Kamis, 25 November 2010

Sekularisasi Islam

Islam bersifat sekular. Islam adalah agama, datangnya dari Tuhan. Budaya adalah adat kebiasaan, datangnya dari tindak-tanduk masyarakat. Apa saja tindakan masyarakat selama tidak dilarang oleh Islam berati dibolehkan.
Masyarakat telah melarutkan adat mereka dengan agama. Ini mengandung kebaikan, tapi kadang berbahaya. Kebaikan yang terkandung dari tindakan masyarakat melarutkan agama ke dalam budaya adalah agama menjadi dekat dan mengental dalam keseharian masyarakat. Dengan hal ini masyarakat tidak melihat agama sebagai benda asing hingga terasa ringan untuk diamalkan.
Bahaya yang dikandung dengan tindakan pencampuradukan agama dengan budaya adalah; budaya itu sifatnya berubah-ubah seiring pergeseran pemikiran dan tindakan manusia. Agama yang larutan dalam budaya terancam eksistensinya dan berpotensi lenyap ketika budaya itu terus bergerak menyesuaikan diri dengan zaman.
Masyarakat atau individu yang melarutkan agamanya kedalam bidaya harus memilih diantara dua hal : pertama meninggalkan agamanya karena tidak sesuai dengan budaya yang terus berubah. Kedua, menghindar dari masyarakat heterogen untuk menyelematkan agamanya.
Contoh fenomena yang sering kita temukan misalnya mantan santri lulusan pesantren tradisional. Ketika hijrah ke kota, mereka harus memilih antara meninggalkan ajaran-ajaran agama untuk memperoleh perlakukan yang layak ditengah masyarakat yang berneka ragam atau tetap teguh pada prinsip agama dengan resiko dikucilkan.
Misalnya kain sarung adalah bagian dari kebudayaan, sementara shalat adalah bagian agama. Ketika budaya memakai sarung berubah menjadi budaya serba celana, untuk agar tetap dapat terus melaksanakan shalat kita harus mampu membuka pikiran kita bahwa kain sarung bukan merupakan bagian dari rukan shalat, shalat dapat dilaksanakan meski memakai celana.
Nurchalis Madjid (2008) mengajak kita untuk pandai-pandai memilah-milih mana ajarana agama yang datangnya dari Tuhan yang dianya berfsifat suci dan sakral dengan produk-produk budaya yang bersifat harus berubah-ubah (dinamis), tidak tetap dan tidak sakral (statis).
Madjid (Cak Nur) menyadarkan kita agar memisahkan ajaran agama dengan produk budaya agar agama tidak ikut bergeser ketika budaya yang memang sifatnya tidak tetap terus mengalami perubahan. Cak Nur mengingatkan bahwa kita tidak mungkin mampu untuk mempertahankan kebudayaan agar bersifat tetap. Oleh karena itu agama harus dipisahkan dari kebudayaan agar kita terus dapat menjalankan nilai-nilai agama yang luhur meski kebudayaan dan zaman terus berubah dan bergerak. Inilah yang dimaksud sekularisasi Islam.

Kota Lhoksukon, 02 Januari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar