Selasa, 27 November 2012

Ar-Razi


Al-Razi had written over a hundred works on a wide variety of subjects. His major works include:
  • Tafsir al-Kabir (The Great Commentary) (also known as Mafatih al-Ghayb)
  • Al-Bayan wa al-Burhan fi al-Radd `ala Ahl al-Zaygh wa al-Tughyan
  • Al-Mahsul fi 'Ilm al-Usul
  • Al-Mutakallimin fi 'Ilm al-Kalam
  • Ilm al-Akhlaq (Science of Ethics)
  • Kitab al-Firasa (Book on Firasa)
  • Kitab al-Mantiq al-Kabir (Major Book on Logic)
  • Kitab al-nafs wa l-ruh wa sharh quwa-huma (Book on the Soul and the Spirit and their Faculties)
  • Mabahith al-mashriqiyya fi 'ilm al-ilahiyyat wa-'l-tabi'iyyat (Eastern Studies in Metaphysics and Physics)
  • Matalib al-'Aliya
  • Muhassal afkar al-mutaqaddimin wa-'l-muta'akhkhirin (The Harvest of the Thought of the Ancients and Moderns)
  • Nihayat al 'Uqul fi Dirayat al-Usul
  • Risala al-Huduth
  • Sharh al-Isharat (Commentary on the Isharat)
  • Sharh Asma' Allah al-Husna (Commentary on Asma' Allah al-Husna)
  • Sharh Kulliyyat al-Qanun fi al-Tibb (Commentary on Canon of Medicine)
  • Sharh Nisf al-Wajiz li'l-Ghazali (Commentary on Nisf al-Wajiz of Al-Ghazali)
  • Sharh Uyun al-Hikmah (Commentary on Uyun al-Hikmah)

Tafsir Ar-Razi: Tafsir Ilmiah Pertama

Oct 31st, 2010 | By admin | Category: karya santri


Banyumas Pesantren-Tafsir Ar-Razi: Tafsir Ilmiah Pertama

Meski dianggap kontroversial oleh kalangan konservatif, kitab tafsir ini menginspirasi ulama tafsir generasi sesudahnya untuk menyusun karya sejenis.
Pada awal perkembangannya, kitab tafsir Al-Quran sangat monoton, yakni hanya berisi keterangan tentang makna ayat berdasarkan keterangan Rasulullah SAW dan para shahabat serta tabi’in. Isinya penjelasannya pun hanya sebatas kandungan hukum atau fakta-fakta sejarah pendukung kebenaran kisah-kisah dalam Al-Quran.

Setelah itu muncul tafsir-tafsir Al-Quran yang memuat juga penakwilan ayat-ayat tertentu yang secara eksplisit tidak mudah ditafsirkan. Meski sudah memperkaya corak, setiap kitab biasanya hanya diperkaya satu ranah pengetahuan saja, seperti tafsir sufistik yang berisi penjelasan seputar ilmu tasawuf atau tafsir ahkam yang menitik beratkan ulasannya dalam perspektif hukum.
Baru beberapa waktu kemudian munculah tafsir generasi berikutnya: tafsir multi dimensi. Disebut multi dimensi karena isinya memuat penjelasan tentang berbagai bidang ilmu yang dianggap mempunyai keterkaitan dengan ayat-ayat Al-Quran yang sedang dibahas.
Pemaparannya bisa mencakup ranah sosial, budaya, hukum, kedokteran bahkan tekhnologi.
Penggagasnya? Siapa lagi kalau bukan sang ilmuwan multi disiplin, Imam Ghazali. Namun sayangnya Al-Ghazali belum sempat menyusun tafsir bercorak ilmiah seperti yang diangankannya. Dan idenya baru direalisasikan oleh ulama generasi berikutnya, Imam Fahruddin Ar-Razy melalui kitab tafsirnya Mafatihul Ghaib atau At-Tafsir Kabir.
Dalam kitab yang cukup kontroversial di kalangan mufassir konservatif tersebut Imam Fahruddin Ar-Razy memaparkan berbagai bidang ilmu pengetahuan yang ia anggap memiliki keterkaitan dengan ayat-ayat Al-Quran. Sayangnya, menurut sebagai ahli tafsir modern, pemaparan itu terlalu dominan sehingga mengalahkan isi tafsirnya sendiri. Bahkan secara ekstrim ada ulama lain yang berkomentar, “Ar-Razi telah memaparkan segala hal dalam buku tafsirnya, kecuali tafsir itu sendiri.”
Sementara bagi ulama lain yang menerima karyanya, Mafatih Al-Ghaib atau At-Tafsir Al-Kabir yang terdiri dari 8 jilid itu justru dilihat memiliki berbagai keistimewaan. Di antaranya dalam penjelasan munasabah atau korelasi (keterkaitan) antar ayat atau antar surah. Dalam menguraikan penafsiran suatu ayat, ia selalu menguraikan pembahasan yang memadai tentang munasabah antar ayat tersebut dengan ayat-ayat lain, bahkan antara surah dengan surah yang lain.
Keturunan Abu Bakar
Imam Fahruddin Ar-Razy yang bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Umar bin al-Husin Al-Taimi Al-Bakri At-Tabaristani Ar-Razi itu lahir di Rayy, Persia, tak jauh dari Teheran, Iran modern, tahun 543 H. Dari garis ayah, nasab ulama ahli falsafah, ilmu aqidah dan faqih madzhab Syafi’i itu kepada Abu Bakar Shiddiq, sahabat dan mertua Rasulullah SAW.
Pengajiannya diawali di rumahnya, ia mengaji ilmu kalam, fiqih dan berbagai pengetahuan umum seperti kedokteran, fisika dan astronomi kepada ayahnya sendiri, Syaikh Dhiyauddin, ulama terkemuka masa itu yang berjuluk Khathib Ar-Rayy. Setelah sang ayah wafat, Ar-Razi meneruskan pengajian kepada beberapa ulama di kotanya seperti Imam Al-Baghawi (ahli tafsir dan hadits), Syaikh Majduddin Al-Jilli (ilmu kalam dan filsafat) dan Kamal Samnani.
Berkat kecerdasannya, dalam usia muda Ar-Razi telah menguasai berbagai cabang ilmu agama dan ilmu-ilmu pengetahuan modern untuk ukuran saat itu. Tak hanya mempelajari, beberapa kitab induk seperti Asy-Syamil karya Al-Juwaini (ilmu kalam), Al-Mustasyfa karya Al-Ghazali dan Al-Mu’tamad karya Al-Basri ia hafalkan di luar kepala.
Kedalaman pengetahuannya dalam fiqih madzhab Syafi’i dan teologi aliran Asy’ariyyah juga sangat terkenal di kotanya. Bahkan belakangan tokoh yang juga dikenal dengan julukan Ibnul Khathib itu termasuk salah seorang ulama terkemuka dua madzhab tersebut.
Ar-Razi kemudian mengembara mencari ilmu ke Khawarizmi. Di setiap tempat yang disinggahinya, orang-orang mengerumuninya untuk menuntut ilmu. Di kemudian hari tempat-tempat yang pernah dikunjunginya ia catat dengan rapi di salah satu bukunya yang berjudul Munzharat Fakhruddin Ar-Razi fi Bilad Ma Wara an-Nahar, lengkap dengan nama murid-murid dan ulama yang pernah disowaninya. Di berbagai tempat itu ia juga bertemu dan berdebat dengan beberapa aliran sesat seperti Mu’tazilah, Syiah dan Qaramithah.
Di masa tuanya, Ar-Razi menetap di Herat, Afghanistan. Di tempat itu ia membangun masjid, mengajar dan menulis beberapa kitab hingga ajal menjemput nyawanya pada tahun 606 H/1209 M. Di kota Herat itu pula jenazah tokoh yang telah menulis tak kurang dari 81 judul kitab itu dimakamkan.
Meski pernah menulis karya tafsir yang sangat terkenal, Ar-Razi lebih dikenal sebagai ahli fiqih dan filosof. Beberapa karya di bidang filsafatnya ialah Syarih al-Isyarat, yang berisi komentarnya mengenai kitab Al-Isyarat wa At-Tanbihat karya Ibnu Sina. Sedangkan di bidang ushul fiqh karya besarnya berjudul Al-Mahshul fi ‘Ilmi Al-Ushul, yang merangkum empat kitab besar dalam madzhab Syafi’i dan pendapat para ahli ilmu kalam.
Sementara karya tafsirnya, Mafatihul Ghaib, belakangan menginspirasi beberapa mufassir lain seperti Al-Baidhawi (w. 691 H), Nizhamuddin Al-Qummi An-Naisaburi (w. 728 H) dan Az-Zarkasyi (w. 794 H).
Luar biasa!










(Rayy, Iran, 1149 – Herat, Afganistan, 1209). Seorang Musafir, mutakalim, ahli usul fikih dan pengamat perkembangan pemikiran, sosial dan kehdupan masyarakat. Nama lengakapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Umar bin Husain at-Tamimi al-Bakri. Fakhruddin ar-Razi dikenal juga dengan nama ar-Razi atau Imam Fakhruddin.
Pendidikan awal diterima dari orangtuannya yang bernama Dauddin, seorang ulama dan pemikir yang dikagumi masyarakat Rayy. Selanjutnya ia belajar kepada ulama-ulama besar lainnya. Filsafat dipelajarinnya dari dua ulama besar bernama Muhammad al-Bagawi dan Majdin al-Jilli. Ilmu kalam dipelajarinya dari Kamaluddin as-Samani. Kecerdasanya mennjadikannya ahli dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, baik agama maupun umum, seperti kedokteran, matematika, fisika, bahkan, astronomi.
Kematangan pengetahuan Fakhruddin membuatnnya berani berdialog dengan para tokoh ditanah kelahirannya dan dibeberapa daerah lain. Dialog pertama terjadi dengan kaum *Muktazilah di Khawarizmi (Asia Tengah) dan dengan para ahli agama lainnya, seperti seorang pendeta besar yang dikagumi pengetahuannya oleh masyarakat Kristen. Dialognya dengan Pendeta ini ditulis dalam buku al-Munazarat bain an-Nasara.
Fakhruddin kemudian meninggalkan Khawarizmi menuju Transosania (Asia Tengah). Disini ia disambut hangat oleh penguasa Dinasti Guri, Giyatuddin, dan saudaranya, Syihabuddin. Akan tetapi keadaan, itu hanya berjalan sebentar, karena ia kemudian mendapat serangan-serangan tajam dari golongan *Karamiah. Akibatnya, ia meninggalkan Transaksonia menuju Gazna (kini di Afganistan). Sebagaimana di Transoksania, pengusa Khawarizmsyah di Gazna, Alaaddin, menyambutnya dengan penuh kehormatan dan mendirikan sebuah perguruan baginya. Ke situ berdaangan para pencari ilmu dari berbagai daerah, baik dari daerah yang telah dikuasai Islam maupun dari luarnya.
Beberapa bulan setelah kitabnya yang berjudul al-Matalib al-Aliyah (kitab Teologi dan Filsafat) selesai ditulis, Fakhruddin ar-Razi meninggal dunia dalam usia 60 tahun.
Dalam bidang fikih Fakhruddin menganut Mazhab *Syafi’i. Ia juga termasuk salah seorang yang gigih mempertahankan pemikiran yang dikembangkan kaum *Asy’ariyah. Sebagai seorang yang mendalami teologi, kajian-kajian teologi dikembangkanya melalui pendekatan filsafat. Karena pendekatanya itu, ia dianggap sebagai seorang *Muktazilah. Namun konsep dasar Muktazilah pun tidak luput dari kajian dan kritiknya.
Peranan Fakhruddin ar-Razi dalam pengembangan cakrawala pemikiran umat Islam tak dapat dilepskan dari perhatian yang diberikan penguasa. Kemunduran semangat intelektualitas dalam Islam sebagai akibat jatuhnya Dinasti *Abbasiyah ke tangan bangsa Tartar dalam aspek politik, agama maupun peradaban sangat parah, khususnya di daerah-daerah yang dikuasai kaum Suni. Keadaan semacam inilah yang mendapat perhatian dari Fakhruddin. Keterputusan pemikiran filsafat dalam dunia Islam dicoba untuk dihubungkan kembali.
Fakhruddin dinyatakan sebagai tokoh reformasi dunia Islam pada abad ke-6 H, sebagaimana tokoh Abu Hamid al-*Gazali pada abad ke-5 H. Bahkan ia dijuluki tokoh pembangun sistem teologisnya mengambil bentuk yang berbeda dari tokoh-tokoh teologi sebelumnya. Tema-tema teologis dikaitkan dengan tema-tema cabang pengetahuan lainnya. Sayyid Husein an-Nasr, seorang penulis Iran dan pemikir mistik modern, menjelaskan bahwa dalam risalah yang berjudul Asrar at-Tanzil, Fakhruddin mengawinkan tema etika dengan pembahasan teologis.
Permasalahan manusia dan kebebasannya, yang merupakan ajang perbedaan pendapat yang tak berkeputusan di kalangan kaum mutakalim, mendapat pembahasan yang berbeda dari Fakhruddin. Menurut pandangannya, manusia, dalam melakukan perbuatan atau tidak melakukannya, sangat terkait dengan keyakinan terhadap perbuatan akibat yang dilakukannya, baik maupun buruk. Keyakinan tersebut oleh Fakhruddin diistilahkan dengan ad-da’iyat, dorongan melakukan perbuatan dan as-sarifat, dorongan meninggalkan atau tidak melakukan perbuatan. Ad-da’iyat dan as-sarifat, dalam mewujudkan perbuatan, tidak dapat berdiri sendiri; keduanya membutuhkan suatu daya yang disebut al-qudrat. Ketiga unsur tersebut adalah ciptaan Tuhan yang diberikan kepada manusia, karena itu perbuatan yang dilakukan manusia adalah perbuatan manusia.
Mengenai masalah penilaian baik dan buruk, Fakhruddin membaginya ke dalam dua bentuk. Pertama, yang menyangkut kesenangan dan kepuasan manusia sangat bergantung pada manusia sendiri. Kedua, yang menyangkut hukum, apakah suatu perbuatan harus dilaksanakan atau terpaksa harus ditinggalkan, syariatlah yang harus menentukannya. Dalam hal terakhir manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk mengaturnya.
Sebagaiman permasalahan manusia dan perbuatannya, dalam permasalahan sifat Tuhan, Fakhruddin sepakat dengan kalangan Asy’ariyah. Ia mengakui adanya sifat-sifat Tuhan. Akan tetapi sifat Tuhan itu berjumlah delapan sifat, sebagaimana dikembangkan oleh Imam Syafi’i yaitu wahdaniyat (esa), al-hayah (hidup), al-I’lm (berilmu), al-qudrah (berkuasa), al-Iradah (berkehendak), as-Sam’u (mendengar), al-bashar (melihat) dan al-kalam (berkata).
Dalam mengahadapi ayat-ayat yang berkonotasi tasjim dan tasykhis (antropomorfis) bagi Tuhan, Fakhruddin memahaminya dengan ayat-ayat majasi (kiasan), yang perlu ditakwilkan dan dipahami secara metafora. Tuhan menurutnya adalah Maha Suci dari semua penyerupaan dan penyamaan. Tuhan tidak berjisim, karena yang berjisim memerlukan ruang dan waktu, serta memerlukan adanya dimensi. Setiap yang berdimensi adalah terbatas, dan setiap yang terbatas bukanlah Tuhan. Tuhan, menurutnya, adalah Wajib al-Wujud li zatih (Wajib adaNya karena Zat-Nya) dan Ia mempunyai beberapa keistimewaan, yaitu: la yatarakkab min Gairih (Tidak tersusun dari unsur lain); la yatarakkabu ‘anhu gairuh (selainya bukan berasal dari Zat-Nya); la yakunu wujuduh za’idan ‘ala mahiyatih (wujud-Nya bukan di luar Hakikat-Nya); dan la yakunu musytarikan bain al-isnain (ia bukan kombinasi dua unsur).
Dalam masalah fikih, pemikiran yang dikembangkan Fakhruddin melalui karya-karya tafsirnya yang berjudul Mafatih al-Gayb (Pembuka yang Gaib) sejalan dengan pendapat dan pemikiran kaum as-Syafi’iyah pada umumnya. Namun dalam permasalahan usul fikih, menurutnya, *istinbat hukum tidak perlu ditempuh melalui pendekatan analogi (*kias).
Fakhruddin lebih kurang menghasilkan seratus karya tulis dalam berbagai aspek pengetahuan yang berkembang di zamanya. Semua karya tersebut dapat dipilih dalam beberapa bidang.
Dalam bidang tafsir Al-Qur’an, terdapat karya monumental, yaitu kitab Mafatih al-Gayb (16 Jilid beredar hampir ke seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia), Tafsir Surah al-Fatihah, dan Tafsir Surah al-Baqarah.
Dalam bidang Ilmu Kalam, karya tulisnya mencakup beberapa buku, di antaranya: (1) Al-Matalib al-‘Aliyah min al-‘Ilm al-Ilahi, terdiri dari 9 jilid, terbitan pertama oleh Dar al-Kutub al-‘Arabi, Beirut, tahun 1987, tahqiq (diedit) oleh Dr. Ahmad Hijazi as-Saqa; (2) Asas at-Taqdis (Dasar-Dasar Penyucian), terbitan pertama oleh Mushtafa al-Halabi, Mesir, tahun 1935; (3) Al-Arba’in Fi Ushul ad-Din (Tentang empat puluh pokokagama), terbitan pertama oleh Dar al-Ma’arif Heydrabat, tahun 1952; (4) Muhassal Afkar al-Mutaqaddimin wa al-Mutaakhirin min ‘Ulama’ wa al-Hukama’ wa al-Mutakallimin, diterbitkan oleh Maktabah al-Kulliyah al-Azhariyat.
Dalam bidang tasawuf karya-karyanya antara lain Kitab Irsyad an-Nazar ila Lata’if al-Asrar dan Kitab Syarh ‘Uyun al-Hikmah. Dalam bidang Filsafat, antara lain Kitab Syarh Qasim al-Ilahiyyat min al-Isyarah li ibn Sina dan Lubab al-Isyarah. Dalam bidang sejarah, antara lain Kitab Manaqib al-Imam as-Syafi’i dan Kitab Syarh Saqt al-Zind li al-Mu’ri. Dalam bidang usul fikih, antara lain al-Mahsul fi ‘Ilm Ushul al-Fiqh (terbit tahun 1979).
Di samping kitab-kitab tersebut, masih terdapat banyak manuskrip lain tulisan Fakhruddin, baik dalam tulisan Arab maupun dalam tulisan Persia.  



FAKHRUDDIN Ar-Razi Competition (FRC) 2012 diadakan secara serempak di 18 kota besar di Indonesia, seperti: Banten, Tegal, Magelang, Surabaya, Malang, Bojonegoro, Nganjuk, Pasuruan, Makasar, Bali dan Medan. Khusus di Medan, Pondok Pesantren Ar-Raudlatul Hasanah, tempat penulis mengabdikan ilmu, mendapat kehormatan khusus karena Gedung Serbaga Guna yang ada digunakan sebagai tempat ujian para peserta yang berjumlah 304 orang.

Tahun ini, FRC mengambil tajuk “Membentuk Generasi Ulama-Intelek”. Satu tajuk yang sejatinya menggambarkan konsep ilmu dalam Islam yang tak mengenal dikotomi. Karena karena ternyata di tengah-tengah umat Islam sikap dikotomis dalam memandang dan mengamalkan ilmu masih begitu menyengat aromanya. Padahal, Imam Fakhruddin Ar-Razi (543 H/1148 M-606 H/1209 M) sendiri adalah model “ulama-intelek” yang menolak dikotomi ilmu. Dalam kamusnya tidak ada istilah ilmu umum dan ilmu agama. Anehnya, sedikit yang merasa bahwa istilah ilmu umum dan ilmu agama adalah istilah yang keliru dan rancu. Karena kata “umum” biasanya dihadapkan dengan “khusus”. Sehingga “agama” lebih tepat dihadapkan dengan “filsafat”.

Sebagai model ulama-intelek yang dimiliki oleh Islam, Imam Fakhruddin Ar-Razi membuktikan bahwa memang tidak boleh ada dikotomi. Dalam cabang ilmu Fiqh dan Ushul al-Fiqh, Imam Ar-Razi mengarang buku tebal al-Maḥṣūl fī ‘Ilm al-Uūl; dalam Tafsir dan Ilmu-ilmu Al-Qur’an dia mengarang al-Tafsīr al-Kabīr yang disebutnya dengan Mafātī al-Ghaib, ‘Ajā’ib al-Qur’ān; Asrār al-Tanzīl wa Anwār al-Ta’wīl; Tafsīr Sūrat al-Ikhlā; Tafsīr Sūrat al-Fātiah atau Mafātī al-‘Ulūm; dan Risālah fī al-Tanbīh ‘alā Ba‘ al-Asrār al-Muwadda‘ah fī Ba‘ Āyāt al-Qur’ān al-Karīm 
Dalam Ilmu Kalam, Imam Ar-Rāzī menulis banyak buku penting, seperti: Ajwibat al-Masā’il al-Najjāriyyah; al-Arba‘īn fī Uūl al-Dīn; Irsyād al-Naā’ir ilā Laā’if al-Asrār; Asās al-Taqdīs; al-Isyārah fī ‘Ilm al-Kalām; al-Bayān wa al-Burhān fī al-Radd ‘alā Ahl al-Zaigh wa al-ughyān; Taḥṣīl al-aqq; al-Jabr wa al-Qadar; al-Jawhar al-Fard; udūts al-‘Ālam; al-Khalq wa al-Ba‘ts; al-Khamsīn fī Uūl al-Dīn; al-Zubdah fī ‘Ilm al-Kalām; Syar Asmā’ Allāh al-usnā aw Lawāmi‘ al-Bayyināt fī Syar Asmā’ Allāh al-usnā wa al-ifāt; ‘Imat al-Anbiyā’; al-Risālah al-Kamāliyyah fī al-aqā’iq al-Ilāhiyyah; al-Mabāit al-‘Imādiyyah fī al-Maālib al-Ma‘ādiyyah; al-Maḥṣūl fī ‘Ilm al-Kalām; Risālah al-Ma‘ād; al-Ma‘ālim fī Uūl al-Dīn; Risālah fī al-Nubuwwāt; dan Nihāyat al-‘Uqūl fī Dirāyat al-Uūl.
Dalam Logika dan Filsafat, Imam Ar-Rāzī mengarang: al-Āyāt al-Bayyināt fī al-Maniq; Ajwibat Masā’il al-Mas‘ūdī; al-Akhlāq; Aqsām al-Dzāt; Ta‘jīz al-Falāsifah; Risālah fī Ziyārat al-Qubūr; Syar al-Isyārāt wa al-Tanbīhāt dan Syar ‘Uyūn al-ikmah karya Ibn Sīnā; Lubāb al-Isyārāt; al-Mabāits al-Masyriqiyyah; al-Mulakhkha fī al-ikmah wa al-Manqi; Mabāits al-Wujūd wa al-‘Adam; al-Maniq al-Kabīr; Fī al-Nafs wa al-Rū; dan al-Hudā fī al-Falsafah.
Beberapa buku penting dalam Dialektika (al-Jadal) juga dikarang oleh Imam Ar-Rāzī, seperti: al-Jadal; Syifā’ al-‘Ayy wa al-Khilāf; al-arīqah al-‘Alā’iyyah fī al-Khilāf; dan Fī al-Khilāf wa al-Jadal.
Kemudian dalam Fiqh dan Uūl al-Fiqh, beberapa buku penting lahir dari ketajaman mata penanya, seperti: Ibāl al-Qiyās; Ikām al-Akām; al-Barāhīn al-Bahā’iyyah; Syar al-Wajīz karya Imam al-Ghazālī; al-Maḥṣūl fī ‘Ilm al-Uūl; al-Ma‘ālim fī Uūl al-Fiqh; Muntakhab al-Maḥṣūl fī Uūl al-Fiqh; dan al-Nihāyat al-Bahā’iyyah fī al-Mabāits al-Qiyāsiyyah.
Dalam Bahasa Arab dan Sastra, Imam Ar-Rāzī menghasilkan dan mewariskan beberapa kitab penting, yaitu: Syar Saq al-Zand karya Abū al-‘Alā’ al-Ma‘arrī; Syar Nahj al-Balāghah; dan al-Muarrar fī aqā’iq aw Daqā’iq al-Naw; Nihāyat al-Ījāz fī Dirāyat al-I‘jāz. Kemudian ada dua buku penting yang ditulisnya dalam bidang sejarah, yakni: Faā’il al-aābah dan Manāqib al-Imām al-Syāfi‘ī.
Dalam Matematika, Falak dan Kedokteran, Imam Ar-Rāzī menghasilkan banyak karya penting, seperti: al-Handasah; Risālah fī ‘Ilm al-Hai’ah; al-ibb wa al-Farāsah; al-Asyribah; al-Tasyrī min al-Ra’s ilā al-alq; Syar al-Qānūn fī al-ibb karya Ibn Sīnā; al-ibb al-Kabīr atau al-Jāmi‘ al-Kabīr; dan Risālah fī ‘Ilm al-Farāsah.
Selain karya-karya di atas, Imam Ar-Rāzī juga menulis buku seputar sihir dan perbintangan (astronomi). Karya-karya dalam bidang ini adalah: al-Akām al-‘Alā’iyyah fī al-A‘lām al-Samāwiyyah; al-Sirr al-Maktūm fī Mukhāabat al-Syams wa al-Qamar wa al-Nujūm; dan Muntakhab Durj Tnkuloncha aw Dnkuloha.
Selain itu semua, Imam Ar-Rāzī memiliki banyak karya penting, seperti: I‘tiqādāt Firaq al-Muslimīn wa al-Musyrikīn; Jāmi‘ al-‘Ulūm; adā’iq al-Anwār; al-Riyā al-Mūniqah fī al-Milal wa al-Nial; al-Laā’if al-Ghiyātsiyyah; Munāarāt Fakhr al-Dīn al-Rāzī; al-Waiyyah; Tahdzīb al-Dalā’il wa ‘Uyūn al-Masā’il; Jawāb al-Ghailānī; al-Ri‘āyah; Risālah fī al-Su’āl; al-Risālah al-āibiyyah; al-Risālah al-Majdiyyah; dan Naftsat al-Madūr.
Dari sekian banyak karya yang ditinggalkan dan diwariskan oleh Imam Ar-Rāzī tampak nyata bahwa dikotomi ilmu tidak ada dalam kamusnya. Seluruh ilmu sumbernya satu, Allah Subhanahu Wata'ala. Dan ilmu-ilmu itu, selama tidak bertentangan dengan syariat-Nya, harus dipelajari. Fakhruddin Ar-Razi Competition sejatinya ingin memicu dan memacu para pelajar Muslim untuk meneladani Imam Ar-Rāzī sebagai sosok ulama-intelek. Wallāhu a‘lamu bi al-awāb!
Penulis adalah pengajar di Pondok Pesantren Ar-Raudlatul Hasanah, Medan, Sumatera Utara. Penulis buku “Salah Paham tentang Islam: Dialog Teologis Muslim-Kristen di Dunia Maya” (2012)
Fakhruddin al-Razi Dan Kitab Tafsirnya (Mafatih al-Ghayb)
Fakhruddin al-Razi Dan Kitab Tafsirnya (Mafatih al-Ghayb)

Banyak yang menganggap bahwa filsafat Islam menjadi stagnan setelah al-Ghazali menulis taha>fut al-Fala>sifah. Banyak pula yang menganggap bahwa kala>m dan filsafat adalah dua ilmu yang tidak pernah bisa akur. Untuk membuktikan kesalahan asumsi ini perlu diungkapkan seorang tokoh muttakalim yang sekaligus juga filosof yang hidup setelah zaman al-Ghazali. Tokoh tersebut adalah Muhammad Ibnu ‘Umar al-Ra>zi> al Tabrasta>ni> al Quraanaknya da’i) atau ibn Khatib al-Rayy (anaknya da’i dari Rayy) karena ayahnya adalah penceramah ulung di Mesjid Rayy. Beliau dijuluki juga al-Imam karena menguasai usul fiqh dan kalam dengan sangat mendalam. Beliau digelar juga sebagai Fakhruddin (kebanggaan agama dari Rayy) karena penguasaannya yang sangat mendalam tentang berbagai disiplin keilmuan menyebabkannya berbeda dengan para tokoh pemikir muslim yang berasal dari rayy. Di Hera>t, julukan beliau adalah Saikh al-Islam karena otoritas keilmuan yang beliau miliki dalam lintas disiplin ilmu seperti al-Qur'an, al-Hadits, tafsir, fiqh, ushul fiqh, sastra Arab, perbandingan agama, filsafat, logika, matematika, fisika dan kedokteran.
Beliau lahir di Rayy pada bulan Ramadhan 544 H bertepatan dengan tahun 1149 M.[1] Sepuluh abad yang lalu, Rayy, yang lokasinya sekarang berada di Teheran, merupakan sejumlah sebuah kota besar berada di daerah Jibal, tenggara Teheran.[2] Dari Rayy ini telah lahir banyak tokoh pemikir muslim terkenal diantaranya: Abu Bakr Muhammad Ibnu Zakariya al-Razi[3] (m. 311 H/923 M), Abdurrahman Ibnu Abi Hatim al-Razi[4] (m. 327 H/938 M), Abu al-Husayn Ahmad Ibn Faris ibn Zakariya al-Razi[5] (m. 395 H/1004 M), Abu Bakr al-Razi al-Jassas[6] (m. 370 H), Muhammad ibn Abi Bakr ibn “Abdul Qadir” al-Razi[7] (m. 691 H/1291 M), dan Qutbuddin al-Razi[8] (m. 766 H), dan Fakhruddin al-Razi (m. 606 H/1210 M). Namun, dari tahun kelahiran dan wafatnya Fakhruddin al-Razi hidup sejaman dengan beberapa tokoh intelektual muslim seperti Ibn Rushd (520/1126 – 595/1198)[9], Ibn ‘Arabi (560/1165 – 638/1240).[10] Syaifuddin al-Amidi (551/1156 – 631/1233)[11] dan al-Suhrawardi (549/1154 - 587/1191)[12].
Latar belakang pendidikan dan keluarga
Karena al-Razi merujuk pada nama tempat kelahiran, maka ia tidak dapat dipakai untuk menentukan identitas.[13] Oleh karena itu perlu diungkapkan latarbelakang pendidikan dan keluarganya. Fakhruddin al-Razi mendapatkan pendidikan awal dari ayahnya. Pendidikan tersebut sangat berkesan pada dirinya. Pada saat itu dia “al-Din” Umar, ayah Fakhruddin al-Razi adalah seorang tokoh ulung Rayy. Sebagaimana diakui oleh Fakhruddin al-Razi sendiri, ayahnya adalah murid dari Abu al-Qosim Sulaiman ibn Nasir al-Ansari murid kepada Imam al-Haraimain Abu al-Ma’ali (m. 478/1085), murid kepada Abu Ishaq Asfara ini (m. 418/1027), murid kepada Abu al-Hasan al-Bahili, murid Abu al-Hasan “Ali Ibn” Isma’il al-Ash’ari. Selain teologi, ayahnya juga menguasai fiqih. Ayahnya adalah murid kepada Abu Muhammad al-Husan ibn Mas’ud al-Fara’ al-Bagawi (m. 510/1116), murid kepada al-Qodi Husain al-Marmazi, murid kepada al-Qaffal al-Marwazi (m. 417/1026), murid kepada Abu Yazid al-Marwai, murid kepada Abu Ishaq al-Marwazi, murid kepada Abu al-Abbas ibn Suraij, murid kepada Abu al-Qasim al-Anmati, murid kepada Abu Ibrahim al-Muzani (m. 264/877), murid Imam al-Shafi’i.[14]
Pengetahuan Fakhruddin al-Razi, tentang teologi dan fiqh, sebagaimana ia akui sendiri, berasal dan berawal dari ayahnya sendiri.[15] Dalam beberapa karyanya, ia menggelar ayahnya sebagai al-Syaykh al-Walid, al-Ustadh al-Walid dan al-Imam al-Said.
Ayahnya memiliki berbagai karya diantaranya Ghayat al-Maram fi ‘Ilm al-Kalam (Puncak kedambaan dalam Teologi).[16] Menurut al-Subki buku tersebut termasuk buku Ahli Sunnah yang paling berharga dan sangat lugas (min anfus kutub ahl-Sunnah wa ashadduha tahqiqan). Dalam pandangan al-Subkhi ayahnya memiliki kefasihan bahasa, hafalan yang kuar, pakar dalam fiqh, usul fiqh, teologi, shufi, ceramah, hadith, sastrawan yang prosanya sangat baik, keindahan, kecantikan serta sajak yang memukai dari ucapannya mengingatkan kembali kepada Maqamat al-Hariri.[17]
Setelah ayahnya meninggal pada tahun 559 H, Fakhruddin al-Razi, yang saat itu berusia 15 tahun, merantau ke berbagai daerah. Beliau pertama kali merantau ke Simnan dan mendalami fiqh kepada al-Kamal al-Samnani. Beliau kemudian kembali lagi ke Rayy dan berguru kepada Majduddin al-Jilli,[18] dalam masalah teologi dan filsafat. Ketika al-Jilli berpindah ke Maraghah[19] untuk mengajar di sana, Fakhruddin al-Razi ikut menemani gurunya. Salah seorang teman seperguruannya di Maragha adalah Shihabuddin al-Suhrawardi, seorang filosof yang menengalkan gagasan filsafat alternatif terhadap filsafat Aristoteles yang pada saat itu cukup berpengaruh.
Di samping memiliki guru yang memang pakar dalam bidangnya, Fakhruddin al-Razi sendiri termasuk seorang yang pintar, cerdas dan otodidak. Fakhruddin al-Razi mengatakan: “Aku seorang pecinta ilmu, oleh sebab itu aku tetap menulis segala sesuatu dengan tidak memperhatikan kuantitas dan metodologinya baik itu benar atau salah, sedikit ataupun banyak”. (Kuntu rajulan muhibban li al-‘ilm fakuntu aktubu fi kull shay’in shay’ an la aqifu ‘ala kammiyyatihi wa kayfiyatihi sawa’un akana haqqan aw batilan aw qhaththan aw saminan).[20]
Selain itu, Fakhruddin al-Razi kemampuan menghafal yang luar biasa. Konon ia telah menghafal karya al-Shamil fi Usul al-Din, karya Imam al-Haramain, al-Mu’tamad karya Abu al-Husain al-Bashri dan al-Mustafa Zaid karya al-Ghazali.[21]
Perjalanan karir intelektualnya
Setelah menguasai berbagai disiplin keilmuan, Fakhruddin al-Razi merantau ke berbagai daerah untuk meluaskan wawasannya. Ia merantau ke Khawarzm dan berdebat di sana dengan tokoh-tokoh Muktazilah, yang saat itu sangat berpengaruh. Selain berdebat dengan tokoh-tokoh Muktazilah, Fakhruddin al-Razi juga berdebat dengan teolog Kristen. Dalam perdebatan tersebut, beliau menunjukkan berbagai kesalahan mendasar dalam dogma-dogma Kristiani serta mempertahankan kemurnian ajaran Islam.[22] Perdebatan dengan tokoh-tokoh Muktazilah akhirnya menyebabkan Fakhruddin al-Razi meninggalkan Khawarzm. Akhirnya, ia kembali ke Rayy.
Pada usinya yang ke 35 tahun (pada tahun 580/1184), Fakhruddin al-Razi merantau lagi ke Transoxiana (al-Bilad ma wara’a al-nahr) dan menetap kurang lebih dua tahun di sana. Perjalannya ke Tranxonia, ia bertemu dengan seorantg dokter bernama Abdurrahman ibn Abdulkarim al-Sarkhsi. Dalam pertemuan tersebut, Fakhruddin al-Razi, yang pada saat itu juga menguasai ilmu-ilmu kedokteran, menerangkan kepada dokter tersebut al-Qanun, sebuah magnum opus Ibn Sina dalam bidang kedokteran.[23] Dari Sarkhes, Fakhruddin al-Razi menuju Bukhara. Selanjutnya ia melanjutkan safari intelektualnya ke Samarqand, Khujand, Banakit, Ghaznah dan (Barat) India.[24] Selama dalam perjalanan tersebut, ia aktif berdialog dan berdebatan dengan para tokoh-tokoh setempat.
Di Bukhara, Fakhruddin al-Razi berdialog dengan sejumlah ahli-ahli fiqh dan mazhab Hanafi seperti ar-radiyy al-Nisaburi dan Bakr al-Sabuni. Sesekali ia berkunjung ke Ghaznah dan kembali lagi ke Bukhara untuk meneruskan dialognya dengan para pakar fiqh dari mazhab al-Hanafi. Setelah merasa cukup lama tinggal di Bukhara, Fakhruddin al-Razi melanjutkan safari intelektualnya ke Samarqand, beberapa karyanya seperti al-Mubahiths al-Muashriqiyyah (Penelitian Timur), Sharh al-Isharat wa al-Tanbihats (Komentar terhadap Anotasi dan Peringatan) dan Mulakhkhas (Sinopsis), sudah beredar di sana. Sehingga ketiak ia datang masyarakat sedikit banyak telah mengenalnya.
Dari Samarqand, Fakhruddin al-Razi berkunjung ke Ghur. Di sana ia mendapat perlindungan dari Raja Ghaznah, Shihab al-Din al-Ghuri (m. 602H)[25] dan saudaranya Ghiyath al-Din. Fakhruddin al-Razi berhasil mengubah keyakinan Ghiyath al-Din, dari doktrin Karramiyyah[26] yang saat itu sangat dominan di Ghur kepada Ahli Sunnah. Usaha Fakhruddin al-Razi tersebut membuat pengikut Karramiyyah sangat marah kepadanya. Lebih marah lagi ketika Fakhruddin al-Razi mengkritik tokoh mereka, Ibn Qudwah, di depan publik. Amir al-Din, sepupu sekaligus menantu dari Ghiyath al-Din, menolong Ibn Qudwah dan selanjutnya mengusir Fakhruddin al-Razi. Akhirnya, ia terusir dari Ghur.[27]
Akhirnya, Fakhruddin al-Razi kembalii ke Heart dan mendapat perlindungan dari Sultan Khurasan ‘Ala al-Din Khawarazam shah Tukush (m. 596 H). Ia menjadi pengajar kepada anak Sultan. Ketika pangeran tersebut mewarisi tahta pada tahun 5996 H, Fakhruddin al-Razi, mendapatkan kondisi dirinya lebih baik.
Disebutkan bahwa ketika berada di Heart, lebih dari 300 orang murid dasn pengikutnya menemaninya ketika ia berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Ia menetap di Heart sehingga akhir hayatnya. Ia meninggal di desa Muzdakhan, Heart, pada tahun 606 H/Maret 1210, pada usianya yang ke 62 tahun.
Sekalipun jasadnya telah terbang, pemikiran-pemikirannya akan terus dikenang. Ibn Athir (555/1160 - 626-28/1228-31), seorang sejarawan Muslim terkemuka, yang hidup sejaman dengan Fakhruddin al-Razi, berpendapat bahwa beliau adalah seorang ahli fiqh dari Mazhab Shafi’i, penulis karya-karya terkenal di dalam fiqh, usul al-fiqh dan lain, dan beliau adalah tokoh dunia pada zamannya.[28] Seorang sejarawan muslim lainnya, Ibn Khallikan (608/1211 -681/1282) menganggap setiap karya Fakhruddin al-Razi memuskan. Bahkan karya-karyanya yang tersebar ke berbagai Negara itu memberi kebahagiaan yang mendalam. Yang menarik setelah masyarakat mengkaji karya-karyanya mereka menolak buku-buku sebelumnya. Beliau adalah orang pertama yang mengenalkan susunan yang sistematis dalam karya-karyanya, yang sebelumnya belum seorangpun pernah melakukannya. Ia berceramah dengan sangat mengesankan, baik dalam bahasa Arab maupun Persia. Siapapun yang pernah mendengar ia berceramah ia akan menangis. Jika beliau menggelar acara-acara diskusi di Kota Heart, maka para cendekiawan dan tokoh akan menghadiri acanya. Mereka bertanya mengenai berbagai persoalan dan mendengar darinya jawaban-jawaban spektakuler. Oleh sebab itu banyak pengikut Karramiyyah dan pengikut Ahli Sunnah. Tak heran jika di Heart, ia digelari Shaykh al-Islam.[29] Bagi sejarawan al-Subki (727-771 H) Fakhruddin al-Razi adalah seorang pakar teologi yang menguasai lintas disiplin ilmu.[30] Pujian ini memang wajar dilabelkan kepada Fakhruddin al-Razi, sebab ia seorang filosof, teolog, pakar logika, matematika, fisika, kedokteran, sastra Arab, fiqh, usul al-fiqh, tafsir, sejarah dan perbandingan agama. Sekalipun puluhan karyanya telah  diterbitkan, namun sehingga kini diterbitkan, namun sehingga kini, masih banyak karyanya yang dalam bentuk karya-karyanya yang sehingga kini masih belum diketahui keberadaannya.

Seorang Mufassir
Fakhruddin al-Razi menulis berbagai karya berkaitan dengan Al-Qur'an. Diantaranya Asrar al-Tanzil wa Anwar al-Ta’wil; Khalq Al-Qur'an; Tafsir Surah al-Fatihah (manuskrip); Tafsir Surah al-Baqarah, Tafsir Surah al-Ikhlas (manuskrip); At-Tanbih ‘ala ba’d al-Asrar al-Mawdi’ah fi ba’d Ayat Al-Qur'an (manuskrip). Dalam studi Al-Qur'an, maqnum opus dari pemikiran Fakhruddin al-Razi adalah Mafatih al-Ghayb (at-Tafsir al-Kabir). Bukut tafsir tersebut ditulis kurang lebih selama 8 tahun, yaitu dari tahun 595 sampai 603. Ketika menulis buku tafsir terserbut, ia mengulangi seraya memodifiksai apa yang telah ditulisnya di berbagai buku sebelumnya seperti asas al-Taqdis, Nihayat al-Ijaz fi Dirayat al-Ijaz, Lawami al-Bayyinat fi Sharh Asma al-Husna, Ismat al-Anbiya’, Asrar al-Tanzil wa Anwar al-Ta’wil  dan beberapa karya lainnya.[31]
Selain itu, dalam menulis karya tafsir tersebut, Fakhruddin al-Razi banyak memanfaatkan karya-karya para mufassir sebelumnya seperti Tafsir al-Qaffal al-Kabir, karya Muhammad ibn ‘Aliyy ibn Isma’il (m. 365 H); Tanzib Al-Qur'an al-Mata’in, karya ibn ‘Abd al-Jabar ibn Ahmad ibn ‘Abd al-Jabbar al-Hamadani (m. 415 H); Tafasir al-Wahidi, karya Muhammad ibn ‘Umar ibn Muhammad al-Zamaksharari (m. 532 H).[32]
Fakhruddin al-Razi, menafsirkan Al-Qur'an dengan menggunakan berbagai lintas disiplin ilmu. Ia juga membahas berbagai persoalan dengan sangat mendalam. Oleh sebab itu, karya tafsirnya termasuk unik dibanding dengan karya tafsir yang lain. Banyak dari pembahasannya yang tidak terdapat di dalam buku-buku tafsir sebelumnya. Mungkin, disebabkan itu, Ibn Khallikan berpendapat bahwa karya tafsir Fakhruddin al-Razi memuat di dalamnya segala yang aneh-aneh (jama’a fihi kullu gharib wa gharibah). Senada dengan Ibn Khallikan, Muhammad ‘Abduh berkomentar: “Fakhr al-Razi telah menambah bentuk lain dari Al-Qur'an dengan memasukkan ke dalam tafsirnya ilmu-ilmu matematika, fisika dan lainnya dari ilmu-ilmu modern yang ada pada zamannya seperti ilmu astronomi Yunani dan yang lain.[33]
Meski karya tafsrinya mendapat pujian para ulama dan pakar sejarah, namun ada juga yang memberikan komentar sinis. Ibn Taimiyyah dan Abu Hayyan al-Andalusi misalnya berpendapat bahwa tafsir Mafatih al-Ghayb (al-tafsir al-kabir) memuat segala sesuatu kecuali tafsir (fihi kullu syai’ illa al-tafsir). Tapi komentar sinis ini pun segera dibantah oleh Tajudin al-Subki. Baginya di dalama al-Tafsir al-Kabir  karya Fakhruddin al-Razi itu terdapat segala sesuatu sekaligus tafsir (inna al-Tafsir al-Kabir fihi kullu shai’ ma’a al-tafsir). Perbedaan pendapat seperti itu terjadi disebabkan pendekatan Fakhruddin al-Razi tidak terbatas kepada pendekatan tata bahasa dan riwayat saja. Ia menafsirkan Al-Qur'an dengan menggunakan berbagai pendekatan lintas disiplin ilmu. Dalam pandangan Fakhruddin al-Razi, Al-Qur'an diturunkan supaya bermanfaat dan rahasia-rahasianya tersingkap, bukan untuk tujuan dari sisi tata bahasa dan khabar saja tanpa menggunakan berbagai disiplin keilmuan yang justru menunjukkan kekuasaan Tuhan.[34]
Dalam pandangan Fakhruddin al-Razi, Al-Qur'an merupakan mukjizat Nabi yang paling penting. Iman kepada syari'ah berdasarkan iman kepada Allah SWT. siapa yang tidak mengenal para Nabi beserta kitab-kitab. Allah SWT telah menganugerahkan akal supaya mengenal-Nya. Al-Qur'an banyak sekali memuat bukti-bukti akal yang menunjukkan tauhid kepada-Nya, hari kebangkitan, kenabian dan keterangan tentang sifat-sifat Allah yang tidak ada di dalam kitab-kitab lainnya. Menegaskan pentingnya akal, Fakhruddin al-Razi mengatakan bahwa manusia diciptakan untuk mengetahui. Manusia diajak untuk berpikir dan merenungi untuk mengetahui hakikat sesuatu. Dalam pandangan Fakhruddin al-Razi, ilmu tafsir adalah termasuk ilmu agama yang bermanfaat. Ilmu tafsir akan menggiring kepada pengetahuan tentang Allah SWT beserta sifat-sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya dan hukum-hukum-Nya. Mengetahui Allah SWT beserta sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya dan hukum-hukum-Nya adalah ilmu yang paling mulia.
Mengenai problem al-Muhkam dan al-Mutashabbih, sebuah persoalan yang ada di dalam ilmu tafsir, Fakhruddin al-Razi berpendapat bahwa beberapa kelompok ummat Islam memiliki kepentingan-kepentingan tertentu dalam membahas persoalan ini. Jika ada ayat-ayat Al-Qur'an yang sesuai dengan dengan suatu mazhab tertentu, maka ayat-ayat tersebut dianggap muhkam. Sebaliknya, jika ada ayat-ayat Al-Qur'an yang sesuai dengan musuh suatu mazhab, maka ayat-ayat tersebut dianggap sebagai mutasabbih. Untuk mengatasi masalah tersebut, Fakhruddin al-Razi memberikan solusi dengan meletakkan hukum universal (qanun kulliyy).[35]
Pendekatan yang dilakukan oleh Fakhruddin al-Razi ketika menafsirkan Al-Qur'an dengan menggunakan lintas disiplin ilmu merupakan sebuah usaha yang perlu dihargai. Apalagi, usaha beliau itu sama sekali tidak meninggalkan pendekatan al-tafsir bi al-ma’thur. Beliau juga sangat concern dengan disiplin bahasa ketika menafsirkan Al-Qur'an. Beliau dengan sangat mendetil menggunakan kaidah-kaidah bahasa ketika menafsirkan al-Fatihah. Karena pendekatannya yang mengagumkan, maka karya tafsirnya dijadikan rujukan oleh para mufassir pada generasi berikutnya. Pengaruh tersebut, misalnya tampak jelas dalam karya tafsir ‘Abdullah ibn ‘Umar ibn Muhammad ibn ‘Ali al-Baydawi (m. sekitar tahun 685 H), Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil. Bahkan menarik juga untuk diketahui bahwa pengaruh tafsirnya tersebut juga telah sampai ke Nusantara. Al-Nawawi al-Bantani (m. 1897), seorang ulama di Mekkah, berasal dari Banten, menulis buku tafsir berjudul Marah Labid. Hampir 70 persen kandungan buku tafsir tersebut diambil dari buku tafsir Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghayb.[36]
Seorang Teolog dan Filosof
Selain pakar dalam bidang tafsir, fiqh dan usul al-fiqh, Fakhruddin al-Razi juga pakar dalam bidang teologi dan filsafat. Karyanya dalam masalah-masalah teologis dan filosofis sangat banyak. Dalam teologi misalnya, ia menulis al-Arba’un fi Usul al-Din; Asas al-Taqdis fi ‘Ilm al-Kalam; al-Khamsun fi Usul al-Din; al-Ma’alim fi Usul al-Din; al-Kamaliyah fi Haqa’iq al-Ilahiyyah; al-Jabr wa al-Qadr (al-Qada wa al-Qadr); Nihayat al-Uqul fi Dirayat al-Usul; Sharh Asma Allah al-Husna aw lawami al-Bayyninat. Selain itu, masih banyak lagi karyanya dalam teologi yang masih dalam bentuk manuskrip seperti Al-Jawhar al-Fard; Huduth al-‘Alam; Al-Isharah fi ‘ilm al-Kalam; Al- Zubdash fi ‘Ilm al-Kalam; Al-Khalq wa al-Ba’tahun; ‘Ismat al-Anbiya’ dan lain. selain karya yang telah disebutkan, ada beberapa karyanya dalam bidang teologi yang telah hilang seperti Tahsil al-Haq fi Tafsil al-Farq dan lain-lainnya.
Karya Fakhruddin al-Razi dalam bidang filsafat juga banyak. Diantaranya: al-Matalib al-‘Aliyah (9 jilid); al-Mabahith al-Mashriqiyyah (2 jilid); Sharh al-Isharat wa al-Tanbihat; Muhassa Afkar al-Mutaqaddimin wa al-Mutakkhirin. Selain itu, masih banyak lagi yang masih dalam bentuk manuskrip seperti Ta’jiz al-Falasifah (ditulis dalam bahasa Persia); al-Mantiq al-Kabir; al-Ayat al-Bayyinat fi al-Mantiq (al-Kabir), Masa’il al-Hudud (fi al-Mantiq) dan lain-lain.
Menerik untuk diketahui bahwa pemikiran-pemikiran filosofis Fakhruddin al-Razi sangat maju pada zamannya. Konsepnya mengenai waktu, misalnya, banyak yang pararel dengan pemikiran Newton dan bahkan mendahuluinya. Fakhruddin al-Razi membahas mengenai konsep waktu secar mendetail dalam al-Matalib al-‘Aliyah. Dalam karyanya yang sudah tercetak itu, pembahasan mengenai konsep waktu menghabiskan sebanyak 100 halaman. Dalam pandangan Fakhruddin al-Razi, pada dasarnya waktu adalah substansi eternal, tanpa terkait dengan sesuatu yang eksternal dan coraknya selalu sama. Waktu mengalir dari tidak bermula ke tidak berakhir. Eksistensinya tidak tergantung kepada akal manusia dan esensinya tidak tergantung kepada gerak. Ia selalu bisa dipersepsikan sekalipun gerak tidak ada bersamanya. Waktu adalah eksistensi aktual karena secara ontologis ia adalah absolut dan tidak bisa dianggap sebagai suatu yang tidak ada.[37] Fakhruddin al-Razi juga mengatakan bahwa akal manusia terbatas untuk memahami rahasia esensi waktu (‘uqul al-khalqi qisiratun ‘an al-ihatah bi-kunbi mahiyatihi).[38]
Pendapat Fakhruddin al-Razi mengenai ketebatasan akal manusia memahami rahasia esensi waktu digemakan kembali sekitar 475 tahun kemudian oleh Isac Newton (m. 1727 M), yang menulis The Mathematical Principles of Natural Philosophy, pada tahun 1685.[39] Dalam pandangan Newton, waktu yang absolut tidak tergantung kepada aspek kognitif. Akal manusia adalah ‘asymptote’ terhadap waktu yang absolut.[40] Selain itu, Newton berpendapat bahwa waktu yang absolut adalah tidak terbatas, homogen, entitas yang bersambung, sama sekali tidak bergantung kepada obyek yang dapat diindera atau gerak yang dapat diukur. Waktu mengalir abadi dari abadi ke abadi.[41] Tampaknya, studi komparatif antara Fakhruddin al-Razi dan Newton tentang hakikat waktu menarik dan belum pernah dikaji baik dari cendekiawan Muslim ataupun Non-Muslim. Oleh sebab itu, kajian seperti itu akan sangat banyak manfaatnya.

Karya-karya yang Lain
Fakhruddin al-Razi adalah penulis yang sangat produktif. Masih banyak lagi karyanya yang belum disebutkan. Ia membahas berbagai persoalan secara mendalam. Ia menulis mengenai sastra bahasa Arab, kedokteran, matematika, perbandingan agama dan sekte dan lain-lainnya. Sebagian dari karya-karya sudah dicetak. Namun, masih banyak yang dalam bentuk manuskrip dan seperti disebut di atas ada yang sudah hilang. Dalam sastra Arab, karyanya yang sudah diterbitkan ialah Nihayat al-Ijaz fi Dirayat al-I’jaz. Sedangkan yang masih dalam bentuk manuskrip ialah Sharh Saqt al-Zand li Abi al-‘Ala al-Ma’ari; Sharh Nahj al-Balaghah li al-Imam ‘Ali ibn Abi Thalib dan Al-Muharrar fi Haqa’iq al-Nahw.
Fakhruddin al-Razi juga menulis dalam bidang kedokteran seperti Sharh al-Qonun (li Ibn Sina) (manuskrip); al-Tibb al-Kabir (manuskrip); Masa’il fi al-Tibb (manuskrip). Ia juga menulis mengenai sejarah, matematika, astrologi, dan lain-lain. Selain itu, sebagian dari buku-bukunya masih belum diketahui isinya, seperti: Tahdzib al-Dalail wa ‘Uyun al-Masa’il; Jawab al-Ghaylani; al-Ri’ayah; Risalah fi al-Su’al; al-Risalah al-Sahabiyyah; ar-Risalah al-Majdiyyah dan Nafthat al-Masdur. Selain itu juga, masih ada seratus buku lebih yang diragukan, namun dinisbatkan kepada Fakhruddin al-Razi. Untuk mengetahui apakah karya-karya tersebut karyanya atau bukan, maka manuskrip-manuskrip dari segala buku yang diragukan tersebut perlu diedit.[42] Sebagai kesimpulan, Fakhruddin al-Razi adalah salah seorang tokoh intelektual besar dalam sejarah pemikiran lintas ruang dan waktu. Kajian yang mendalam terhadap pemikiran-pemikirannya masih sangat perlu dilakukan.
Semoga Allah SWT memberi pahala atas usaha dan upayanya, Amin, ya Rabb.




[1] Ada juga yang mengatakan Fakhruddin al-Razi lahir pada tahun 543 H. Bagaimanapun, Muhammad Salib al-Zarkan setelah membahas secara mendetail mengenai perbedaan tahun dan tanggal kelahirannya, beranggapan bahwa mengenai kelahiran Fakhruddin al-Razi adalah pada tahun 544 H. lihat Muhammad Salih al-Zarkan, Fakhrudin al-Razi, 15-16.

[2] Mengenai perkembangan kota Rayy, lihat lebih detil V. Minorsky, “al-Rayy”, dalam The Enclycopedia of Islam (Leiden: E.J. Brill: 1995), Jil. 8, 471-73, selanjutnya diringkas The Enclycopedia of Islam.

[3] Beliau adalah seorang filosof dan pakar kedokteran. Di Barat, iala dikenal sebagai Rhazes. Karyanya sangat banyak. Ia ahli dalam bidang kedokteran. Karya madnum opusnya adalah Buku Besar tentang Medis (Kitab al-Jami’ al-Kabir). Karnya dalam bidang Ginjal dan Kandung Kemih (Kitab al-Hasa fi al-Kula wa al-Mathana), dan Buku tentang Cacar dan Campak (Kitab al-Djadari wa al-Hasba). Buku Rhazes tersebut adalah buku pertama tentang masalah cacar dalam kedokteran. Buku tersebut diterjemahkan lebih dari 12 kali ke dalam bahasa Latin dan bahasa-bahasa Eropa lainnya. Lihat lebih lanjut L. E. Goodman, “al-Razi”, The Enclyclopedia of Islam, Jil. 8: 474-77.

[4] Beliau lahir pada tahun 240 h/854 M. beliau adalah seorang ahli Hadits. Di antara karyanya dalam bidang Hadits adalah Kitab Jarh wa al-Ta’dil, 8 jilid (Hydrabad: 1952-1953); Kitab Marasil fi al-Hadith (Baghdad: 1967); Tatimmat Bayan Khata al-Bukhari fi Taikhihi (Hydrabad: 1961); dan beberapa karya yang lain. Lihat lebih lanjut mengenai karya beliau dalam Eerik Dickinson, The Development of Early Sunnite Hadith Criticisme (Leiden: E. J. Brill: 2001).

[5] Beliau adalah seorang pakar bahasa. Beliau banyak menulis tentang berbagai persoalan yang berkaitan dengan sastra dan tata bahasa Arab. lihat lebih lanjut koleksi karya-karyanya yang sudah diterbitkan, H. Fleisch, “Ibn Faris, The Enclyclopedia of Islam, Jil. 3: 764-65.

[6]Nama beliau sebenarnya adalah Ahmad ibn ‘Ali. Beliau lahir pada tahun 305 H. Seorang ahli  fiqih dari mazhab Hanafi. Karyanya banyak, diantaranya adalah Ahkam Al-Qur'an, Sharh al-Jami al-Saghir (li al-Shaybani) dan lain-lain.

[7]Beliau adalah pakar Bahasa. Karya-karyanya banyak, diantaranya: Mukhtar al-Sihah, al-Amthal wa al-Hikam, Rawdat al-Fasahah fi ‘Ilm  al-Bayan, Ma’ani al-Ma’ani, Kunuz al-Bara’ah fi sharh al-Maqamat al-Haririyyah dan masih banyak lagi karya lainnya.

[8] Seorang pakar logika, komentator terhadap ar-Risalah al-Shamsiyyah karya al-Qazwani (m. 493 H).

[9]  Menurut Leon, Fakhruddin al-Razi pernah ke Mesir dengan niat selanjunya ke Cordoba untuk berjumpa dengan Ibn Rushd. Bagaimanapun, tidak ada seorang pun dari sejarawan Muslim yang pernah menyebutkan bahwa Fakhruddin al-Razi pernah ke Mesir, apalagi berniat ke Cordoba untuk bertemu dengan Ibn Rusyd. Muhammad Salih al-Zarkan menolak pendapat Leon. Lihat Muhammad Salih al-Zarkan, Fakhruddin al-Razi, 21.

[10] Ibn ‘Arabi pernah mengirim surat kepada Fakhruddin al-Razi. Di antara isi surat tersebut adalah pujian kepada pemikiran Fakhruddin al-Razi seraya mengajaknya supaya masuk tasauf. Lihat Risalah al-Shaykh Muhy al-Din ibn ‘Arabyy ila al-Shaykh Fakhruddin al-Razi, Editor Muhammad Mustofa, (Kairo: Dar al-Tiba’ah al-Muhammadiyah, 1987, cet.I), selanjunya diringkas Risalah.

[11] Belum ada informasi yang menyebutkan beliau pernah bertemu dengan Fakhruddin al-Razi. Menurut Hsan al-Shafi’i, mantan Rektor Universitas Internasional Islamabad, al-Amidi mengkritik secara khusus karya Fakhruddin al-Razi, al-Matalib al-‘Aliyah wa Naqduhu (al-Ma’akhiz). Isi al-Ma’akhiz, yang sehingga kini masih dalam bentuk manuskrip, persis mengikuti isi al-Matalib al-‘Aliyah, karya Fakhruddin al-Razi. Lihat Hasan al-Shafi’i, al-Amidi wa Ara’uhu al-Kalamiyyah (Kairo: Dar al-Salam, 1998). Cet pertama, 99-102. penting juga untuk disebutkan bahwa al-Amidi pernah bertemu dengan al-Suhrawardi di Aleppo (Halab), Syria. Lihat 35-36.

[12] Beliau adalah Shihabuddin Yahya ibn Hasabh Ibn Amirak al-Suhrawardi, teman seperguruan dengan Fakhruddin al-Razi ketika belajar bersama-sama dengan Majduddin al-Jilli di Maraghah. Beliau adalah pendiri filsafat Cahaya (Hikmat al-Isgraq), sebuah aliran filsafat yang menolak aliran filsafat Aristoteles, yang saat itu dominan.


[13] Lihat Muhammad Salih al-Zarkan, Fakhruddin al-Razi wa Arauhu al-Kalamiyyah wa al-Falasifiyyah (Kairo: Dar al-Fikr, 1963), 11-12, selanjutnya diringkas Fakhruddin al-Razi.


[14] Ibn Khallikan, Wafayat al-‘A’yang wa Anba’u Abna’i al-Zaman, Editor Ihsan ‘Abbas (Qum: Mansyurat al-Razi, 1346 H), cet, kedua, Jil. 4, 252, selanjutnya diringkas Wafayat al-‘A’yan.


[15]Hal ini diungkapkan oleh Fakhruddin al-Razi di dalam karyanya Tahsil al-Haq. Sangat disayangkan, karya tersebut sehingga kini masih belum diketahui keberadaannya.


[16] Dalam pandangan Hasan Mahmud ‘Abd al-Latif, judul buku Sayfuddin al-Amidi adalah pinjaman dari judul buku ayah Fakhruddin al-Razi. Lihat Sayfuddin al-Amidi, Ghayat al-Maram fi ‘Ilm al-Kalam, Editor Hasan Mahmud ‘Abd al-Latif (Kairo: 1971), 14.


[17]Al-Subki mengatakan: Fasih al-lisan qawiyy al-janan faqihan usuliyyan mutakalliman sufiyyan khatiban muhaddithan, adiban lahu nathrun fi ghayat al-hasan tahki alfa zuhu maqmaat al-hariri min husnihi wa halawatihi wa rashaqatihi saj’ihi, Lihat Fakhruddin al-Razi, al-Mabahith al-Mashriqiyyah fi ‘Ilm al-Ilahiyyat wa al-Tabi’iyyat, Editor Muhammad al-Mu’tasim Billah al-Baghdadi (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, Cet pertama, 1990), 2 jilid, 1: 32, selanjutnya disingkat al-Mabahith al-Mashriqiyyah. Abu Muhammad al-Qasim ibn ‘Ali ibn Muhammad ibn ‘Uthman ibn al-Hariri al-Basri adalah seorang filolog dan sastrawan Arab terkemuka. Ia terkenal dengan karya-karyanya Maqamat. Pertama kali diterjemahkan ke bahasa Latin pada tahun 1056, oleh Golius. Setelah itu diterjemahkan berulang kali ke berbagai bahasa Eropa lainnya. Lihat D.S. Margoliouth-Ch. Pellat, The Encyclopedia of Islam, Jilid 3: 221-222.


[18] Ia adalah teman dari pada Muhammad Ibn Yahya, muridnya al-Ghazali.


[19] Dulu Maraghah merupakan Ibukota dari Azebaijan.


[20] Ibn Abi Usaybi’ah, ‘Uyun al-Anba’ fi Tahaqat al’Atibba’, Editor Nizaral-Rida (Beirut: Mansyurat Dar Maktabah al-Hayah), 467.


[21] Fathalla Kholeif, A Study on Fakrr al-Din al-Razi and His Controversies in Transoxiana (Beyrouth: Dar el-Marcheq aditeurs: 1966), selanjutnya disingkat Controbersies.


[22]Lihat lebih lengkapnya mengenai perdebatan dalam Fakhruddin al-Razi, Munazarah fi al-Radd ‘ala al-Nasara, Editor ‘Abdul al-Majid al-Najjar (Beirut: Dar Al-Gharb al-Islami, 1986).


[23] Muhammad Salih al-Zarkan , Fakhruddin al-Razi, 19.


[24] Fathalla Kholeif, Controversies, 29.


[25] Ia adalah Muhammad ibn Sam, penguasa Ghaznah dan India. Ia suka dengan ilmu. Keompok al-Batiniyyah membunuhnya ketika sedang sujud. Lihat Risalah, 15.


[26] Mereka adalah pengikut Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Karram. Mereka meyakini bahwa Allah SWT adalah antropomorphis. Mereka juga terbagi lagi menjadi berbagai kelompok. Lihat lebih lanjut, Fakhruddin al-Razi, I’tiqadat Firaq al-Muslimin wa al-Mushrikin (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1986), cet pertama.


[27] Fathalla Kholeif, Controversies, 19.


[28] Ibn Athir menulis: “Al-faqih al-Shafi’i Sahib al-Tasanif al-mashurah fi al-fiqh wa al-usuliyyin waghayruhuma, wa kana Imam al-dunya fi ‘asrihi”. Lihat Ibn Athir, al-Kamil fi al-Tarikh (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1987), cet. Pertama, Jil. 10: 350.s


[29]Ibn Khallikan menulis: “Wa kullu kutubibi mumta’ah, wantasharat tasanifuhu fi al-bilad wa razaqa fiha sa’adah zimah fainna al-nass ishtaghalu biha wa rafadu kutub al-mumtaqaddimin, wa huwa awwal man ikhtara’a hadha al-tartib fi kutubihi wa ata fiha bima lam yasbuq ilayhi. Wa kana lahu fi al-wa’z al-yad al-bayda, wa ya’iz bi al-lisanayni al-‘arabi wa al-‘ajami, wa kana yulhiquhu al-wajd fi hal al-wa’z wa yakthutu al-buka’u, wa kana yahduru majlisuhu bi madinat Heart, arbab al-madhahin wa al-maqalat, wa yas’alunahu wa huwa yujibu kulla sa’il bi ahsana ijabah, wa raja’a bi sababihi khalq kathir min al-taifah al-Karramiyyah wa ghairihim, ila madhab ahl sunnah, wa kana yulaqqab bi Heart Shaykh al-Islam“, Lihat Ibn Khallikan, Wafayat al-A’yan, 249-250.


[30] Lihat lebih detil pujian al-Subki kepada Fakhruddin al-Razi. Tajudin al-Subki, Tabaqat al-Shafi’iyyah al-Kubra, Editor ‘Abdul Fatah Muhammad al-Jalw dan Mahmud Muhammad al-Tinahi (Kairo: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah), Jil. 9: 81-82.


[31] Samih Dahlim, Mawsu’at Mustalahat al-Imam Fakrh al-Din al-Razi (Beirut: Maktabah Lubnan Nashiruna Sharmal, 2001), selanjutnya diringkas Mawsu’ah.


[32] Fakhr al-Din al-Razi, al-Tafsir al-Kabir, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabiyy, Cet. 3, 1999), Jil. 1: 5.

[33]Zada al-Fakhr al-Din Sarifan Akhar ‘an al-qur’an bima Awradahu fi Tafsirihi min al-‘Ulum al-Riyadiyyan wa al-Tabi’iyyah wa ghayruha min al-‘Ulum al-Hadithah fi al-Millah ‘ala ma kanat ‘alayhi fi ‘adhihi kalhay’ah al-falakiyyah wa ghayruha. Lihat Samih Daghim, Mawsu’ah, xx.


[34] Ibid., xxi.

[35] Mengenai Qanun Kulliyy, lihat lebih detilnya dalam Fakhruddin al-Razi, Asas al-Taqdis fi ‘Ilm al-Kalam (Beirut: Muassasah al-Kutub al-Thaqafiyyah, 1995), Cet. Pertama 1995.


[36] Mengenai pengaruh Fakhruddin al-Razi terhadap al-Nawawi al-Bantani, lihat lebih lanjut Anthony H. Johns, “On Qur’anic Exegesis: A Case Study in Transmisiion of Islamic Learning“, di dalam buku Islam: Essays on Scripture, Thought adan Society: A Festchrift in Honour of Anthony H. Hohns, editor Peter G. Riddell and Tony Street (Leiden: E. J. Brill, 1997), 3049.


[37] Fakhruddin al-Razi, al-Matalin al-‘Aliyah min al-‘Ilm al-Ilahi, editor Ahmad Hijazi al-Saqa, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi), 9 jilid.

[38] Ibid., 5: 79.

[39] Newton menulis karyanay dalam bahasa Latin pada tahun 1685 dengan judul The Mathematical aPrinciples of Natural Philosophy.

[40]J.E. McGuire, Existence, Actuality and Necessity: Newton on Space and Time, Annals of Science 35 (1978), 507. istilah asymptote digunakan oleh Leibniz untuk menunjukkan bahwa akal manusia hanya dapat mengamati karakteristik-karakteristik yang tidak terbatas.

[41] E. A. Burtt, The Metephysical Foundations of Modern Physical Science (New York: Humanities Press Atlantic Highlands, 1932), 209-312.

[42] Fakhruddin al-Razi, al-Mubahith al-Mashriqiyyah, 1: 52.                                                                                                         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar