhentI. Hegel benar ketika mengetakan Ruh itu bergerak, tetapi tidak musti dengan sistem tesis-atitesis. Sistem itu hanya memudahkan pengatahuan untuk mengatahui gerak, tetapi sejatinya tidak demikian pergerakan Ruh. Apalagi dianalogikan pada realitas eksternal, pasti keliru.
Anehnya, Hegel mengaku bahwa aksara adalah ciri peradaban bermutu, padahal aksara yang mapan dalam satu masyarakat adalah bukti sebuah komunitas itu stabil dalam waktu yang lama, tesis-antitesis Hegel tidak ada di sana, yang berarti tidak ada Sejarah dalam kacamata Hegel. 
Apakah Hegel tidak tahu bahwa sebuah karya besar hanya bisa lahir dalam kondisi politik yang stabil. Dalam kondisi ini penguasa tidak akan terusik dengan karya apapun, sebesar apapun karena kekuasaannya sudah sangat mapan. Di samping itu, kesempatan untuk menciptakan karya-karya agung hanya mungkin bila pengarangnya diberi kondisi, lingkungan dan referensi yang mumpuni. Namun Hegel mengakui intelektualitas adalah Ruh yang paling murni yang bisa diindikasi pada realitas eksternal. Akhirnya Hegel memperjelas bahwa realiras-realitas partikular adalah penjelmaan ruh ''...maka dia hanya bisa direngkuh secara spiritual, melalui pikiran.'' Hegel (2005:135). Maka dengan ini filsafat adalah tokoh utama dalam masalah demikian. Menurut Hegel, filsafat adalah pemikiran tentang pikiran. Di samping itu, sastra dan sains adalah tidak boleh dilupa (mengenai bahasan dan hubungan sastra, filsafat dan sains telah saya kemukakan dalam 'Garudaku Tangguh' dalam bahasan 'The Ultilmate Creations').
''Secara umum, sejarah dunia adalah perkembangan Roh dalam Waktu, sebagaimana alam adalah perkembangan Ide dalam Ruang'' (h. 139). Tapi saya melihat, kalau melalui tesis-antitesis barulah adanya sejarah, maka sesuatu yang telah mapan sepeti contoh kasta di India, bukanlah sejarah; tapi itu adalah waktu. Inilah yang hendak saya kemukakan. Melihat kutipan milik Hegel di atas, maka benarlah dugaan saya. Yang tampak dalah realitas partikular ini adalah waktu, sekalipun kejadian-kejadian adalah penjelmaan dari perkembangan ruh atau gerak substansial. Pada level substansi, adalah perkembangan ruh; pada level aksiden, adalah waktu. Ini sejalan dengan perkembangan ide pada level substansi dan gerak dalam ruang dalam level aksiden. 
Karena waktu adalah buatan akal, maka secara pasti kausalitas yang sering menjadi bagian perdebatan filsafat itu juga adalah produksi akal. Kausalitas itu berada di dalam kategori aksiden. Kausalitas hanya ada dalam pikiran. Lalu pikiran mangabstraksikan tangan yang mendorong dan pintu terbuka dan menyematkan hukum kausalitas pada realitas tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar