Rabu, 20 April 2011

m1

Maulinar Intan

Telah ada sebuah cerita tentang seorang gadis belia yang hidupnya penuh kesedihan, tertekan dan ditindas oleh keluarganya sendiri. Dia hidup seperti mati dan mungkin nanti ketika mati dia akan hidup.

Tidak perlu kita ceritakan tentang gadis ini karena menang dia tidak memiliki nilai lebih untuk dibicarakan. Biarkan dia hidup dalam kepedihan dan menjemput mati dengan kesengsaraan.

Tidak ada hidung mancung dimilikinya. Tidak pula jelas pandangan matanya. Giginya bolong seperti sebuah gua. Tidak ada yang bisa ia banggakan dalam hidupnya karena harta-harta yang dimiliki keluarganya telah menjadikan sayap-sayapnya lumpuh, hatinya mati.

Air bersih yang jernih dirasanya selokan. Sarapan pagi dengan susu dan roti tidak memberinya energi. Antar-jemput kemana ia pergi bagaikan berjalan kaki mengelilingi Sahara. Karena dia tidak pernah berada di tempat yang ia idam-dambakan. Kasur empuk tempat dia merebahkan diri bersama penderitaannya bagaikan bara api yang memanggang jiwanya yang penuh keresahan. Teman-teman yang ia miliki bagaikan musuh baginya oleh saudara-saudaranya. Mereka menjadikan intan di matanya bagaikan belati yang siap menghujam nadi dan lehernya setiap detik. Tatapan matanya serasa hampa. Apa yang ia raba adalah bara api baginya. Setiap langkahnya berat. Dan semua makanan yang ia makan menjadi kelu.

Dia tidak mengingat lagi wajah ayah tercintanya kecuali foto-foto manusia yang paling ia cintai itu dimilikinya. Ingatan, rasa rindu pada sang ayah yang hampir terhapus dalam ingatan terpaksa harus kembali kembali hadir dan kembali membuatnya bersedih. Ketika saudara-saudaranya memarahi dan sering menteror dirinya dengan ancaman-ancaman.

"Ayah, begitu cepat engkau pergi. Kau tinggalkan aku bersama srigala-srigala liar ini. Yang meski di hadapan manusia mereka adalah saudaraku. Tapi lihatlah keadaan diriku. Apa yang kualami? Setiap kali srigala-srigala itu memarahi dan mengancamkudengan gigi-gigi dan cakar mereka yang telah bersedia menerkan jiwa kreatifku. Tidang ada di didiku yang mampu menyelamatkanku. Bahkan, teman untuk berbagi penderitaan inipun tidak ada. Maka kuhadirkan engkau, wahai ayah, dalam memori ingatanku.

Kuharap rinduku padamu bisa menyelamatkanku dari rasa takut. Kuharap bayangmu yang hadir dalam ingatanku mampu menyembuhkan, mengobato sayap&sayapku yang patah."

Pada sebuah perjalanan Pelatihan Brigade Pelajar Islam Indonesia (PII) ke Pulau Weh, Maulinar tersesat di seputar pantai danau Aneuk Laôt. Teman-teman telah lelah mencari. Selama tiga hari, jejak intan di kakinya tidak ditemukan. Maulinar hilang. Tenggelam di danau Aneuk Laôt?

Ratusan juta rupiah telah dihabiskan keluarga Maulinar untuk mencari putri keluarga kaya itu. Dari tim SAR hingga TNI AL telah mengerahkan segenap tenaga dan kemampuan untuk mencari jasad Maulinar yang mereka perkirakan tenggelam di dalau, yang menurut warga setempat, tidak memiliki dasar kedalaman.

Kami semua, seluruh tim yang mengikuti Pelatihan Brigade PII yang bersama dengan Maulinar di Aneuk Laôt telah berada di rumah duka untuk mendoakan, yang menurut mata manusia: empat puluh empat hari meninggalnya Maulinar. Dihirung semenjak peserta dan pemandu Pelatihan Brigade PII kehilangan dia di sekitar tempat tenda pleuton didirikan di sebuah lapangan bola kaki, dua belas meter dari bibir pantau danau Aneuk Laôt.

Siapa yang paling tolol diantara para jamaah malam itu? Jwabannya adalah: saya. Kenapa saya mendoakan pada orang yang telah meraih cita-cita yang sepanjang hidup menjadi harapannya.Kenapa saya bersedih dan bermurung ketika telah meraih mimpi yang menggagu lelap setiap tidurnyaUsaha yang setiap gerak langkah ia upayakan. Ketika dia, maulinar, telah menembus bullan-bintang yang setiap duduknnya memberi gelisah. Dan tisur berbaringnya bagaikan langit menimpanya.

"Kakakku, setiap malamku terasa diintai hantu-hantu masalalu. Dan diawasi srigala-srigala ketika aku melihat masadepanku. Ketika hampir lelap tidurku, ketakutan akan datangnya mimpi-mimpi membuatku takut memejamkan mata. Dalam bunga tidu itu aku seakan mendapatkan sebuah dunia yang suci dan indah. Namun, ketika fajar berada di depan rumahku, dan cahaya pagi menembus jendela kamarku, akau menyesali mimpi mimpi indahku.

"Hidupku seakan hancur, intan yang kulihat menjadi beling-beling kaca di mataku. Ketika kuangkat tubuhku, bergerak menuju jendela dan tirai kusingkap. Di sana mimpiku jadi neraka. Dunia ini telah merenut pangeran perahu yang selalu hadir dalam mimpiku.

"Kakakku, bukankah aku tidak lagi menyembunyikan sesuatu apapun padamu. Bukankah telah kulisan-perasaankan semua mimpi-mimpiku padamu. Kakak, bantu aku berjumpa dan dibawa Pangeran Parahu-ku. Yang setiap saat hadir di hadapanku Dengan perahu kecil, sebatang dayung dia genggam erat di tangannya. Dia menungguku, menyeberangi danau itu. Bantu aku menaiki perahuitu. Bantu aku menaiki perahu itu, duduk dihadapannya.

"Pakaikan aku gaun pengantin bewarna putih. Ikatkan pita purih itu pada sanggul rambutku. Hantarkan aku ke tempat pangeranku! yang bersiap membawaku ke tempat yang baru. Kehidupan di mana mimpiku tidak ditelan sang surya. Kehidupan di mana srigala-srigala itu minggat dari hadapanku."

Pagi itu tepat pukul sepuluh. Aku diamanahkan memandu materi Survival nagi peserta Pelatihan Brigade Pelajar Islam. Kusampaikan teori pengantar materi dengan baik. Kemudian kutugaskan peserta meneliti dan mengumpulkan buah, biji dan daun dari hutan seputar pinggiran danau Aneuk Laôt yang bisa di konsumsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar