Kamis, 25 November 2010

Stop Kredit, Bangun Pabrik

Mekipun total anggaran belanja pemerintah Aceh setiap tahunnya lebih 20 trilyun, rakyat tetap saja hidup dalam kemiskinan. Hal ini diakibatkan karena sangat sedikit dari jumlah uang yang sangat banyak tersebut bertahan dan berputar di Aceh. Sebab utamanya adalah kredit. Hampir semua rakyat Aceh setiap bulannya mengeluarkan hampir setengah dari gaji/penghasilan mereka untuk membayar kredit-kredit terutama kredit kendaraan bermotor dan elektronik.
Masyarakat menganggap dengan mengembangkan budaya kredit hidup menjadi lebih makmur dan sejahtera. Padahal tidak, dengan mengkredit barang-barang yang mayoritasnya miik Jepang, mereka telah menyisihkan sejumlah uang mereka untuk dikirim ke Jepang. Padahal kalau masyarakat memilih naik angkutan uum, becak dan ojek uang-uang masih dapat berputar di daerah kita.
Kita lupa bahwa budaya kredit merupakan penjajahan model baru. Bagaimana tidak! Dulu kakek dan nenek kita harus menyisihkan setengah dari hasil panen mereka untuk diberikan kepada Jepang. sebagai timbal baliknya Jepang memberi perlindungan berupa keamanan dalam bekerja. Sekarang kita juga harus menyisihkan sejumlah gaji kita setiap bulannya untuk membayar kredit-kredit. Sebagai timbal balik, produk-produk memberi sedikit kemudahan . Kita masih dijajah, tapi sistemnya saja yang berbeda.
Selanjutnya pemerintah harus membangun banyak pabrik di Aceh, terutama pabrik pakaian, makanan dan kosmetik. Gunanya untuk menghapus pengangguran dan menjaga agar uang kita dapat terus berputar di Aceh, tidak dibawa keluar. Hitung saja berapa banyak jumlah uang yang dihantar oleh orang Aceh ke Medan, Jakarta dan Bandung untuk berbelanja di grosir-grosir di sana.
Semoga surat ini dapat menjadi solusi atas krisis ekonomi masyarakat Aceh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar