Rabu, 20 April 2011

m2

Salah seorang peserta, maulinar, terpisah dari teman-temannya. Saya berkeliling memantau peserta-peserta untuk melihat keberhasilan mereka berpraktek materi Survival.

Sadang sibuk peserta-peserta lain meneliti jenis buah, biji dan sayur, jauh dari mereka, Maulinar sendiri di bawah sebatang pohon rindang. Tangannya telah memengang beberapa jenis biji dan sayur. Sementara pandangan matanya koosong ke arah danau.

Sadar kuhampiri, tanpa memandang ke arahku, Maulinar berkata: "Kaka, lihatlah diriku. Tidak kasihankah engkau padaku? Kalau bukan engkau yang akan membebaskan aku dari penjara penderitaan ini, siapa lagi?"

Maulinar perlahan menggerakkan kepala ke arahku. Matanya telah memerah. Menatap wajahku. Seketika matanya ngeluarkan air. Dibiarkannya mengalir deras di pipi kuning langsatnya.

"Kakakku, telah kelepas kkepedihan ketika engkau bersedia mendengan semua jeritan perasaanku. Kumengira ketika itu aku bisa terbebas dari semua permasalahan yang menimpaku di dunia ini. Tapi sayang, seribu kali sayang. Kakak, ternyata masalah-masalah itu kembali menghantam leher dan nadikubagai sepusing angin yang menghantam dinding-dinding batu di pingggiran pantai hingga dia jatuh ke laut.

Di alih kannya wajahnya ke danau kecil itu. Diangkatnya tangan kirinya, dengan telunjuk me-horizontal, dia berucap "Kakakku lihatlah. Lihatlah perahu kecil itu." Aku memang melihat sebuah perahu kecil. Bewarna kayu. Terikat di sebatang tiang yang terpancang di pantai danau.

Semakin teguh, berkomitman dan saya yakin dia bersemangat dengan yang akan dia ucapkan. Saya melihat bibir tipisnya mulai bergerak. "Lihatlah di atas perahu itu. Seorang berbaju kemeja coklat lengan panjang. Celana kainnya bewarna abu-abu. Sudong di kepalanya yang menyembunyikan pesona Yusuf bewarna kuning kecoklatan. Meski alis matanya yang tebal dan buli matanya yang lentik tidak terlihat olehmu, samar engkau bisa melihat hidung mancungnya yang luarbiasa.

"Bola matanya yang indah tidak terlihat olehmu. Lihatlah kumistipisnya bergantung di atas bibir sexy-nya. Bulu jambangnya berbentuk shot gun men-sempurnakan wajahnya. Setelah Yusuf, kau dan aku tidak akan penah menjumpai laki-laki setampan dan semanis pangeranku. Asalkan engkau tidak membandingkannya dengan Rasul mulia Muhammad Salallahu'alaihi wasallam.

"Kakakku, bila engkau merasakan seperti yang kualami, tabahkanlah dirmu. Bimbing aku menaiki perahu itu. Karena pangeranku tidak sabar lagi menanti diriku.

"Jadikanlah kata-kataku sebagai refleksi kehidupanmu, sebagai penguat langkahmu. Teruslah hidup demi aku. Setidaknya, setahun sekali datangkah ke tempat ini, tempat terakhir kali bertemu secara badani. Tempat dua jasad kita berpisah. taburkan bungong jeumpa dan seulanga ke air danau ini. Karena dengan itu kau akan menjadi memori kehidupanku. Ditempat lain dari ini. Di Raung dan waktu yang berbeda.

"Kakakku, hiduplah demi cita-citamu. Mimpikan aku setiap tidur malammu. Bila imanmu membangunkanmu pada pertiga malam, bergegaslah mensucikan badanmu. Bertakbir, ruku' dan dan sujudlah di hadapan Allah, Tuhanku, Tuhanmu, Tuhan semesta alam. Panjatkan doa-doamu dan sertakan diriku dalam doamu. Mintalah pada Allah agar dia memaafkan dosa-dosaku. Doakan semoga mudah jalanku di luar ruang-waktumu."

Maulinar berdiri tegak. Dihela nafasnya panjang-panjang. Dua kali. Dia melihat ke arahku. Terlihat beban berat di pundaknya. Kutahu matanya yang penuh derita menatap dunia lain dari dunia yang membenaninya ini. Diraihnya pena dan kertas dari gaun putih yang memanjang hingga dedaunan rebah olehnya. Aku heran, padahal beberapa menit yang lalu, disini juga aku melihat dia mengenakan seragam latihan sama seperti kawan-kawannya yang lain.

"Tulislah kisah pedih yang kau rasakan, karena aku paling tahu jeritan batinmu. Lupakan aku untuk cintamu. Tapi ingatlah aku selalu untuk kasih-sayang, iba dan rindumu. Jadikan jiwaku sebagai sumber inspirasi karya-karya fiksimu. Cantumkan namaku pada pengantar karya ilmiahmu" pesannya.

"Dengan penuh harapan dan rasa cemas aku melepaskan isi hatiku. Meski tak yakin, meski tak yakin, setidaknya takkan kualami seperti salah-satu yang dia alami sehingga memuncaklak beban hidupnya:

"Tidak mungkinkah cinta itu untukku? Kenapa kita tidak meninggalkan manusia-manusia di sini dan mengungsi dari mereka dengan tetap berada di ruang dan waktu ini?"

"Tidak" sanggahnya cepat "jangan berharap lebih. Engkau lihat mendung telah datang. Matahari telah bersembunyi. Dengan begitu nanti malammu tidak secerah hati sucimu. Malam ini tidak satu bintangpun yang akan engkau lihat. Tak ada sumber inspirasi malam ini."

Dia meraih tangan kananku. Diletakkannya sebatang pulpen dan selembar kertas di telapak tangan kananku. "Simpanlah ini. Meski kau tak medapatkan cinta dariku, meski malam ini gelap bagimu. Tapi periharalah cinta tak berbalas ini hingga engkau di antar keliang lahat. Teruslih hidup dalam kepedihan dan kesedihan.

"Meski aku yakin ini takkana engkau lakukan. Tapi tetap kuingatkan satu hal. Karena aku tidak memba;as cintamu, jangan membenci, namun tatap pertahankan cinta itu. Cinta yang akan kusambut ketika doa-doamu selasai shalatmu tersampaikan untukku. Meski saat ini, di ruang-waktu yang sama cintamu padaku tak berbalas, maka yakinlah, aku akan menjawab cintamu ketika aku menyebarangi danau ini. Atau aku lelap di dalamnya."

Kubimbing Maulinar menaiki perahu itu. Pengaran Perahunya yang tak terlihat mataku kini jelas dalam pandanganku mengangkat tangannya tanda penghormatan beserta senyum manisnya da

Tidak ada komentar:

Posting Komentar