Kamis, 25 November 2010

Road to Banten: Di Dindingmu Aku Bersimpuh


Gunung Karang menjadi algojo besar yang siap mencomot dengan tangannya siapa saja para tamu yang berani macam-macam terhadap warga sekitar. Di arah utara dia berdiri kokoh, matanya tajam mengamati segenap penjuru. Turun dari roda empat Avanza hatiku berkata pada otakku "Jangan macam-macam disini, boi" Otakku langsung paham, memberi kode pada hati dan bekerjasama dengannya untuk tidak banyak tingkah. "Ini Banten Bos. Jangan Macam-macam kau. Habis kau disantet orang". Kata Zainal, Komandan Brigade Banten demisioner. Aku jengkel pada ketua kontingan kami, si Jai, marah karena tak tahu perutku keroncongan dari tadi. Setelah makan aku menyadari bukan dia sasaran tepat kemarahanku. Bukankah dia sibuk sejadi-jadinya sejak turun mobil. Bagaimana dia sempat menguak muncungku dan melihat stok nasi di perutku. Dalam keadaan kesal karena cacing tak mau memberi sedikit toleransi, aku melangkahkan kaki menyongsong trotoar mencari nasi. Warung Padang kutemui. Kulongok, pakai kursi mahal. Masakannya pasti bertarif tinggi. Aku terus menyusuri. Belok kanan. Pasar tradisional kutempuh sulit sekali. Kiri kanan pedagang kaki lima aneka jajanan. Bahkan hanya menyisakan dua meter dari terapan lapan meter berdasar Blue Print pemerintah Jawa Barat dulu. Belok kiri. Pasar ikan, bau sekali. Sembilan kali lebih wangi pasar peunayong dan seratus kali lebih bersih pasar ikan Bireuen. Kutaksir tidak ada ikan segar dijual sedari pagi disini. Semua pedagang ikan sudah bubar kecuali di ujung aku menemukan setumpuk bandeng yang telah dipanen kira-kira sebulan dan setumpuk tongkon ukuran dua sampai tiga kilogram per ekor kutaksir telah lebih tiga bulan minggat dari laut. Pandeglang. Kucoba menafsirkan arti nama kota santri ini, berharap bisa menghibur perut dari ketersiksaan ini. 'Pandeglang?' Otakku terus berputar. "Pande artinya pintar" Otakku terpaksa berbunyi. 'Glang'? Itukan cacing dalam bahasa nenek moyang Tarmizi Karim. Ah, masa..... "Kruuuuup". Perutku berbunyi. Cacing-cacing dalam perutku yang sedari tadi marah-marah dengan menggedor-gedor kulit perutku karena mendesak diberikan makan kini berubah kesal seolah ingin mengatakan sesuatu. Benar, cacing-cacing memang pintar. Dialah yang menentukan karakteristik pemilik perut yang dihuninya. Kalau dia kelaparan, maka pemilik rumahnya anarkis, kalau dia kenyang, pemilik perut pendek akal. Namun dia tidak pernah rasional. Cacing memang tidak rasional. Perhatianku beralih pada jarak yang telah aku tempuh. "Kalau terlalu jauh meninggalkan pendopo, takutnya tak sanggup pulang". Otakku kadang-kadang rasiona jugal, ah, kukira akal yang berkata barusan. Teringat sepanjang perjalanan puluhan tukang ojek telah menawarkan jasa padaku, yang memang terlihat ganjil diantara semua yang berada dipasar sore itu, aku berjalan dengan ransel yang sesak di punggungku. Otakku masih sehat juga, katanya "Nantikan bisa pulang naik ojek." "Berapa ongkosnya?" "Dua ribu rupiah" "Tiga ribu" "Ah, sudahlah, paling tinggi lima ribu". Perutku sangat kesal. Aku masuk ke sebuah warung Padang. tiga belas ribu pakai ayam goreng. "Matilah kau, stok uang menipis. Jakarta kejam." Kata otak. "Sudahlah, besok ada aja income lagi yang tak diduga-duga jalannya". Hati menasehati. "Mampuslah kau". Perut tak peduli apa-apa setelah seporni nasi Padang mendarat di atas meja. Hampir keseluruhan tanah Pandeglang seperti di Takengon, meski bukan termasuk dataran tinggi, tanah di pandeglang naik-turun tak rata. Makanya jangan heran jalan-jalan aspal yang tak pernah ditemukan berlubang itu sangat nikmat untuk jumping motor dan sangat mengerikan bagi penumpang di bak sebuah pick-up. Masjid Agung Ar-Rahman bewarna seperti masjid Lamprit, Banda Aceh. Jam 9 malam tempat wudhuk dan kamar mandi telah dikunci. Kamu harus menunda waktu shalat isya. esoknya shalat maghrib di sana. Interiornya luar biasa. Pilar-pilarnya menjadi unik dengan lonjongan bagian bawahnya. Perjalanan pergi terlalu jauh. Pusat pemerintahan baru selesai 80 persen. Bunda Ratu yang cantik itu gubernurnya. Duduk di taman (alun-alun) pada malam hari, seperti semua taman yang pernah kulihat di Jakarta. Tak ada yang lebih mencuri mata selain kaki-kaki pemudi. Mereka memakai celana pendek lima senti meter lebih pendek dari celana anak SD laki-laki menurut standar nasional. Tugu ditaman indah, rumput-rumputnya bagus, lapangan olah raganya memenuhi standar. Sore tadi aku mengenal baik taman ini. Ada pelajar SMP latihan volly. Celana seragam hampir silit dibedakan ukuran panjangnya dengan kolor. Seberangnya ada ibu-ibu main volly. Delapan berjilbab, satu orang saja yang dengkulnya kelihatan. Villa Cikolek Mas dibuat di atas kolam ikan. Wudhuk pakai air keramba dan shalat di mushalla kira-kira 6x6m. Disini banyak pula ojek. Kutaksir unit ojek lebih banyak daripada calon penumpang. "Lho, ini artinya bakalan ada beberapa tukang ojek yang akan tidak membawa pulang sebarang nafkah hari ini". Akalku ikut bicara. "Allah telah mengatur rezeki semua makhlukNya". Jawab hatiku takzim. Cepat-cepat kubuang sangkaan negatifku tadi. Orang Banten asli, kata salah seorang, adalah orang Lebak. Zainal membantah dengan mengatakan orang Banten asli adalah orang Sunda. Berbeda Sunda Jawa Barat dengan Sunda Banten, katanya demikian. "Orang Sunda Banten juga tidak terlalu suka dengan Sunda Jawa Barat" Zainal meyakinkan. "Ah, ada juga konflik bodoh itu di pulau Jawa ini." kata otakku. "Bodoh sekali kalian, konflik semacam ini dipelihara musuh untuk melemahkan kalian. Masa kalian tidak belajar dari sejarah. Arab dibuat perang dengan Turki, daulah Islam hancur. Portugis memelihara konfik antara Pedir dengan Aceh Darussalam untuk merebut selat Malaka." Meski menggerutu, akalku menilai, benar juga sang otak. Yang lebih parah adalah asobiyah yang terjadi antara Sunda dengan Jawa. Tinggal di pulau bernama Jawa, Sunda sangat marah dikatakan sama dengan orang Jawa. Hal ini terlalu membuat orang luar Jawa terkejut sebab awalnya mengira semua penduduk asli pulau ini adalah suku Jawa. Meskipun belum dapat mengukur kadar asobibah Pidie-Aceh, namun saya perkirakan kebodohan yang terpelihara ini saya perkirakan tinggi. Kalau saja Keislaman dan Keindonesiaan tidak mampu ditanamkan PII pada kadernya, maka saya jamin PW PII Aceh hanya diisi kader dari PD PII Pidie saja dan PB PII hanya akan diisi kader PII dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Matahari memanggang bulan. Bumi hanya diam. Matahari terus membakar, tanpa ampun. Bulan merintih. Matahari tak peduli. Dalam sisksa perlahan bulan lenyap dari pandangan seiring datangnya pagi. Rencana pulang adalah hari ini. Ketua Umum telah terpilih, Erlan namanya. Sementara Komandan Brigade PII yang dipilih adalah Ika dan Ketua Korps PII Wati sama namanya dengan Gubernurnya, Ratu. Beberapa saat sebelum Dewan Formatur dilantik, kami berkumpul dan mengobrol di ruang kerja panita. Puji-pujuan pada seragam PDH Brigade PII yang sedang aku pakai, mahu tidak mahu membuat kupingku semakin mengembang. Adalah Zainal yang membuat semuanya runyam dengan memberitahukan sesuatu. "PDH Brigade itu tidak pernah dicuci semenjak Syahidin jadi komandan," Sesumbar Zainal. "Pantas warnanya berubah-ubah setiap ada kegiatan." Jay menyambung. "Wah, berarti sudah kurang-lebih tiga puluh bulan PDH ini tidak mengenal air kecuali hujan. Ini memalukan." Akalku berkata benar, dan ini benar-benar memalukan. "Kurang ajar sekali si Zainal itu." Otakku memprovokasi. "Tenanglah, minta saran si akal untuk menyelasaikan masalahmu." Usul hati si bijak. Setelah diam sebentar, akal menyuruhku berkata begini: "Bukankah Brigade itu Intelijen, jadi harus berkamuflase." Aku membela diri dari sindiran Jay. Tidak ada yang membuat kesal dalam perjalanan itu kecuali Maryam, mengaku tahu betul arah jalan yang harus ditempuh, pada saat berangkat dia telah membuat kami memilih tol yang salah. Kawan tahu sendiri, tidak ada putar balik arah di jalan tol. Kalau mau memilih jalur lain, maka selesaikanlah tol yang sedang anda tempuh. Tol tak akan menaruh simpati pada kami yang diburu waktu, karena itu kami harus ke Depok dulu, lalu kembali, baru boleh kembali untuk memilih pintu tol ke arah Serang. Perjalanan pulang kami menaiki bus dari halaman lokasi. Bus berhenti di terminal Kali Deres. Dari terminal Kali Deres kami menumpang busway. Busway memang asik ditumpangi, apalagi saat sesak. Jangan tanya alasannya, yang jelas siapa saja yang pernah naik kereta api ekonomi akan paham. Kuingatkan jangan sekali-kali menceritakan have fun kereta api dan angkutan umum lainnya yang sesak pada mereka yang pernah kecopetan. Kalaupun busway sedang longgar dan meskipun jumlah penumpangnya masih tunduk pada bilangan jari, jangan sekali-kali mengeluarkan makanan dari tasmu karena kondekturnya akan melarang kau makan. Minum? Setelah menggigit donat dua gigitan dan kondektur menegur, aku tak peduli, kutuangkan saja air mineral itu ke lubang mulutku. Bukan bermaksud melawan hukum yang telah rapih dibuat, atau menyogok pemerintah yang terkenal selalu mengiba untuk disogok. Ketika itu, kalau kutunda minum, sendawa akan menyerang dadaku tanpa ampun dan akan membuat kedua biji mataku melompat ke kaca mobil. Makan di sebuah restoran di Cikini dan duduk di meja dekat sepasang pemudi dalam status pacaran membuatku senyum-senyum sendiri. Ceweknya memang bertampang India, jadi kuanggap biasa saat telingaku menangkap kalimat-kalimat dalam bahasa Inggris. Namum beberapa saat kemudian telingaku menangkap sesuatu yang aneh: Dari mulut yang sama mengalir deras kalimat-kalimat dalam bahasa Indonesia. "Alah, sok-sok bahasa Inggris." otakku menjerit. Untung saja yang melakukannya bukan mulutku. Kalau tidak, Jay yang duduk didekatku akan menjadikan kalimat itu sebagai bumerang untuk menyerangku sebab tadi malam dia menemukanku juga bercakap-cakap dalam bahasa Inggris dengan seseorang melalui ponsel. Tidak ada yang lebih menarik perhatianku selain seorang pelayan wanita yang cantik bercampur manis dengan tinggi ideal. 'Vitri' tertulis di sebuah bed yang diikat dengan peniti di dada sebelah kanannya. Bentuk bibirnya sangat menarik perhatianku. Beberapa helai rambut sebelah kiri dan kanan yang jatuh sedikit menutupi kedua sisi pipinya membuatku ingin membaktikan diri sebagai pelayan cintanya sampai usia tua. Vitri, kukira malam ini aku akan memburumu dalam Face Book dan segera bersimpuh di dinding akunmu mengharapkan kau mengkonfirmasi pertemanan denganku.

Mentra 58, 14 Nov. '10. Ba'da Isya'

Tidak ada komentar:

Posting Komentar